Pages

28 Januari 2010

Menumbuhkan Cinta yang Mampu Menghargai



Jean Ducuing, direktur sebuah kebun binatang di Pessac, Prancis, memiliki seekor kuda nil bernama Komir yang berusia 26 tahun. Ducuing bersahabat dengan binatang ini sejak binatang ini berusia tiga tahun. Usia Ducuing 62 tahun. Selama 23 tahun, setiap hari, Ducuing bermain-main dengan kuda nil itu.

Mereka bermain air bersama. Bahkan Ducuing melakukan guyonan yang keterlaluan. Dia sering memasukkan kepalanya ke mulut binatang yang bermulut lebar itu.

Namun persahabatan yang berlangsung hangat dan mesra itu berubah menjadi tragedi yang mengerikan. Hal itu dimulai, ketika Ducuing membeli sebuah traktor yang dipakainya untuk bekerja di sekeliling kebun binatang itu. “Kami memperhatikan bahwa setiap kali Ducuing mengendarai traktornya, Komir menjadi marah,” kata Jean-Claude Marchais, teman dekan Jean Ducuing.

Puncaknya terjadi pada minggu pertama November 1999. Mungkin karena merasa cemburu dengan mainan baru Ducuing, yaitu traktor, kuda nil itu melompati pagar listrik yang mengelilingi kandangnya. Ia kemudian mengunyah sahabat kentalnya itu sampai mati.

“Inilah kisah cinta yang berakhir dengan buruk,” kata Marchais.

Cinta yang berlebihan ternyata menumbuhkan kecemburuan. Ini cinta yang posesif. Cinta yang egois. Tentu orang tidak akan menyalahkan begitu saja kuda nil itu. Karena itulah naluri kebinatangannya yang tidak mau perhatian terhadapnya diambil oleh sesuatu yang lain.

Namun kalau cinta manusia terhadap sesama dikuasai oleh cinta yang posesif, manusia hanya akan terbenam dalam egoisme. Manusia dikuasai oleh rasa keinginan pribadinya yang begitu kuat untuk memiliki yang lain. Kecemburuan dan iri hati sering menyertai orang seperti ini. Ia bisa berbuat nekat, kalau cintanya untuk menguasai orang lain dihalang-halangi. Tragedi menyedihkan bisa saja terjadi. Banyak kisah cinta yang berakhir dengan tragedi kematian orang lain.

Sebagai orang beriman, tentu kita ingin mengembangkan suatu cinta yang lebih luas. Suatu cinta yang peduli terhadap hidup orang lain. Suatu cinta yang menghargai orang yang dicintai sebagai pribadi yang memiliki kebebasan dalam mengekspresikan cintanya.

Kalau kita mampu mengembangkan cinta yang tidak egois, kita akan dapat menjadi sahabat bagi banyak orang di sekitar kita. Cinta seperti ini akan bertahan lama. Cinta seperti ini tidak lekang oleh pengaruh jaman. Cinta seperti ini tidak terpengaruh oleh berbagai cobaan di sekitarnya.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
319

Bagikan

Menghormati Para Pemimpin



Tanggal 26 Desember 1995, saya mengunjungi Disney World di Orlando, Florida, Amerika Serikat. Itulah kesempatan yang pertama dan mungkin yang terakhir saya bisa menyaksikan sebuah maha karya manusia. Di tempat ini diproduksi Film Kartun Mikey Mouse yang terkenal di senatero jagat itu.

Namun hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rakyat Amerika menghormati para pemimpin mereka. Di salah satu gedung di Disney World itu dibangun sebuah bioskop. Namanya adalah Potrait of Presidents. Protret para presiden Amerika Serikat. Namun ini bukan sekedar sebuah potret. Di panggung dari gedung bioskop ini ditempatkan patung para presiden Amerika Serikat, sejak Presiden George Washington hingga Presiden Bill Clinton.

Yang menarik adalah patung para presiden ini bisa bergerak. Misalnya, patung presiden John Kennedy bisa berdiri lalu tersenyum kepada para penonton. Atau patung Presiden George Washington yang dengan senyum ramah menyapa para penonton.

Dengan cara seperti ini, rakyat Amerika mau memberikan penghormatan mereka kepada para pemimpinnya. Meski dulu pernah ada presiden yang dibunuh, itu hanyalah catatan tinta hitam dalam sejarah Amerika Serikat.

Seorang teman Amerika mengatakan, dengan cara seperti itu rakyat Amerika dapat mendidik anak-anaknya untuk tidak lagi membunuh para pemimpinnya. Mereka mesti memberikan penghormatan. Karena para pemimpin itu telah berjasa bagi kehidupan bangsa dan negara. Seorang pemimpin patut mendapatkan penghormatan.

Bagaimana Anda mendidik anak-anak Anda untuk menghormati para pemimpin? Kita memang belum punya banyak presiden. Sehingga belum perlu kita buat bioskop khusus untuk menempatkan patung-patung mereka. Namun kita bisa memberi penghormatan kepada mereka melalui berbagai cara.

Yang menarik di negeri ini adalah ketika ada pemimpin baru selalu saja ada usaha untuk menyingkirkannya. Caranya berbagai macam. Kritik-kritik pedas sering dialamatkan kepadanya. Kesalahan yang sedikit sering diungkit-ungkit. Akibatnya, belum seberapa dia melaksanakan tugasnya, sudah begitu banyak tuntutan kepadanya.

Untung bahwa tinta hitam pembunuhan para pemimpin, khususnya presiden, di negeri ini belum ditorehkan ke dalam buku sejarah bangsa ini. Namun kita perlu mendidik anak-anak kita untuk senantiasa memberi penghormatan kepada para pemimpin kita.

Sebagai orang beriman, kita yakin para pemimpin itu dapat menjadi tanda kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Yang penting adalah mereka mampu menyuarakan dan berjuang untuk kepentingan rakyat yang lebih luas. Kalau seorang pemimpin mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, ia mengemban amanat dari Tuhan sendiri. Mari kita doakan para pemimpin kita, agar mereka memimpin negeri ini dengan bijaksana. Dengan demikian kepentingan rakyat yang dijunjung tinggi oleh para pemimpin kita.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

318


Bagikan

Mencintai dengan Tulus

Seorang anak dididik dengan semangat yang keras oleh ayahnya. Ketika sekolah, kalau mendapat nilai di bawah tujuh, telinga anak itu dijewer oleh ayahnya. Bila ia rebut dengan adiknya, ayahnya memukul mereka dengan rotan di kaki mereka. Setelah besar pun ia dilarang pulang ke rumah lewat dari jam sembilan malam. Begitu jam sembilan, pintu pagar dikunci.

Anak itu sadar bahwa cara pendidikan yang dilakukan ayahnya itu demi kebaikan dia dan adik-adiknya. Ayahnya mencintai mereka. Ia tidak ingin mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang menyesatkan. Ia ingin agar masa depan mereka menjadi lebih baik.

Kata anak itu suatu hari, “Saya mengerti bahwa ayah saya sangat mencintai saya. Ia mendidik kami dengan cara seperti itu untuk kebaikan kami. Namun saya juga tidak bisa memungkiri bahwa saya mencintai ayah dengan rasa takut.”

Anak itu takut dimarahi kalau melakukan kesalahan. Karena itu, dalam hidup sehari-hari ia tampak terpaksa melakukan tugas-tugas. Ia tidak sekreatif teman-temannya yang lain. Ia lebih banyak menunggu diperintah untuk melakukan sesuatu. Apakah cinta seperti yang diperlihatkan oleh ayah itu sehat?

Begitu banyak orangtua yang ingin anak-anaknya sukses dalam hidup. Mereka tidak ingin anak-anak mereka terjerembab ke dalam persoalan-persoalan hidup seperti narkoba, tawuran massal atau persoalan-persoalan lain. Karena itu, ada orangtua yang begitu ketat mengawasi gerak-gerik anak-anak mereka. Hal seperti ini bisa menjadi bumerang. Di depan orangtua, mereka bisa sangat sopan seperti malaikat. Tetapi di belakang orangtua, mereka bisa menjadi begitu beringas. Mereka bisa bertingkah laku sembrono. Mereka bisa menjadi orang yang sangat jahat.

Karena itu, orangtua yang bijaksana mesti memberi saat-saat bebas bagi anak-anak mereka. Kebebasan itu akan menciptakan suatu kreativitas dalam diri anak-anak. Mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang-orang yang baik dalam hidup ini. Mereka menjadi anak-anak yang menghormati dan mencintai orangtua mereka secara tulus. Tanpa suatu paksaan apa pun.

Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, tentu para orangtua ingin membekali anak-anak dengan nilai-nilai rohani. Misalnya, anak-anak memiliki sikap yang jujur, tulus, rela berkorban bagi sesama. Hal-hal seperti ini mesti diajarkan kepada mereka. Namun lebih-lebih para orangtua memberi contoh kepada anak-anak dengan terlebih dahulu jujur, tulus dan rela berkorban bagi sesama.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
317
Bagikan

Bertahan dalam Perbuatan Baik




Tahun 1898, John Dunning, seorang wartawan perang kantor berita Associated Press, meliput perang Kuba. Sebelum berangkat, ia pamit kepada Cordelia Botkin, teman selingkuhnya. Ia berkata, “Setelah penugasan ke Kuba, sebaiknya hungan kita diakhiri. Saya ingin kembali kepada istri saya, Mary.”

Cordelia Botkin sangat terpukul mendengar kata-kata John Dunning. Ia sangat marah. Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah kebebasan John Dunning. Status hubungan mereka bukanlah sebagai suami istri.

Suatu hari, saat John Dunning masih bertugas di Kuba, datang sebuah paket bertuliskan ‘Untuk Nyonya Dunning’ berisi coklat. Mary, seorang anak senator di Delaware, sangat bergembira menerima paket itu. Segera saja ia memanggil saudari dan dua ponakaannya. Mereka melahap coklat itu sampai habis. Tidak lama kemudian mereka muntah-muntah dan sakit perut yang hebat. Dalam hitungan jam, mereka meninggal.

Otopsi terhadap keempat korban menunjukkan adanya racun arsen dalam jumlah banyak di tubuh korban. Penyelidikan mendapati tulisan pada paket sesuai dengan tulisan Cordelia Botkin. Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Kecemburuan yang buta ternyata bisa berakibat fatal bagi kehidupan. Rasa ingin memiliki yang begitu besar dari seseorang bisa mengakibatkan hal-hal yang negatif terhadap orang lain. Dalam hidup ini hal-hal seperti ini bisa saja terjadi. Dalam lingkungan keluarga sekalipun hal seperti ini bisa terjadi. Kita baca di surat kabar atau nonton di TV tentang seorang istri yang tega membunuh suaminya. Atau seorang suami yang tega membunuh istrinya. Kadang-kadang persoalan yang dihadapi hanya persoalan sepele. Tetapi justru persoalan sepele itu bisa berakibat fatal bagi kehidupan. Persoalan sepele itu ternyata mampu mengalahkan cinta yang sudah dijalin bertahun-tahun.

