Pages

28 Februari 2010

Bertobatnya Seorang Rentenir

Suatu hari Organus sangat resah. Soalnya beberapa hari belakangan ini ia penghasilannya mulai berkurang. Apalagi banyak orang mulai tidak menyukai pekerjaannya sebagai rentenir, orang yang meminjamkan uang dengan bunga sangat tinggi. Pekerjaannya itu telah membuat resah begitu banyak warga di kampung dan desa-desa yang didatangi Organus.

Organus ingin berhenti dari pekerjaannya. Tetapi ia merasa berat, karena itulah satu-satunya pekerjaan yang membuat asap dapurnya terus mengepul. Tetapi suara hatinya pun mulai mempertanyakan pekerjaan yang sangat mencekik leher masyarakat desa itu.

“Saya tidak mungkin melanjutkan pekerjaan saya ini. Tetapi bagaimana saya bisa berhenti? Bagaimana modal-modal yang sudah saya pinjamkan kepada orang-orang itu dapat kembali?” tanya Organus dalam hatinya.

Ia bergulat dengan suara hatinya. Bermalam-malam ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya selalu dikuasai oleh pekerjaannya itu.

Akhirnya suatu hari ia menemui seorang bijak di kota. Kepada orang bijak itu ia menceritakan semua persoalan yang dihadapi berkenaan dengan pekerjaannya sebagai rentenir. Setelah mendengarkan kisah-kisah Organus, orang bijak itu berkata, “Kalau kamu ingin hidup tenang dan damai, pekerjaan seperti itu harus kamu tinggalkan. Begitu banyak orang sudah menderita akibat perbuatanmu. Kamu harus mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan imanmu.”

Organus sangat terpukul mendengar nasihat orang bijak itu. Ia semakin bergulat dengan suara hatinya. “Apalagi yang masih harus saya lakukan?” tanya Organus.

“Kamu juga harus mengembalikan uang yang kamu pungut dengan bunga yang sangat tinggi itu. Hanya dengan cara itu kamu akan hidup bahagia,” kata orang bijak itu.

Batin Organus semakin terpukul. Tetapi ia masih bisa menegakkan kepalanya. Lantas dalam ketenangan batinnya, ia berkata, “Ya, saya siap meninggalkan pekerjaan saya. Saya juga siap mengembalikan empat kali lipat uang hasil pemerasan saya. Saya siap untuk hidup melarat.”

Organus melaksanakan janjinya itu. Ia melepaskan pekerjaannya sebagai rentenir. Kepada para pelanggannya yang telah ia rugikan, ia mengembalikan uang mereka. Ada yang dua kali lipat. Ada yang tiga kali lipat. Ada yang empat kali lipat.

Berbagai bentuk korupsi yang sedang melanda negeri kita bersumber dari ketamakan atau kerakusan. Orang ingin mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Mereka lupa bahwa masih ada orang lain di sekitar mereka yang membutuhkan bantuan untuk hidup.

Karena ketamakan itu orang menggunakan fasilitas-fasilitas umum seolah-olah sebagai milik pribadi. orang menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan utuk kepentingan pribadi atau kelompok. Orang tidak peduli bahwa hal-hal itu mesti digunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Akibatnya, ada sejumlah kecil orang atau kelompok yang hidup dengan harta yang berlimpah, tetapi ada sejumlah besar orang atau kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak usah heran kalau kita mendengar ada berita tentang busung lapar atau gizi buruk di berbagai daerah di negeri ini.

Padahal harta atau kekayaan itu sesuatu yang relatif. Artinya, sesuatu yang tidak abadi. Sesuatu yang bisa hilang kapan saja. Ketika seseorang meninggal dunia, ia tidak membawa serta kekayaan yang dimilikinya.

Karena itu, langkah yang mesti diambil oleh manusia saat ini adalah bertobat. Artinya, mewaspadasi ketamakan atau kerakusan yang sering menggoda hati manusia. Orang mesti berani meninggalkan cara hidup yang mengandalkan korupsi, manipulasi dan nepotisme. Dengan cara ini orang dapat hidup tenang. Orang dapat hidup bahagia. Orang justru akan memperoleh harta yang abadi di surga.

Mari kita belajar dari sikap Organus yang berjuang untuk meninggalkan cara hidup lamanya. Ia berani mengambil langkah baru dalam hidupnya. Dengan demikian ia memperoleh hidup yang bahagia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

335


Bagikan

27 Februari 2010

Peduli terhadap Sesama yang Berkekurangan

Suatu hari yang sangat dingin seorang perempuan bangsawan keluar dari istana dan mengemis. Dia mengenakan pakaian compang-camping, kerudung kepala dan membawa sebuah keranjang. Dia ingin menguji cinta kasih dari para tetangganya. Pada beberapa rumah dia diberikan barang-barang yang sama sekali tidak bernilai. Di rumah lain ia dihujani dengan kata-kata kasar. Hanya di satu tempat dia diterima dengan ramah. Dan itu adalah gubuk seorang lelaki miskin. Dia dibawa ke dalam ruang yang hangat dan diberi makanan panas.