Karena itu, dibutuhkan suatu kewaspadaan dalam hidup ini. Hal-hal yang tidak baik itu bisa seperti penyakit kanker yang mematikan. Untuk itu, yang mesti dilakukan oleh setiap orang adalah berusaha untuk melatih diri, agar tidak mudah terjerumus ke dalam perbuatan negatif. Latihan yang terus-menerus dapat membantu seseorang untuk lepas dari kecenderungan-kecenderungan yang kurang baik.

Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita dipanggil untuk bertahan dalam perbuatan-perbuatan baik. Memang ada begitu banyak godaan di sekitar kita. Ada suami yang mudah tergoda oleh kecantikan gadis di tetangga. Baiklah ia berusaha untuk menahan diri dengan mengatakan bahwa istrinya yang paling cantik di dunia ini. Ada pemuda yang mudah tergoda oleh kenikmatan sementara narkoba. Baiklah ia berlatih untuk menjauhkan diri dari teman-temannya yang suka memakai barang terlarang itu. Dalam usaha-usaha untuk hidup baik itu, kita mesti mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita bekerja bersama Tuhan untuk mengatasi berbagai persoalan hidup yang kita hadapi.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
316
Bagikan

Membangun Keakraban dalam Keluarga




Johan dan Gini adalah kakak beradik dari pasangan Wibowo dan Janet. Pak Wibowo adalah seorang pelaut. Kalau ia sedang melaut, berhari-hari bahkan berminggu-minggu ia berada di atas kapal. Karena itu, kepergian Pak Wibowo selalu dirindukan oleh Johan dan Gini. Kalau Pak Wibowo pulang, kedua kakak beradik itu sangat bergembira. Mereka tidak mau melewatkan waktu yang ada untuk bercanda dengan ayah mereka. Kadang-kadang bisa seharian penuh mereka saling bercanda atau bercerita.

Situasi seperti ini membuat keluarga Pak Wibowo sangat bahagia. Mereka bisa rekreasi bersama di pinggir kolam di pekarangan mereka. Suasana akrab sangat tercipta dengan baik. Hal yang agak aneh adalah kalau Pak Wibowo berada di rumah Johan dan Gini suka makan yang banyak. Bagi mereka, makan bersama dengan ayah meraka tidak akan terjadi dalam waktu yang lama. Paling-paling dua minggu. Setelah itu ayah mereka akan berlayar lagi bisa berbulan-bulan baru pulang ke rumah lagi.

Karena itu, kesempatan Pak Wibowo berada di rumah, Johan dan Gini berusaha untuk makan sepuas-puasnya. Pada kesempatan makan bersama seperti itu mereka dapat membangun keakraban di antara mereka.

Kerinduan untuk berjumpa dengan anggota keluarga merupakan hal yang sangat manusiawi. Ini yang mesti selalu dilakukan oleh setiap orang. Anggota keluarga adalah orang yang paling dekat. Pada kesempatan perjumpaan itu setiap anggota keluarga dapat mengungkapkan isi hatinya. Anggota yang sedang mengalami kegundahan dalam hidup, bisa dikuatkan untuk bangkit lagi. Anggota yang sukses dalam pekerjaan mendapatkan penghargaan dalam keluarga.

Kepedulian terhadap setiap anggota keluarga menjadi suatu keharusan dalam sebuah keluarga. Seperti apa pun sikap seorang anggota keluarga, ia patut mendapatkan kepedulian dari anggota yang lain. Karena itu, peranan orangtua sangat penting dalam membangun kepedulian ini.

Seorang anak yang sejak kecil diajari untuk peduli terhadap anggota keluarganya akan memberi perhatian yang besar kepada sesamanya. Mereka yang mengalami duka dan derita akan mendapatkan perhatian yang serius. Cinta diri yang berlebihan bukan menjadi bagian dari diri orang seperti ini. Ia akan mampu membagi apa yang dipunyainya untuk sesamanya yang mengalami penderitaan.

Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, pantaslah perjumpaan kita dalam keluarga kita bawa dalam suasana rohani. Artinya, kita mau ikut sertakan Tuhan dalam suasana akrab dan harmonis keluarga kita. Kita tidak hanya mencari Tuhan ketika kita mengalami penderitaan. Kita tetap menghadirkan Tuhan ketika kita mengalami sukacita dan damai dalam keluarga kita.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
315

Bagikan

Hidup di Bawah Penyelenggaraan Tuhan





Belum sepuluh tahun gempa menghancurkan rumahnya, datang gempa yang lebih dahsyat. Ini pengalaman seorang bernama Suwardi di Bengkulu. Baru tahun 2000 lalu rumahnya hancur berkeping-keping. Tanggal 12 September 2007 lalu rumahnya hancur lagi oleh goncangan gempa yang sangat dahsyat itu.

Suwardi tidak habis pikir. Ia tidak bisa mengerti. Mengapa ia baru mau mulai menikmati hasil panen kebun karetnya, justru derita yang mesti ia hadapi? “Apakah Tuhan masih mau menguji iman saya?” tanya Suwardi dalam hatinya.

Dalam kondisi seperti itu, yang justru membangkitkan semangatnya adalah kehadiran istri dan anak-anaknya. Mereka selamat. Mereka tidak mengalami luka sedikit pun. Mereka menyelamatkan diri keluar dari rumah begitu merasakan goncangan gempa.

Peristiwa mengerikan itu memberi suatu pemahaman yang sangat bernilai. Dalam kondisi seperti itu ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Apalagi ia mesti menyalahkan Tuhan. Baginya, inilah kesempatan baginya untuk semakin menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Baginya, Tuhan masih tetap memelihara hidupnya. Tuhan tidak meninggalkannya sendirian berjuang dalam hidup ini.

Peristiwa-peristiwa dalam hidup kita berlangsung silih berganti. Satu peristiwa diganti oleh peristiwa berikutnya. Kadang-kadang kita merasa suatu peristiwa terulang kembali. Banyak peristiwa lewat tanpa sempat kita hayati. Hanya beberapa saja yang mengesan, membekas dalam benak kita. Peristiwa-peristiwa kunci itu menjadi penentu atau titik simpul hidup kita.

Sering kita terlarut dalam suatu peristiwa. Baik kegembiraaan maupun kesedihan bisa membuat kita tertekan. Akibatnya, kita tidak sempat memikirkan yang lain selain kesedihan atau kegembiraan.

Hidup kita ini suatu anugerah dari Tuhan. Hidup ini suatu penyelenggaraan Tuhan. Tidak ada orang yang menyelenggarakan hidupnya sendiri. Tuhan selalu campur tangan dalam hidup manusia. Soalnya adalah bagaimana manusia menanggapi hidupnya. Apakah dalam susah dan sedih ia menanggapi sebagai kutukan dari Tuhan? Atau apakah dalam kondisi seperti itu ia menanggapinya sebagai bentuk lain dari kasih sayang Tuhan atas dirinya?

Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, tentu kita akan menanggapi segala bentuk susah, sedih dan derita hidup ini sebagai bentuk perhatian Tuhan terhadap kita. Karena itu, yang mesti kita lakukan adalah kita senantiasa berserah diri kepada Tuhan. Kita mesti senantiasa mengandalkan kasih setia Tuhan atas diri kita. Berserah diri kepada Tuhan berarti kita membiarkan Tuhan menguasai diri kita. Tuhan satu-satunya penyelenggara hidup kita ini. Tiada yang lain yang mampu memisahkan hidup kita dari penyelenggaraan Tuhan.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

Bagikan

27 Januari 2010

Membangun Kemauan untuk Bangkit dari Kesulitan






Seorang murid mengalami kesulitan dengan suatu mata pelajaran. Dengan mudah ia tidak senang terhadapnya dan semakin kesulitan. Ia sudah berusaha keras, namun ia masih tetap mengalami kesulitan. Ia juga sudah bertanya kepada teman-temannya yang lebih pintar darinya. Tetapi semua jawaban tidak membantunya untuk keluar dari kesulitan itu.

Ia mulai merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri di kelas. Melihat kondisi itu, teman-temannya malah menyingkirkannya. Mereka kurang mau menerima kehadirannya. Akhirnya, murid itu mendatangi guru kelasnya. Ia mengutarakan semua persoalan yang ia hadapi. Gurunya berusaha membantunya.

Kata gurunya, “Yang penting kamu memiliki kemauan untuk belajar. Kemauan itu yang mesti kamu tanamkan dalam dirimu.”

Murid itu menemukan jalan untuk keluar dari kesulitannya. Setelah pulang sekolah, ia mempelajari ulang bahan-bahan yang diberikan di kelas tentang pelajaran itu. Lama-kelamaan ia dapat menguasai pelajaran itu. Memang, yang ia butuhkan adalah kemauan dan kerja keras.

Setelah berhasil mengatasi kesulitannya, teman-temannya mulai mendekatinya kembali. Untuk hal ini, ia tidak dendam. Ia menerima kembali mereka apa adanya. Ia tidak mau mempersoalkan tingkah mereka waktu ia mengalami kesulitan. Ia malah bersyukur atas tantangan yang mereka tunjukkan kepadanya. Dengan begitu, ia dapat mencari cara-cara untuk keluar dari kesulitannya.

Dalam hidup ini, kita berjumpa dengan orang-orang seperti kisah di atas. Usaha keras ternyata dapat membantu orang untuk keluar dari kesulitan-kesulitan hidup. Untuk itu, orang mesti selalu berjuang. Tidak boleh berhenti berjuang. Apa pun tantangan yang dihadapi, orang mesti selalu mencari cara-cara untuk keluar dari kesulitannya.

Yang menarik adalah dalam hidup ini, kita jumpai juga orang-orang yang menyingkirkan sesamanya yang mengalami kesulitan. Orang hanya ingin melihat sesamanya yang tidak mengalami kesulitan hidup. Padahal hidup ini penuh dengan warna-warni. Hidup ini ada kalanya di atas. Tetapi ada kalanya berada di bawah. Ada kalanya orang mencapai kesuksesan yang gilang-gemilang. Tetapi ada kalanya orang mengalami kejatuhan yang paling pahit.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk berusaha menerima semua orang dalam keadaan apa pun. Kita menerima sesama yang sukses dengan sukacita. Tetapi kita juga mesti menerima mereka yang kurang beruntung dalam hidup ini dengan sukacita pula. Kesulitan hidup semestinya tidak menghalangi kita untuk membiarkan sesama kita terpuruk dalam kesulitannya.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

313
Bagikan

26 Januari 2010

Belajar Mendengarkan Suara Hati



Sebut saja namanya Arif. Ia seorang pegawai sebuah kantor pemerintah. Kedudukannya di kantor itu adalah kepala bagian salah satu seksi. Menurut teman-temannya, Arif termasuk orang yang baik dan jujur. Ia tidak biasa memungut uang dari orang-orang yang mengurus surat dengannya. Karena itu, teman-temannya sangat salut terhadapnya.

Suatu hari Arif mesti menjalani suatu pelatihan berkenaan dengan jabatannya. Arif sudah tahu, kalau acara seperti ini dibiayai oleh kantor dia bekerja. Biayanya biasanya banyak. Banyak anggaran yang dibuat-buat untuk memenuhi proyek yang telah diajukan itu.

Dalam hati, Arif mengalami pertentangan. Apakah ia mesti mengikuti pelatihan itu atau tidak. Kalau ia ikut, ia akan melanggar suara hati nuraninya. Soalnya, ia tidak ingin terlibat dalam kebohongan dengan mark up dana pelatihan. Tetapi kalau ia tidak ikut, ia akan dicap sebagai orang yang tidak loyal kepada atasannya.

Ini pilihan yang sulit bagi Arif. Soalnya, selama ini ia juga dikenal sebagai orang yang sangat loyal kepada atasannya. Dalam banyak hal ia loyal kepada atasannya, kecuali dalam hal mark up dana. Ini yang tidak pernah ia lakukan.

Salah seorang staf di kantornya merasakan kondisi ini. Suatu hari ia mendatangi Arif. Ia bicara tentang suasana batin Arif yang sudah mulai ia ketahui. Dengan berat hati, Arif menceritakan persoalan yang ia hadapi.

Stafnya itu berkata, “Selama ini bapak selalu menggunakan hati nurani yang jernih. Jadi saya harap bapak masih menggunakan hati nurani yang jernih untuk mengambil keputusan.”

Dengan berat hati, Arif berkata, “Kamu boleh berkata begitu. Tetapi ini persoalan masa depan saya dan kalian semua. Kalau saya tidak mengikuti pelatihan, kita semua akan hancur.”

Stafnya itu terheran-heran mendengar kata-kata Arif. “Jadi bapak tidak akan mengikuti suara hati bapak? Untuk satu hal ini, saya dan teman-teman tidak akan mendukung bapak,” kata stafnya itu dengan nada yang tinggi.

Arif terdiam. Beberapa saat kemudian ia berdiri memeluk stafnya itu. Ia menyesali kata-katanya. Untuk kali ini ia ingin mendengarkan suara hatinya yang jernih. Ia memutuskan untuk tidak mengikuti pelatihan.

Tidak mudah orang mengadakan pembedaan tentang yang benar dan yang salah dalam hidup ini. Orang sering dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut keberanian untuk mengambil keputusan. Keputusan yang salah akan berakibat fatal bagi hidup ini. Keputusan yang benar akan mendatangkan kebahagiaan bagi hidup.

Untuk itu, orang mesti dekat dengan Tuhan, Sang Kebenaran Sejati. Orang mesti masuk dalam perjumpaan dengan Tuhan yang mendalam. Tentu hal ini lewat doa. Lewat doa orang dapat menemukan kejernihan dalam mengambil keputusan untuk hidupnya.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa dekat dengan Tuhan. Doa mesti menjadi andalan hidup kita di saat-saat kita hendak mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup. Jangan hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri yang serba terbatas itu.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

312
Bagikan

25 Januari 2010

Melepaskan Irihati, Cemburu dan Dendam



Ada seorang ibu yang selalu cemburu terhadap tetangganya. Kalau ada tetangganya yang beli kulkas baru, ia juga mau ikut-ikutan beli. Ia merasa gengsinya akan naik, kalau ia memiliki apa yang dimiliki oleh tetangganya. Karena itu, ia tidak mau kalah. Persaingan ia teruskan ke hal-hal lain.

Kecemburuan itu terus berkembang. Di dalam hatinya mulai tumbuh rasa iri terhadap tetangganya itu. “Ah, dia itu kan bisanya ambil uang orang lain untuk beli barang-barangnya. Suaminya kan biasa korupsi,” kata ibu itu suatu hari kepada seorang temannya.

Temannya itu tidak mau menanggapi. Ia tahu kalau tetangga ibu itu orang yang baik. Suaminya seorang yang jujur. Karena itu, tidak ada alasan untuk menuduh hal yang bukan-bukan kepada suaminya.

Melihat hasutannya tidak berhasil, ibu itu menceritakan hal yang bukan-bukan kepada temannya yang lain. Gosip terus ia lancarkan, meski temannya itu tidak mau peduli juga. Akhirnya, ibu itu jadi bosan. Namun ia tetap menyimpan rasa iri di dalam hatinya. Bahkan suatu hari ia membuat rencana yang membahayakan nyawa tetangganya. Namun rencana itu tidak berhasil. Ia mengurungkan niatnya untuk mencelakai tetangganya.

Kita hidup dalam dunia yang sering memupuk persaingan yang tidak sehat. Untuk bersaing dengan orang lain yang lebih mampu, orang berani melakukan hal-hal yang tidak jujur. Tipuan-tipuan sering dilakukan untuk bersaing dengan orang lain. Hal ini tentu akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Untuk mencapai suatu hasil yang tinggi, orang mesti menipu diri sendiri. Orang menyembunyikan kemampuannya yang sesungguhnya.

Sering hal-hal seperti ini kemudian menimbulkan iri hati, dendam bahkan kebencian terhadp orang lain. Akibatnya, orang tidak peduli terhadap orang lain. Orang merasa diri mampu, tetapi sebenarnya tidak bisa buat apa-apa. Ketika harus berhadapan dengan dunia nyata, orang lalu sadar akan kenyataan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk membangun hidup yang mengandalkan ketulusan hati. Orang mesti tulus dalam kata-kata dan perbuatannya. Dengan demikian, ia dicintai oleh semua orang yang ia jumpai dalam hidupnya. Karena itu, pertanyaan bagi kita adalah sudahkah kita melepaskan diri dari iri hati, cemburu dan dendam?

Kalau kita bisa melepaskan iri hati, cemburu dan dendam, kita akan menjadi orang yang jujur pada diri sendiri dan sesama. Kita akan menjadi orang yang bahagia dalam hidup ini.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


311
Bagikan

Belajar Mengampuni dalam Keluarga



Ada seorang anak yang terkenal sangat nakal di rumahnya. Ia juga tidak takut sama siapa saja. Ia tidak memandang siapa yang ada di hadapannya. Kalau ia sedang marah, siapa pun akan dilabraknya. Suatu hari ia kena batunya. Orang yang tidak mau menerima kata-kata kasar anak itu adalah kakaknya sendiri. Sang kakak membalas kata-kata kasar adiknya dengan kata-kata kasar pula.

Akibatnya, mereka berkelahi. Tidak ada yang mau mengalah setelah cukup lama mereka beradu pukul. Sang ibu yang melihat peristiwa itu diam saja. Ia tidak mau melerai mereka. Setelah keduanya capek, sang ibu mendekati mereka. Dalam diam, ia menyuruh keduanya untuk bersalaman. Sang kakak menyorongkan tangan kanannya. Tetapi sang adik tidak mau menerimanya. Bahkan ia hampir menempeleng kakaknya. Untung, tangan sang ibu cepat menghadang tangan sang anak.

“Kamu harus minta maaf sama kakakmu,” kata sang ibu dengan tatapan mata yang tajam.

“Tidak. Dia yang harus minta maaf sama saya,” kata sang adik.

Sang kakak tertegun dalam diam. Beberapa saat kemudian, sang ibu berkata lagi, “Nak, ingatlah. Selama ini kami semua selalu mengampunimu. Kami selalu memaafkan segala perbuatan jelekmu. Coba satu kali ini saja kamu minta maaf dari kakakmu.”

Mata sang adik berbinar-binar. Air matanya bercucuran membasahi wajahnya. Ia tidak bisa menahan air matanya. Dalam sekejap ia merangkul kakaknya. Lalu ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan kakaknya.

Pengalaman itu sangat berkesan dalam hati sang adik. Mulai saat itu ia mulai merubah sikap-sikapnya. Ia tidak ingin menyusahkan keluarganya lagi. Ia menjadi anak yang santun dan mudah diatur oleh orangtuanya.

Sering kali orangtua kurang peduli terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak mereka. Tentu hal ini menjadi keprihatinan banyak orang. Sudah telanjur dibiarkan baru ada kesadaran akan perbaikan. Sebagai keluarga yang baik, tentu hal ini mesti dihindari.

Satu hal yang perlu diajarkan kepada anak-anak adalah saling mengampuni dalam keluarga. Hal ini terjadi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari. Orangtua mulai memberi contoh untuk saling memaafkan. Sebenarnya hal ini tidak sulit, kalau orang dengan rendah hati mau memaafkan atau memohon pengampunan dari anggota keluarga yang lain.

Mengapa orang mesti saling mengampuni di dalam keluarga? Alasan utama adalah setiap orang tidak luput dari kesalahan. Menyadari bahwa setiap orang tidak luput dari kesalahan, maka pengampunan mesti selalu ada dalam keluarga. Sejahat-jahatnya anak-anak, sejahat-jahatnya istri atau suami, mesti selalu ada pengampunan di dalam keluarga. Pengampunan itu pintu menuju kebahagiaan. Orang yang mengalami pengampunan itu akan merasakan ketenangan dalam hidup. Pengampunan itu sangat berharga dalam hidup ini.

Mari kita membangun sikap saling mengampuni dalam hidup kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu pintu menuju kebahagiaan. Kalau kita mengampuni sesama, kita akan mengalami betapa hidup begitu indah. Hidup begitu bernilai bagi diri kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

310

Bagikan

Membangun Kesetiaan

Seorang anak begitu kecewa terhadap ayah dan ibunya. Pasalnya, ayahnya punya istri simpanan. Sedangkan ibunya cuek saja terhadap dirinya. Dalam hatinya, ia memberontak. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia seorang gadis lemah yang sering dimarahi oleh ayahnya, kalau ia mulai mengungkit-ungkit istri simpanan ayahnya.


Gadis itu begitu merasakan derita yang begitu mendalam dalam batinnya. Ia berjuang untuk menahan semua derita itu. Namun ia tidak kuat. Suatu hari, ia mengambil keputusan untuk pergi dari rumahnya. Ia berharap dengan pergi dari rumah, semua persoalan yang ia hadapi selama ini akan selesai.


Ternyata gadis itu keliru. Justru ia tidak bisa melupakan persoalan dalam keluarganya. Sosok ayahnya selalu menghantui dirinya. Demikian juga sosok istri simpanan ayahnya selalu membayangi-bayangi wajahnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Katanya dalam hati, “Saya akan pulang dan menghadapi semua persoalan ayah dan ibu. Kalau mereka tidak saling setia, saya mau berusaha untuk setia. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.”


Dalam hidup ini kesetiaan itu mesti selalu dibangun. Namun persoalannya adalah membangun kesetiaan satu sama lain itu tidak selalu mudah. Susah-susah gampang, kata orang. Kesetiaan itu ibarat jinak-jinak burung merpati. Padahal kesetiaan itu mesti menjadi landasan dalam membangun sebuah keluarga dan hidup bersama. Suami istri yang saling setia akan memancarkan keharmonisan. Kesetiaan itu membuat suami istri tidak saling curiga. Kesetiaan membuat suami atau istri merasa tenang dalam hidupnya. Tidak ada yang perlu dicurigai.


Karena itu, suatu perkawinan itu tidak selesai, ketika kedua pasangan berjanji setia satu sama lain waktu mereka menikah. Kesetiaan itu mesti dibangun terus-menerus. Kesetiaan itu bukan sesuatu yang instan. Ada kalanya orang jatuh ke dalam godaan dan cobaan. Ada kalanya orang tidak kuat menghadapi berbagai persoalan hidup, sehingga membuat pasangan suami istri menyeleweng.


Setiap keluarga semestinya menjadi tempat untuk belajar kesetiaan. Untuk itu, orangtua mesti lebih dahulu menunjukkan kesetiaan itu dalam keluarga. Orangtua mesti saling setia. Bagaimana kesetiaan itu bisa dibangun? Banyak contoh yang bisa dipelajari dari keluarga-keluarga yang hidupnya baik di masyarakat. Orangtua yang saling setia itu orangtua yang mau memberi contoh kepada anak-anaknya untuk selalu setia dalam hidup sehari-hari.


Kita hidup dalam suatu dunia di mana perbedaan antara kesetiaan dan ketidaksetiaan itu begitu tipis. Kita hidup dalam masyarakat yang begitu mudah mengingkari kasih setia mereka. Hampir setiap hari kita menyaksikan tetangga kita yang cerai. Kita nonton berita begitu banyak artis yang cerai. Ini semua tantangan bagi keluarga-keluarga kita. Untuk memiliki sebuah keluarga yang baik dan harmonis, suami istri mesti tetap setia. Tidak ada jalan lain menuju keharmonisan kecuali melalui jalan kesetiaan.


Kita telah menerima banyak hal baik dari sesama dan Tuhan. Mari kita belajar dari Tuhan yang senantiasa setia kepada kita. Tuhan tidak pernah mengingkari kesetiaanNya kepada manusia, meskipun manusia tidak setia kepadaNya. Tuhan selalu menepati janjiNya. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


Bagikan

Membangun Keluarga Berlandaskan Persaudaraan







Keluarga Pak Anis tampak rukun dan bersahabat. Banyak hal mereka kerjakan bersama ketika berada di rumah. Makan malam selalu bersama. Kalau ada anggota keluarga yang belum berada di meja makan, semua yang lain menunggu. Kalau ada anggota keluarga yang sakit mereka selalu memperhatikan dengan sangat baik.

Ketika ditanya tentang kondisi keluarganya yang harmonis, Pak Anis mengatakan bahwa ia dan istrinya sudah membangun persaudaraan sejak mereka menikah. Ketika anak pertama lahir, ia dan istrinya selalu mengajarkan untuk selalu makan bersama. Persaudaraan terus mereka bangun ketika anak-anak lain lahir. Hasilnya, jarang sekali terjadi pertengakaran di dalam keluarga ini. Mereka saling mengerti dan saling mendukung cita-cita mereka.

Keluarga yang harmonis itu tidak dicapai dalam waktu yang singkat. Ada proses yang mesti dilewati oleh keluarga semacam ini. Kadang-kadang ada perselisihan kecil-kecil. Ada kalanya terjadi pertengkaran. Namun persoalan-persoalan yang ada itu bukan menjadi batu sandungan untuk menciptkan keluarga yang harmonis. Justru persoalan-persoakan yang ada itu menjadi pemacu bagi sebuah keluarga untuk mencapai cita-cita keluarga yang bahagia.

Ada banyak keluarga yang mencari jalan pintas dalam mencapai keluarga yang harmonis. Suami merasa bahwa keluarga yang harmonis itu tercapai kalau ia dapat memenuhi kebutuhan materi keluarganya. Karena itu, ia bekerja keras tanpa mengenal waktu. Ia lupa bahwa istrinya lebih ingin banyak waktu untuk duduk bersamanya. Anak-anak kurang ia perhatikan, karena kesibukannya bekerja itu. Persaudaraan yang mendalam dalam keluarga itu sulit tercipta, karena masing-masing keluarga mengurus diri sendiri.

Apa yang akan terjadi dengan keluarga seperti ini? Sedikit saja persoalan, pasti akan terjadi suatu malapetaka yang besar bagi keluarga ini. Karena itu, dalam hidup berkeluarga dibutuhkan suatu kebersamaan untuk membangun persaudaraan di antara anggota keluarga.

Setiap keluarga semestinya menjadi tempat anak-anak membangun persaudaraan yang tulus. Untuk itu, orangtua mesti menunjukkan bagaimana anak-anak dapat membangun persaudaraan yang tulus itu. Persaudaraan yang tulus itu persaudaraan yang membahagiakan semua orang. Suatu persaudaraan yang dibangun berdasarkan kehendak baik untuk membahagiakan orang lain.

Anak-anak biasanya belajar dari orangtuanya. Kalau orangtuanya tidak memiliki ketulusan dalam membangun persaudaraan dalam hidup, anak-anak juga akan mengikutinya. Kalau orangtua selalu tulus, jujur dalam membangun persaudaraan, anak-anak juga akan mencontoh. “Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya,” begitu kata pepatah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


308
Bagikan

24 Januari 2010

Membangun Keluarga Berlandaskan Cinta



Suatu hari seorang gadis yang tidak lama lagi melangsungkan perkawinannya bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apa yang membuat ayah begitu tahan terhadap ibu? Kan ibu itu orangnya bawel, suka marah-marah?”

Sambil tersenyum, ayahnya balik bertanya, “Apa yang kamu maksudkan? Apa yang kamu inginkan?”

Gadis itu menjawab, “Ayah kan tahu kalau calon suami saya itu orangnya punya sifat yang mirip dengan ibu. Jadi jauh-jauh hari saya mesti pasang strategi.”

Ayahnya menjawab, “Nak, setiap perkawinan itu mesti bersumber dari cinta kasih. Kalau tidak ada cinta kasih, ayah tidak akan lama bertahan hidup dengan ibumu. Ayah mencintai ibumu dan ibumu mencintai aku.”

Gadis itu bertanya lagi, “Tetapi masak ayah begitu tahan menghadapi ibu yang cerewet seperti itu?”

Sambil tersenyum, ayahnya menjawab, “Itulah cinta, nak. Inilah misteri orang saling mencintai. Bahkan kamu kan menyaksikan sendiri kalau kami juga tidak satu suku. Kami bertahan hanya karena cinta. Kami telah disatukan oleh cinta.”

Hidup manusia yang normal selalu dilandasi oleh cinta. Dan cinta itu sudah dimulai sejak dalam keluarga, ketika sepasang suami istri saling mengungkapkan cinta mereka. Orang yang kurang mendapatkan cinta dari orangtua biasanya akan mengalami kesulitan dalam hidup. Orang seperti ini akan melampiaskan kurangnya cinta itu dengan cara-cara yang kurang baik.

Cinta itu mesti ditampakkan oleh orangtua terhadap anak-anak mereka. Orangtua yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya akan menjadi orangtua yang bahagia. Orangtua yang memiliki hati yang baik untuk pertumbuhan hidup baik jasmani maupun rohani dari anak-anaknya. Karena itu, keluarga mesti menjadi tempat anak-anak belajar untuk saling mencintai.

Bagi orang yang beriman, kita yakin bahwa cinta yang kita miliki itu mesti bersumber dari cinta Tuhan sendiri. Karena itu, setiap keluarga mesti membuka diri kepada kehendak Tuhan. Yang dipunyai oleh Tuhan hanyalah cinta. Tuhan menciptakan manusia dan makhluk sejagat ini karena Tuhan mencintai manusia.

Namun kita mesti mengakui bahwa di jaman serba modern ini cinta orangtua terhadap anak-anaknya sudah digantikan oleh cinta sinetron. Anak-anak diberi waktu terlalu banyak untuk nonton televisi. Padahal cinta sinetron itu cinta yang semu. Cinta tipu-tipuan. Untuk itu, keluarga-keluarga mesti mewaspadai hal ini. Jangan karena orangtua terlalu sibuk lalu kurang mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak, buah hati mereka.

Setiap hari kita menerima begitu banyak bentuk cinta. Mari kita syukuri semua itu sebagai anugerah dari Tuhan. Kita bawa cinta itu dalam hidup kita. Dengan demikian, kita senantiasa dipenuhi oleh cinta Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




307

Bagikan

23 Januari 2010

Bekerja Keras untuk Meraih Cita-cita





Suatu hari seorang anak SD ditanya oleh ayahnya, “Nak, kalau sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”

Serta merta anak itu mejawab, “Saya ingin menjadi orang yang popular. Saya ingin terkenal di seluruh dunia.”

Ayahnya tersenyum-senyum mendengar jawaban anaknya. Lantas ia berkata, “Nak, kalau kamu ingin terkenal di dunia, kamu harus mulai dari sekarang. Kamu harus membangun hidupmu mulai dari sekarang.”

Anak itu menjawab, “Baik, ayah. Tetapi bagaimana caranya, ayah?”

Ayahnya menjawab, “Kamu harus bangun pagi-pagi untuk belajar. Kamu harus rajin, baik di rumah maupun di sekolah. Nilai-nilai ujian yang kamu peroleh itu harus murni. Tidak boleh dari hasil nyontek. Kamu tidak boleh memaksa mamamu untuk memandikanmu lagi.”

Mendengar syarat-syarat itu, anak itu menjadi takut. Selama ini ia sulit dibangunkan di pagi hari. Selama ini ia malas belajar. Selama ini ia sering nyontek. Selama ini ia belum mau mandi sendiri. Jadi syarat-syarat itu terlalu berat baginya.

Setelah beberapa lama berpikir, ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, lebih baik saya jadi orang yang biasa-biasa saja. Saya masih ingin menikmati hidup ini.”

Untuk menjadi orang populer itu ternyata berat. Dibutuhkan kerja keras untuk menjadi orang yang terkenal di seantero jagat. David Beckham, misalnya, mesti berlatih lima belas jam sehari untuk menjadi seorang pemain sepakbola terkenal. Yang ia petik di puncak kariernya itu sebenarnya sudah ia bangun sejak ia masih kecil.

Kita hidup dalam dunia yang menantang. Dunia terus-menerus menawarkan popularitas kepada semua orang. Pertanyaannya, apakah generasi penerus bangsa ini mampu bekerja keras untuk meraih popularitas? Menjadi tersohor atau populer itu tidak datang dengan sendirinya. Orang mesti berusaha untuk meraih cita-cita yang tinggi itu.

Sebagai orang beriman, kita semua diajak untuk senantiasa berusaha dalam meraih cita-cita kita. Orangtua yang ingin anak-anaknya berhasil dalam hidupnya mesti bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya. Untuk itu, kita butuh rahmat Tuhan yang dapat memberi kita semangat dalam usaha-usaha kita meraih cita-cita.

Setiap hari kita mendapatkan banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita syukuri semua kebaikan itu. Kita bawa hal-hal baik itu dalam hidup kita. Dengan demikian, kita memperoleh ketenangan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

306

Bagikan

22 Januari 2010

Menerima Sesama Apa Adanya




Suatu pagi, waktu saya masih SMA, saya disenggol oleh seorang pemabuk. Bahkan ia mengumpat-umpat saya dengan sangat kasar. Tidak hanya itu. Ia juga menampar saya dua kali. Saya sama sekali tidak tahu penyebabnya. Yang terjadi adalah saya melintas di jalan menuju rumah orangtua saya. Orang yang mabuk itu baru saja bangun dari tidur di pinggir jalan itu. Rupanya semalam suntuk ia begadang bersama teman-temannya dengan minum arak yang kadar alkoholnya sangat tinggi. Teman-temannya yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan dia sendiri tidak kuat berjalan sampai di rumahnya.

Saya sangat terkejut, ketika dia mengumpat-umat saya. Apalagi dia sampai menampar saya dua kali. Saya tidak mau membalas, karena orang yang berada dalam keadaan mabuk berat biasanya kondisi kejiwaannya setengah sadar. Jadi saya biarkan saja. Yang saya lakukan adalah saya menuntunnya pulang ke rumahnya. Meski dia tetap mengumpat-umpat saya, saya berusaha untuk tidak membalasnya.

Rupanya sikap saya itu berhasil menenangkan orang yang mabuk berat itu. Setelah sampai di rumahnya, saya menyerahkannya ke keluarganya. Istrinya bahkan memarahinya habis-habisan. Ia tidak habis pikir, kalau suaminya masih juga mencicip arak dengan kadar alkohol yang tinggi itu. Bahkan ia mengambil sebatang kayu dan mulai memukuli suaminya.

Melihat hal itu, saya jadi heran. Saya tidak bisa mengerti. Mengapa tidak ada ampun bagi sang suami? Saya malah merasa bersalah, karena telah membawa pulang orang yang mabuk itu ke rumahnya. Kalau saja saya membiarkan dia tetap di pinggir jalan sambil hilang mabuknya, tentu dia tidak akan dipukuli istrinya. Tapi sudah terlanjur.

Dalam hidup ini bisa saja terjadi hal-hal aneh. Orang yang berada dalam keadaan lemah semestinya dibantu. Namun kadang-kadang kita menjumpai ada orang yang begitu kejam terhadap sesamanya. Ia tidak peduli bahwa yang dihadapi itu orang yang menjadi bagian dari hidupnya.

Karena itu, dibutuhkan pentingnya mengampuni dan menerima apa adanya sesama. Sering kali yang terjadi adalah kita terlalu banyak menuntut orang melakukan hal-hal yang baik untuk hidup kita. Kita tidak membiarkan orang itu melakukan sesuatu yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Kita semua menghendaki hidup ini baik dan harmonis. Namun kita juga mesti mengakui bahwa untuk sampai pada suasana seperti itu dibutuhkan suatu perjuangan. Ada kalanya usaha untuk mencapai suasana seperti itu terbentur oleh realitas yang sungguh-sungguh berbeda dengan harapan kita. Untuk itu, kita mesti menerimanya dengan lapang dada sambil berusaha untuk memperbaikinya.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita bawa semua itu dalam hidup kita hari ini. Dengan demikian, hari ini menjadi hari yang damai bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

305
Bagikan

21 Januari 2010

Bertumbuh dalam Kerendahan Hati


Ada seorang bernama John Bunyan. Ia anak seorang tukang patri yang miskin. Dari hari ke hari hidupnya ia rasakan tidak maju-maju. Ia bosan hidup dalam kemiskinan itu. Karena itu, ia berpikir bahwa percuma ia hidup dalam keadaan seperti itu. Ia ingin hidupnya menjadi lebih bermakna bagi dirinya dan sesamanya. Ia ingin berguna bagi banyak orang.

Karena itu, ia bertekad untuk menerima Tuhan dalam hidupnya. Caranya adalah dengan menyerahkan seluruh kemampuannya kepada Tuhan. Apa yang ia miliki itu ingin ia berikan kepada Tuhan. Ia menyerahkan kemiskinannya, kebodohan dan kelemahannya. Ia membiarkan Tuhan bekerja atas dirinya. Hasilnya, sangat ajaib. Rupanya Tuhan menggunakan John Bunyan yang miskin itu untuk menyelamatkan begitu banyak orang. John Bunyan menjadi pelayan Tuhan yang luar biasa. Orang yang biasa-biasa saja itu menjadi luar biasa dalam melayani Tuhan.

Rahasia keberhasilan John Bunyan ternyata terletak pada kerendahan hatinya. Menurut John Bunyan, kerendahan hati itu seperti sebuah lembah. Lembah itu biasanya terletak di bagian paling bawah dan pada bagian itu tanahnya subur, pohonnya banyak dan buahnya lebat. Karena itu, orang mesti bertumbuh dalam kerendahan hati. Ia akan menghasilkan banyak buah, kalau ia memiliki kerendahan hati.

Sering orang merasa diri hebat. Orang merasa bahwa dia dapat melakukan apa saja tanpa bantuan orang lain. Karena itu, ia akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan gengsi dan kesombongan dirinya. Orang merasa bahwa dengan kekuatannya sendiri ia dapat melakukan segala sesuatu.

Tentu saja pandangan seperti ini sangat keliru. Manusia itu makhluk yang serba terbatas. Manusia itu tidak bisa melakukan banyak hal, kalau orang lain tidak membantu. Manusia itu makhluk yang selalu tergantung kepada yang lain.

Karena itu, tindakan yang diambil oleh John Bunyan dalam kisah tadi sangat tepat. Ia merasa diri tidak mampu melakukan banyak hal untuk keluar dari kemiskinannya. Untuk itu, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Ia mempercayakan seluruh hidupnya ke dalam kuat kuasa Tuhan. Ia yakin, Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu akan membantu hidupnya. Tuhan akan selalu peduli terhadap dirinya. Yang penting adalah ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan tanpa banyak persyaratan.

Sebagai orang beriman, kita mesti mendahulukan kerendahan hati di atas segala-galanya. Untuk itu, butuh suatu kesadaran yang mendalam bahwa kita ini manusia yang lemah dan tak berdaya tanpa bantuan dari Tuhan. Kita ini hanyalah makhluk yang terbatas yang dapat melakukan sesuatu yang ajaib, kalau Tuhan senantiasa memberi kekuatan kepada kita.

Karena itu, mari kita menanggalkan segala gengsi dan kesombongan diri yang berlebihan. Kita mesti berani untuk mengulurkan tangan kita meminta bantuan dari sesama kita. Kita mesti senantiasa berserah diri kepada Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

304

Bagikan

20 Januari 2010

Berani Bekerja Keras



Adalah seorang perempuan bernama Dian Sudarjo. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, ia telah mengembangkan jaringan media massa yang luas dari majalah, televisi, radio beserta sindikasinya. Padahal seperti majalah, ia awali dengan coba-coba. Ibu dari tiga anak ini mengaku bekerja dari pukul 10.00 hingga pukul 24.00.

Dengan yakin, ia berkata, “Bisnis hanya bisa berjalan kalau kita mau tangan kita kotor. Diperlukan dirty hands dan pengetahuan akan detail.”

Untuk itu, ia bersikap tidak seperti konglomerat yang menyewa eksekutif dan mengira semuanya akan beres. Ia berkata lagi, “Tidak bisa, kita harus bekerja sendiri untuk tahu detailnya...”

Dian Sudarjo memang seorang perempuan yang mau bekerja keras untuk usaha-usahanya di bidang massmedia itu. Baginya, memiliki etos kerja yang baik menjadi andalan utama suksesnya suatu usaha. Karena itu, ia tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan para karyawannya bekerja sendiri. Ia terlibat langsung dalam usahanya. Dengan demikian, ia tidak merasa dibohongi. Ia tahu apa yang mesti ia tangani.

Banyak orang terjerumus ke dalam godaan untuk menjadi mandor atas usaha-usahanya. Ini yang sering menghambat kemajuan usaha-usahanya. Atau hal ini yang sering membuat orang tidak maju dalam usaha-usahanya. Usaha-usaha hanya berjalan di tempat.

Orang seperti ini biasanya tidak tahu banyak tentang seluk beluk usaha. Padahal dengan terjun langsung menangani usaha, orang belajar sesuatu yang baru. Orang belajar dari pengalaman bekerja itu. Dengan demikian ketika ada tantangan atas usahanya, ia tahu sungguh-sungguh apa yang mesti ia lakukan untuk menghadapi tantangan itu.

Seseorang yang memiliki kecintaan yang besar terhadap pekerjaaannya akan menuai hasil yang memuaskan. Hal ini bukan hanya kepuasan akan berhasilnya usaha yang bisa dilihat dengan mata. Tetapi juga orang mengalami kepuasan batin. Nilai rohani dari suatu pekerjaan akan mampu membawa orang pada kebahagiaan.

Karena itu, orang mesti memiliki kemauan untuk bekerja sendiri. Orang yang tidak memiliki kemauan untuk berusaha sendiri akan tenggelam dalam keterpurukan hidup. Untuk itu, dibutuhkan kerja keras. Dibutuhkan pengorbanan yang besar, kalau orang mau berhasil dalam usaha-usahanya. Orang tidak bisa hanya duduk manis saja dan mengharapkan usaha-usahanya berhasil. Dibutuhkan dirty hands, tangan yang rela untuk kotor dan dikotori oleh pekerjaannya.

Sebagai orang beriman, bekerja itu bagian dari iman. Bekerja untuk usaha sendiri itu membawa orang untuk semakin beriman kepada Tuhan. Karena itu, orang mesti berani untuk mau secara terus-menerus melibatkan diri dalam usaha-usahanya.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan. Mari kita bawa semua itu dalam hidup kita hari ini. Dengan demikian, kita menemukan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
301
Bagikan

19 Januari 2010

Berusaha Mengendalikan Diri




Raynald III adalah adipati abad ke-14 di Negara yang sekarang bernama Belgia. Dia sangat tambun. Dalam suatu revolusi, Raynald III ditangkap oleh adiknya sendiri dan dipenjarakan di sebuah ruang khusus. Ruang ini tidak memiliki trali besi di jendelanya dan tidak ada kunci di pintunya. Soalnya, mengapa Raynald III tidak bisa keluar? Ternyata pintu itu sengaja dibuat lebih kecil daripada ukuran tubuhnya yang tambun itu. Dengan demikian ia tidak bisa keluar.

Namun, masih ada harapan baginya. Jika dia dapat menurunkan berat badannya, adiknya bahkan menawarkan untuk mengembalikan gelarnya dan semua kekayaannya segera setelah keluar dari ruang tahanan itu.

Sang adik berani mengajukan tawaran ini, karena dia tahu kelemahan kakaknya. Raynald sangat suka makan melebihi siapa pun di dunia ini. Setiap hari, sang adik mengirimi berbagai makanan yangg enak ke ruang Raynald.

Raynald pun bertambah tambun. Ia tidak mungkin keluar dari sel melalui pintu yang lebih kecil dari tubuhnya itu. Ia mesti menjalani hidup di dalam penjara.

Manusia sering dipenjara oleh nafsu-nafsunya. Ada orang yang begitu terikat oleh makanan yang enak-enak, sehingga dia sulit melepaskannya. Padahal orang ini mesti menjalani diet, karena berbagai penyakit yang dideritanya. Atau ada orang yang memiliki ketergantungan yang begitu tinggi terhadap rokok. Setiap saat mulotnya tidak lepas dari batang-batang rokok. Padahal ia sering batuk-batuk. Ia juga mengalami sakit jantung.

Ada juga orang yang tidak bisa lepas lagi dari minuman beralkohol. Setiap hari ia mesti minum minuman beralkohol itu. Ia sudah ketagihan. Padahal setelah mabuk, biasanya ia membuat keributan. Atau ada orang yang begitu tergantung terhadap narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya.

Orang-orang seperti ini terpenjara oleh keinginan dirinya yang berlebihan. Mereka terbelenggu oleh keinginann yang tidak bisa dikendalikan. Padahal kalau mereka bisa mengendalikan diri, begitu banyak hal baik yang bisa mereka lakukan untuk diri sendiri dan sesama.

Karena itu, dibutuhkan suatu usaha untuk mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan yang menguasai diri. Hidup yang aman, damai dan harmonis itu tercipta, kalau orang mampu mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan itu. Untuk itu, orang mesti berjuang untuk mengendalikan diri.

Sebagai orang beriman, usaha untuk mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan itu mesti dilakukan dalam bimbingan Tuhan. Orang mesti berani menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Tuhan yang semestinya menguasai dirinya, bukan berbagai macam keinginan itu.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita syukuri semua itu. Kita bawa dalam hidup kita, agar damai senantiasa menyertai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
300
Bagikan

18 Januari 2010

Menimba Rahmat dari Perbuatan Baik



Waktu saya masih SD, seorang teman saya mencuri uang ayahnya sebesar seribu rupiah. Di tahun 70-an seribu rupiah itu memiliki nilai yang tinggi. Di sekolah, ia mentraktir kami. Hal ini berlangsung selama dua hari. Pada hari yang ketiga, teman saya ini membelikan kami permen. Cukup banyak. Kami mulai curiga, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?

Ketika kami bertanya tentang dari mana ia mendapatkan uang, ia mengatakan bahwa uang itu ia peroleh dari kakaknya. Tetapi kami tidak percaya. Kakaknya tidak punya pekerjaan. Ia juga putus sekolah dan nganggur saja di rumah. Karena itu, kami tidak percaya.

Setelah kami mendesak dia lalu dia mengakui bahwa ia mengambil uang itu dari saku celana ayahnya. Ia sedang tidak suka dengan ayahnya yang kurang memperhatikannya. Karena itu, ia mengambil uang itu untuk jajan. Setelah kami menasihatinya agar ia tidak melakukan lagi hal seperti itu, teman saya itu berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Ia takut kalau nanti dihukum oleh ayahnya setelah ketahuan mengambil uang ayahnya.

Sejak itu, teman saya itu berubah menjadi orang yang jujur. Ia juga tidak mau pamer lagi dengan membelikan jajan untuk kami, walau ia punya uang pemberian ibunya. “Saya kapok. Saya tidak mau melakukan hal itu lagi,” kata teman saya itu.

Suatu kebiasaan jelek akan terus bertumbuh dan berkembang kalau dilakukan terus-menerus. Seorang yang sudah merasa enak menggunakan narkoba akan menggunakannya terus-menerus. Ia tidak peduli, kalau narkoba itu akan merusak masa depannya.

Demikian pula sebuah perbuatan baik akan terus-menerus dilakukan, kalau orang merasakan bahwa perbuatan baik menyenangkan hatinya. Perbuatan baik itu dapat menjadi suatu gaya hidup. Suatu kebiasaan yang mampu memberi makna dan nilai bagi hidup seseorang. Suatu perbuatan baik akan bertumbuh dan berkembang terus-menerus, kalau hal itu bukan menjadi beban bagi hidup.

Karena itu, orang mesti berjuang untuk melakukan perbuatan baik dalam hidup ini. Perbuatan baik akan memperkaya orang dalam pergulatan hidup ini. Perbuatan baik itu akan menguatkan orang di kala ia mengalami suatu kesulitan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diundang untuk melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya. Namun perbuatan baik itu mesti dilaksanakan dengan semangat hati yang bebas. Orang tidak boleh terbelenggu dalam suasana keterpaksaan. Perbuatan yang dilakukan dengan bebas akan menjadi rahmat bagi diri dan sesama.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Kita mohon, agar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu senantiasa menguatkan perbuatan baik kita. Mari kita bawa semua perbuatan baik kita itu dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
299
Bagikan

17 Januari 2010

Membangun Kejujuran dalam Hidup




Seorang pembuat roti di sebuah desa membeli mentega dari seorang petani yang juga tetangganya. Suatu hari dia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak sesuai dengan berat yang diinginkannya. Karena itu, pembuat roti itu ingin mencari tahu.

Selama beberapa hari, dia menimbang mentega itu dan mendapati bahwa setiap kali menimbang, berat mentega itu berkurang alias menyusut. Hal ini membuatnya marah dan mengajukan petani itu ke pengadilan.

Hakim berkata kepada petani itu, “Saya kira Anda memiliki timbangan.”

Petani itu menjawab, “Tidak, pak hakim.”

Tanya hakim, “Lalu bagaimana Anda menimbang mentega yang Anda jual?”

Petani itu menjawab, “Hal itu mudah saya jelaskan. Ketika tukang roti itu membeli mentega dari saya, saya pun membeli roti darinya. Nah, saya memakai roti yang katanya seberat tiga ons untuk mengukur mentega yang saya jual. Jika berat mentega itu kurang dari tiga ons, berarti dia sendiri yang disalahkan.”

Banyak hal dilakukan orang untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Timbangan bisa direkayasa untuk mengeruk keuntungan yang besar dari usaha. Atau orang berani menjual barang yang kualitas rendah dengan harga yang tinggi. Ketidakjujuran seringkali menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kalau sampai seorang pembeli tahu akan ketidakjujuran seorang penjual, ia akan mengalami sakit hati. Apalagi ia sudah menjadi pelanggan yang setia. Ia akan beralih ke penjual yang lain. Tidak hanya itu, seorang pembeli juga akan menceritakan ketidakjujuran penjual kepada orang lain. Akibatnya, kerugian akan diderita oleh penjual. Bukan hanya oleh pembeli. Penjual itu akan kehilangan banyak pembeli.

Kejujuran semestinya dipegang teguh dalam hidup ini. Hanya melalui kejujuran orang dapat hidup tenang dan bahagia. Orang yang jujur tidak dikejar-kejar oleh kesalahan dan dosa yang dilakukannya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kejujuran selalu menjadi andalan hidup kita. Hanya dengan modal kejujuran kita akan menemukan banyak hal baik di dunia ini. Banyak orang akan menjadi teman seperjalanan hidup kita. Banyak orang akan memberikan perhatian bagi kita, karena kita jujur.

Karena itu, membangun kejujuran dalam hidup sangat berguna bagi hidup kita. Ketidakjujuran hanya akan menyakiti hati kita. Ketidakjujuran membuat tidak tenang dalam hati kita.

Setiap hari kita menerima banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita gunakan semua itu untuk membangun hidup yang jujur. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



298
Bagikan

16 Januari 2010

Kejujuran Itu Membahagiakan


Ada seorang bendahara yang jujur. Ia hidup dari gaji yang ia peroleh dari pekerjaannya sebagai bendahara di suatu kantor. Ada usaha-usaha dari teman-temannya untuk meminta tambahan tip setiap kali penggajian. Ada banyak janji dari teman-temannya untuk memberi dia bagian juga, kalau mereka diberi tip itu. Tetapi bendahara itu selalu menolak. Alasannya, hal itu tidak sesuai dengan peraturan dan hati nuraninya.

Suatu hari salah seorang anaknya sakit keras. Gajinya tidak cukup untuk ongkos perawatan anaknya itu. Ia pun tergoda oleh uang yang banyak di kas di kantornya. Setelah diberitahu oleh istrinya tentang anaknya yang sakit keras itu, ia memutuskan untuk mengambil sejumlah uang dari kas kantornya untuk ongkos perawatan anaknya. Ia membawa pulang uang itu. Ia sangat hati-hati, supaya tidak ada teman-teman sekerjanya nengetahui perbuatannya.

Tetapi di tengah perjalanan menuju rumahnya, bendahara itu merasa tidak enak. Suara hati nuraninya menegurnya dengan keras, “Kembalikan uang itu. Itu bukan milikmu.” Ia berjuang keras untuk melawan suara hatinya. Tetapi ia tidak mampu. Dengan hati yang agak kecewa, ia kembali lagi ke kantornya. Ia mengembalikan uang itu ke kas kantornya. Setelah itu, ia pulang ke rumahnya. Ia merasa damai. Ia merasa tenang.

Namun begitu sampai di rumah, ia menyaksikan anaknya yang sedang sekarat karena demam tinggi. Ia menggendong anaknya. Ia memeluknya. Lalu ia berdoa, “Tuhan, saya serahkan anak ini kepadaMu. Tuhan mau apakan anak ini, terserah.” Seketika itu juga anak itu sembuh. Ia tidak harus membawa anak itu ke rumah sakit. Demamnya tiba-tiba hilang.

Orang yang jujur akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Kisah di atas menunjukkan bahwa dalamm kondisi apa pun orang mesti jujur terhadap dirinya sendiri. Bendahara itu mengakui keterbatasan dan kekurangannya. Karena itu, ia menyerahkan keterbatasan dan kekurangannya itu kepada Tuhan. Harapannya pada Tuhan menjadi kunci kebahagiaannya. Anaknya yang sakit keras dapat sembuh kembali. Ia tidak perlu kehilangan anaknya.

Dalam hidup sehari-hari sering orang beriman ditantang untuk tetap hidup jujur. Ada begitu banyak godaan yang mendatangi orang yang jujur. Namun orang beriman mesti menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Artinya, orang menaruh harapannya hanya pada Tuhan. Ia yakin, Tuhan akan mampu memberikan yang terbaik bagi hidupnya.

Mampukah Anda menaruh harapan Anda hanya pada Tuhan semata? Kalau Anda berani menaruh harapan Anda pada Tuhan semata, yakinlah kebahagiaan akan senantiasa menaungi Anda. Karena itu, sebagai orang beriman, mari kita mengandalkan Tuhan dalam hidup kita. Dengan demikian, damai dan kebahagiaan selalu menjadi bagian hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
297
Bagikan

15 Januari 2010

Peka terhadap Suara Tuhan


Lebih dari 200 orang luka parah dan 60 orang kehilangann nyawanya ketika Hotel LaSalle di kota Chicago, Amerika Serikat, terbakar pada dini hari tanggal 5 Juni 1947 lalu. Sepuluh orang di antaranya meninggal, karena melompat dari jendela kamar mereka di lantai atas.

Sebelum api mengamuk, seorang usahawan Chicago menelepon istrinya dari salah satu kamar hotel itu. Dia memberitahunya bahwa ia sedang bermain kartu dengan beberapa temannya. Istrinya menyuruhnya pulang. Namun usahawan itu keberatan. Ia tidak peduli atas permintaan istrinya itu. Usahawan itu mengatakan bahwa ia akan menyelesaikan satu putaran lagi baru kemudian pulang ke rumah. Tetapi beberapa menit sebelum permainan kartunya selesai, api berkobar. Usahawan itu mati dalam nyala api yang mengerikan itu.

Para regu penolong menyeret tubuhnya yang hangus dari reruntuhan hotel itu keesokan harinya. Semua itu menimpanya, karena dia tidak mau berhenti berjudi sampai satu putaran lagi.

Hidup manusia itu tidak diketahui kapan berakhir. Caranya berakhirnya hidup itu pun tidak pernah diketahui. Seolah-olah dalam hidup ini orang meraba-raba tentang hari esoknya. Orang tidak bisa memastikan apakah semenit kemudian dia masih hidup atau sudah meninggal.

Kisah di atas menunjukkan bahwa orang tidak peduli akan hidupnya. Orang hanya mencintai dirinya sendiri dengan mengikuti kesenangan pribadinya. Orang tidak peduli bahwa ada sesamanya yang membutuhkan kehadirannya. Kesenangan pribadi itu ternyata berakibat fatal terhadap hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus hidup di bawah naungan Tuhan. Orang yang hidup di bawah naungan Tuhan itu senantiasa mendengarkan suara Tuhan. Tuhan berbicara lewat orang-orang yang ada di sekitar kita. Tuhan berbicara lewat tanda-tanda yang ada di sekitar kita. Karena itu, kita dituntut untuk peka terhadap suara Tuhan itu. Kita dituntut untuk peka terhadp tanda-tanda jaman di sekitar kita.

Setiap hari kita menerima banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Hal-hal itu merupakan tanda-tanda jaman di mana kita masih diberi perlindungan oleh Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan senantiasa menyertai perjalanan hidup kita.

Karena itu, mari kita syukuri penyertaan Tuhan itu dan senantiasa mendengarkan suaraNya dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
296
Bagikan

14 Januari 2010

Keselarasan antara Pengungkapan dan Penghayatan Iman



Suatu malam, seorang suci bermimpi dibawa ke surga. Pada saat dia berjalan melalui jalan-jalan yang terbuat dari emas, dia melihat sekumpulan benda yang dikiranya adalah siput. Dia bertanya, “Apa yang sedang dilakukan siput-siput di sini?”

Tiba-tiba terdengar jawaban, “Mereka itu bukan siput. Mereka itu telinga dari orang-orang yang mendengarkan kebenaran, tetapi tidak pernah mengindahkannya. Telinga mereka ada di sini, tetapi tubuh mereka berada di neraka.”

Tidak berapa lama kemudian, orang suci itu melihat setumpukan benda lain yang dikiranya ular kecil. Dengan nada yang semakin heran, dia bertanya, “Mengapa ular-ular ini berada di surga?”

Lantas ia mendengar lagi jawaban, “Mereka itu bukan ular. Mereka itu lidah orang-orang yang menyampaikan kebenaran kepada orang lain, tetapi hidup mereka jauh dari kebenaran yang mereka serukan. Lidah mereka ada di sini, tetapi tubuh mereka berada dalam siksaan di neraka.”

Kisah ini mengungkapakan ketimpangan antara iman dan perbuatan. Ada orang yang merasa bahwa beriman saja itu sudah cukup. Orang tidak usaha lagi menghayatinya dalam hidup sehari-hari. Iman seperti ini adalah iman yang mati. Iman yang tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri. Akibatnya, orang tidak memiliki keselamatan kekal.

Ada dua hal dalam hidup manusia berkenaan dengan iman, yaitu pengungkapan iman dan penghayatan iman. Pengungkapan iman itu berkenaan dengan ibadat yang dilakukan di rumah-rumah ibadat. Pengungkapan iman itu berkenaan dengan doa-doa dan puji-pujian yang dilambungkan kepada Tuhan. Ibadat, doa dan puji-pujian yang dilambungkan kepada Tuhan itu mesti berasal dari hati yang terdalam.

Penghayatan iman itu berkenaan dengan perbuatan nyata dalam hidup sehari-hari. Iman yang mendalam itu akan tampak dari perbuatan seseorang. Iman yang yang hidup itu tampak nyata dari cara hidup seseorang. Biasanya orang yang sungguh-sungguh beriman akan tampak dalam perbuatan baik seseorang. Misalnya, orang tidak mudah marah. Orang sabar dalam hidup ini. Orang mudah memaafkan kesalahan sesamanya. Ia tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Tetapi ia selalu menyediakan beribu-ribu pengampunan bagi sesama yang melakukan dosa dan kesalahan. Orang yang selalu memiliki cinta yang sejati kepada sesamanya dalam hidup yang konkret seperti mau membantu sesamanya yang berkekurangan.

Nah, kalau terjadi keharmonisan antara pengungkapan iman dan penghayatan iman, orang akan mengalami sukacita dan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan itu akan ia rasakan sungguh menjadi nyata dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menjaga keselarasan antara dua hal ini. Dengan demikian, kebahagiaan dan damai senantiasa menjadi bagian dari hidup kita. Kebahagiaan itu bukan hanya suatu impian. Tetapi kebahagiaan itu menjadi nyata dalam hidup yang konkret. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

303

Bagikan

Memberi Perhatian bagi Mereka yang Membutuhkan

Suatu hari seorang bapak yang sedang sakit sekarat meminta anaknya untuk membelikan obat yang sangat dibutuhkannya. Tetapi anaknya itu mengatakan kepadanya bahwa apotik tidak punya obat yang dibutuhkan ayahnya. Hal itu ia lakukan, karena ia malas untuk keluar di malam hari. Padahal ia bukan anak kecil lagi.

Penyakit ayahnya tambah parah. Kalau saja anak itu mau membeli obat itu, ayahnya tidak terlalu banyak menderita. Ketika melihat penyakit ayahnya semakin parah, akhirnya ia pergi juga untuk membeli obat. Namun terlambat.

Ayahnya hanya bisa berkata kepada anak itu yang menangis tersedu-sedu, “Kasihilah saya dan selalu katakan yang benar. Tuhan tahu apa yang ada di dalam hatimu. Sekarang cium saya dan selamat tinggal.”

Beberapa saat kemudian ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya. Anak itu hanya bisa memandang obat yang dibelinya dengan mata basah oleh air mata. Ia menyesali perbuatannya. Ternyata ayahnya lebih membutuhkan obat kejujuran daripada obat yang dibelinya dengan bermalas-malasan.

Perbuatan yang dianggap sepele seringkali menentukan hidup orang lain. Bantuan, meski kecil, akan sangat menolong orang yang sedang membutuhkannya. Apalagi orang yang sedang sakit sekarat. Untuk itu, dibutuhkan orang yang mudah peka terhadap situasi di sekitarnya. Kepekaan untuk tanggap terhadap situasi di sekitar akan mampu membantu orang menyelamatkan sesamanya yang sedang menderita.

Dalam hidup ini kita berhadapan dengan berbagai kebutuhan dari sesama kita. Mereka yang paling dekat dengan kita mesti mendapatkan perhatian yang lebih. Mengapa? Karena merekalah yang menjadi partner hidup kita dalam untung dan malang. Untuk itu, orang mesti belajar untuk terus-menerus memberi perhatian terhadap orang-orang yang dekat dengannya. Dengan belajar memperhatikan itu orang akan mudah untuk peka terhadp kondisi dan situasi sesamanya.

Tugas setiap orang beriman adalah memberi perhatian terhadap sesamanya yang membutuhkan pertolongannya. Memberi perhatian itu bagian dari iman. Hal ini merupakan perwujudan dari iman akan Tuhan. Tuhan begitu menyayangi ciptaanNya. Ia menghendaki agar ciptaanNya itu juga saling memberikan perhatian. Dengan demikian, hidup menjadi lebih harmonis.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan. Mari kita bawa semua itu dalam hidup kita hari ini. Dengan demikian, hari ini menjadi hari yang damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

302


Bagikan

Kejujuran Itu Bersumber dari Hati Nurani yang Jernih

Beberapa waktu lalu seorang gadis ingin sekali memiliki SIM C. Dia berusaha mengikuti semua aturan, termasuk mengikuti ujian tertulis dan praktik. Ujian tertulis dia lalui dengan sangat memuaskan. Semua soal yang diberikan dia jawab semua. Dan semua benar. Namun apa lacur, dia gagal di ujian praktik.

Dia gagal di ujian praktik membawa motor di jalur zigzag. Salah satu kakinya menyentuh aspal di tempat ujian itu.

Karena gagal, dia pun berusaha menyogok petugas polisi. Dalam bayangannya, polisi itu akan mau meluluskannya. Tapi anggapannya salah. Justru dia dinasihati petugas polisi itu karena berusaha menyogoknya.

Seolah tidak ada jalan lagi, dia mengeluh, “Duh, susahnya membuat SIM.”

Tidak berapa lama saat berada di tempat pembuatan SIM, seorang petugas mengumumkan, “Bapak ini telah menyogok polisi sebesar 20 ribu rupiah.” Polisi itu menunjuk seorang pria yang tertunduk lesu.

Gadis itu pun terdiam. Seandainya polisi yang dia coba sogok itu terima saja uangnya, mungkin dia juga akan diumumkan seperti pria itu. Betapa malunya dia. Untung, polisi itu menasihatinya untuk tidak menyogok polisi.

Dalam benaknya, gadis itu memang sangat kesal. Mengapa saat ini membuat SIM itu sangat sulit dan petugas pun tidak mau disogok? Karena gagal, akhirnya dia diberi waktu dua minggu untuk kembali menjalani praktik lapangan.

Kisah di atas sungguh-sungguh terjadi di Jakarta dua tahun lalu. Waktu itu pihak kepolisian memperketat semua bentuk pengurusan SIM. Kepolisian RI tidak mau dicap sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Mereka mulai berusaha untuk membersihkan diri.

Sogok menyogok memang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memperlancar usaha, orang berani mengeluarkan uang dalam jumlah besar sebagai pelicin. Demi sepucuk surat ijin, orang berani melakukan apa saja, termasuk menyogok. Sebenarnya, sogok menyogok itu menghilangkan suasana fairness, suasana sehat dalam bersaing. Orang ingin menang sendiri. Orang mau memaksakan kemauannya sendiri.

Tentu kondisi seperti ini menghalangi kemampuan orang lain untuk bersaing secara sehat, secara jujur. Karena itu, kejujuran mesti diutamakan. Kalau polisi sudah mulai menciptakan kejujuran dengan menolak sogok pembuatan SIM, kita berharap bahwa akan banyak aspek kehidupan terjadi dalam suasana yang jujur pula.

Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita mesti belajar untuk mengendalikan diri kita. Keinginan untuk berkuasa, untuk memiliki kekayaan yang sebanyak-banyaknya mesti dikendalikan. Kalau tidak dikendalikan akan terjadi ketidakharmonisan dalam hidup kita. Orang yang tidak jujur biasanya dikejar terus-menerus oleh teguran suara hatinya. Akibatnya, ia tidak tenang dalam hidupnya. Ia tidak damai, karena merasa diri ditekan terus oleh suara nuraninya yang jernih.

Mari kita berusaha jujur dalam hidup kita. Kita berusaha untuk senantiasa memiliki hati nurani yang jernih. Dengan demikian, hidup kita menjadi tenang di hadapan Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
295
Bagikan

13 Januari 2010

Menciptakan Suasana yang Baik dalam Keluarga


Ada seorang petani yang menyebarkan benih padi untuk sawahnya. Dua minggu kemudian ia berharap bahwa benih padi itu sudah tumbuh dan akan dipindahkan ke sawah yang sudah siap ditanami. Seminggu sekali ia datang untuk melihat benih padi itu. Ia mendapati tidak semua benih padi yang ia sebar itu tumbuh. Selidik punya selidik, ternyata ada benih yang tidak baik. Padahal benih itu ia beli dengan uangnya sendiri. Tidak ada subsidi dari pemerintah. Ia agak kecewa. Karena itu, ia bertekad untuk menanam dengan benih yang sudah tumbuh itu. Ia berjanji untuk lebih hati-hati lagi lain kali kalau membeli bibit.

Setelah menanami sawahnya, tiga bulan kemudian ia mulai memanen hasilnya. Ia kembali dibuat kaget, karena tidak semua pohon padi menghasilkan benih yang baik. Ia mulai tidak puas dengan hasil pekerjaannya. Namun ia tidak putus asa. Ia bertekad untuk menyimpan benih dari hasil sawahnya itu. Karena itu, ia menyimpan padi yang baik untuk bibit di musim tanam yang akan datang.

Benar. Ketika benih itu ia semaikan, hasilnya luar biasa. Benih yang baik itu tumbuh dengan sangat baik. Hasil panennya pun melimpah. Ia berusaha untuk tetap menyimpan benih yang baik dari hasil panennya itu. Ia memisahkan padi yang terbaik untuk bibit di musim tanam berikutnya. Begitu ia lakukan terus-menerus kebiasaan itu. Ia tidak perlu kecewa atas benih tidak baik yang ia beli. Ia sendiri sudah menyediakannya sendiri.

Suatu kebiasaan baik akan selalu terpelihara dengan baik. Kebiasaan baik itu dapat dilestarikan. Demikian juga dalam mendidik anak-anak. Orangtua mesti memiliki suatu kebiasaan baik yang bisa menjadi contoh bagi anak-anak mereka.

Dorothy Law Nolte menulis pendapatnya dalam buku Children Lerarn What They Live demikian, “Bila anak dibesarkan dalam celaan, maka ia belajar memaki. Bila anak dibesarkan dalam permusuhan, maka ia belajar berkelahi. Bila anak dibesarkan dalam penghinaan, maka ia belajar menyesali diri. Bila anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia belajar sabar dan bertahan diri. Bila anak dibesarkan dalam kejujuran, maka ia belajar keadilan. Bila anak dibesarkan dalam kasih dan persahabatan, maka ia belajar cinta yang mendalam.”

Pendidikan awal bagi seorang anak itu sangat menentukan bagi hidup selanjutnya seorang anak. Suatu awal selalu mempunyai pernanan penting dalam pertumbuhan seorang manusia. Karena itu, suasana dalam hidup berkeluarga akan sangat menentukan proses pertumbuhan seorang anak di dalam keluarga. Kalau orangtua menyadari peranan mereka dalam mendidik anak-anak, maka mereka mesti memulainya sejak awal. Hidup mereka mesti dikuasai oleh suasana cinta kasih dan persaudaraan. Dengan demikian, anak-anak yang lahir dalam keluarga itu memiliki suatu hidup yang baik. Mereka tumbuh dalam suasana kasih dan persaudaraan.

Mari kita menciptakan suasana yang baik dalam keluarga kita. Dengan demikian, anak-anak dalam keluarga mampu belajar yang baik. Mereka dapat saling mengasihi dan kasih itu akan terpancar dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
294
Bagikan

12 Januari 2010

Dipanggil untuk Saling Mengampuni


Seorang bapak menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender.

Bapak itu berkata, “Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun.” Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.

Karena itu, ketika dia membaca atau menonton televisi yang memberitakan kekerasan terhadap anak dan remaja, ingatan masa lalunya terngiang kembali di benaknya. Semua itu masih terekam sempurna dalam ingatan seseorang yang telah dewasa.

Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika kebiasaan masyarakatnya. Sejarah pendidikan kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk.

Pertanyaannya, mengapa mesti terjadi kekerasan dalam pendidikan? Menurut para ahli, terjadinya kekerasan yang dilakukan seorang pendidik itu karena ia sudah kehilangan akal. Akibatnya, emosinya yang bermain. Ia tidak kreatif dalam mengarahkan anak didiknya yang sulit diatur di dalam kelas. Alasan klasik yang dibuat adalah agar anak didik memiliki disiplin dalam hidup mereka.

Tentu kita semua prihatin menyaksikan, membaca atau mendengar kekerasan masih terjadi di sekolah. Semestinya lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai yang baik seperti mampu mengendalikan emosi, mampu mengampuni yang melakukan kesalahan.

Sebagai orang yang beriman, kita ingin belajar untuk mampu memaafkan mereka yang melakukan kesalahan orang lain seberapa besar dan banyak pun kesalahan itu dilakukan. Mengapa? Karena kita juga manusia yang lemah yang kadang-kadang atau sering melakukan kesalahan.

Orang yang mampu mengampuni kesalahan sesamanya adalah orang yang selalu mau melihat sisi positif orang lain. Sejelek-jeleknya orang, ia masih memilik hal baik dan positif yang mesti ditumbuhkembangkan dalam hidup ini.

Kita semua dipanggil untuk saling mengampuni ketika ada sesama yang bersalah. Semangat mengampuni mesti menjadi bagian hidup orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Tuhan juga selalu mengampuni dosa dan kesalahan kita. Karena itu, kita juga mesti mengampuni sesama yang bersalah kepada kita.

Setiap hari ini kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita pelihara kebaikan itu dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


291

Bagikan

11 Januari 2010

Membiarkan Tuhan Terlibat dalam Hidup Kita


Benyamin Langham tidak beda dengan balita lainnya. Tetapi ia lahir dari keluarga yang sebelumnya dinyatakan tidak mungkin bisa mendapatkan keturunan. Ayah kandung Benyamin lumpuh total. Namun keajaiban terjadi.

Orangtua Benyamin mengikuti suatu pilot project yang dijalankan di sebuah klinik kesuburan terkenal di London. Pelopor pengobatan baru yang memungkinkan jutaan pasangan tak subur lainnya memiliki keturunan. Di Inggris, setiap tahun tercatat 400 pria muda mengalami kecelakaan fatal yang membuat mereka lumpuh dari pinggang ke bawah. Secara teoritis, kecelakaan seperti itu membuat mereka tidak mungkin bisa membuahi atau mempunyai anak.

Melalui pilot project di London itu, ayah Benyamin dapat mengikuti berbagai program. Akhirnya, ia dapat mempunyai anak. Benyamin lahir dari pilot project itu. Ia lahir sebagai anak yang istimewa, karena secara normal sebenarnya ayahnya sudah tidak mampu lagi mempunyai anak.

Kisah seperti di atas juga kadang-kadang terjadi di sekitar kita. Ada keluarga yang sudah lama menikah, tetapi belum dikaruniai anak. Banyak dari mereka yang terus-menerus berusaha untuk memiliki anak kandung sendiri. Berkat kerja keras dari pasangan seperti ini suatu ketika Tuhan mengaruniakan kepada mereka buah hati yang mereka dambakan. Tentu saja mereka akan sangat mensyukuri hal ini.

Sebagai orang beriman, hal ini mesti dilihat dari terang iman. Artinya, ada campur tangan Tuhan dalam proses-proses yang terjadi secara ajaib seperti ini. Kalau Tuhan tidak ikut campur tangan dalam hal-hal seperti ini, maka apa pun usaha manusia akan sia-sia belaka.

Seorang yang memiliki maksud baik untuk kelangsungan generasinya tentu tidak akan memalingkan diri begitu saja dari penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Baginya, Tuhan mesti mendapat tempat utama dalam hidupnya. Tuhan mesti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Hidup yang ia jalani ini berkat kasih karunia Tuhan atas dirinya.

Ada orang yang membanggakan semua maksud baiknya dan keberhasilan dalam hidupnya sebagai usaha-usahanya sendiri. Ini baik. Tetapi ia juga mesti sadar bahwa ia selalu bersama orang lain dan Tuhan dalam perjalanan hidupnya. Karena itu, suatu kesombongan hanya akan membawa orang seperti ini ke dalam jurang kebinasaan.

Karena itu, sebagai orang beriman kita ingin agar hidup dan karya kita senantiasa berjalan di bawah bimbingan Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang. Orang yang berada di bawah naungan Tuhan akan selalu mengalami kebahagiaan. Ia tidak merasa hidup ini sebagai suatu keterpaksaan. Justru ia akan mengalami suatu sikap bebas dalam mengekspresikan dirinya. Syaratnya adalah orang mau menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Orang membiarkan Tuhan terlibat dalam hidupnya.

Mari kita berusaha untuk hidup di bawah naungan Tuhan. Kita menciptakan suasana, agar Tuhan mau terlibat dalam persoalan-persoalan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




293

Bagikan