Pada hari berikutnya, semua orang yang pernah dikunjungi perempuan itu diundang masuk ke dalam puri. Mereka dihantar oleh para pelayan menuju ruang makan yang besar. Ada kartu nama untuk para undangan itu.

Di tempat duduk masing-masing undangan diletakkan barang-barang yang sama yang telah diberikan kepada perempuan yang menyamar itu. hanya lelaki miskin itu dilayani dengan piring penuh makanan yang lezat.

Beberapa saat kemudian perempuan itu masuk ke ruang makan. Ia menjelaskan kepada para tamunya, “Kemarin untuk menguji cintamu, saya memasuki desa dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Hari ini saya melayani Anda dengan barang yang sama dengan yang telah kalian berikan kemarin kepadaku.”

Semua undangan itu sangat terkejut. Mereka merasa bersalah karena telah memperlakukan seorang bangsawan dengan kurang menyenangkan. Tetapi lelaki miskin itu bergembira, karena sudah melayani sesamanya dengan baik. Ia memberi tempat yang layak kepada perempuan itu, ketika ia membawanya ke ruang yang hangat dan memberinya makanan yang panas.

Cinta kasih yang sejati itu bersifat universal yang terbuka untuk semua orang. Berbuat baik kepada sesama itu membawa sukacita bagi yang mengalami kebaikan itu. Inilah bentuk cintakasih itu. Semua orang, pada dirinya sendiri, diberi kemampuan untuk mencintai seperti ini. Karena itu, kebaikan yang merupakan perwujudan cintakasih itu mesti menjadi bagian dari kehidupan seseorang.

Tetapi persoalannya adalah ada orang-orang yang sulit sekali berbuat baik bagi sesamanya. Mereka lebih banyak menuntut agar orang lain berbuat baik untuk mereka. Orang-orang seperti ini mesti belajar untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan sesama yang hidup di sekitar mereka. Mereka dapat belajar memperhatikan sesamanya yang kekurangan yang memutuhkan bantuan dari mereka. Misalnya, memberi makan orang miskin yang ada di tetangga. Untuk itu, mereka mesti berani untuk keluar dari rumah mereka. Mereka mesti berani mengunjungi orang-orang di sekitar mereka.

Hari ini kita berjumpa dengan begitu banyak orang. Ada yang mungkin sudah memberikan bantuan kepada kita untuk kelancaran semua usaha kita. Ada yang sudah menyapa kita dengan ramah. Ada yang sudah tersenyum kepada kita. Mungkin kita juga sudah mengulurkan tangan kita untuk mereka yang kekurangan. Itulah hidup. Kita mesti saling mengasihi, karena untuk itulah kita telah dilahirkan ke dalam dunia ini.

Mari kita endapkan semua pengalaman baik kita sepanjang hari ini. Semua itu telah membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

334
Bagikan

26 Februari 2010

Memiliki Daya Tahan

Suatu hari, seorang murid silat datang kepada gurunya. Ia mengatakan kepada gurunya bahwa ia sudah layak disejajarkan dengan gurunya dalam banyak hal. Soalnya, dia sudah menguasai seluruh jurus silat. Dia sudah mempraktekkannya dengan baik. Bahkan ketika suatu hari dia dikeroyok oleh enam orang kawanan penjahat, ia dapat mengatasi mereka. Ia mengalahkan mereka dengan memukul mereka sampai pingsan.

Guru itu menatap mata muridnya dalam-dalam lalu bertanya, “Apakah menguasai seluruh jurus itu sudah cukup? Bukankah masih ada kualifikasi lain?”

Murid itu dengan suara tegas menjawab, “Saya sudah mendisiplinkan tubuhku sedemikian rupa, sehingga saya dapat tidur di atas tanah, makan rumput di padang dan membiarkan diriku didera tiga kali sehari.”

Guru itu menarik lengan muridnya. Lantas ia membawanya ke jendela. Ia mengajaknya untuk melihat seekor sapi yang ditambat di lapangan dengan rerumputan yang hijau. Lalu dengan wajah agak sedih ia berkata kepada muridnya, “Lihat sapi itu? hendaknya Anda ingat bahwa sapi itu tidur di tanah, makan rumput dan tidak kurang dari tiga kali sehari dicemeti. Karena itu, sampai saat ini kamu hanya layak menjadi seperti seekor sapi, bukan sebagai murid yang sudah lulus.”

Mata murid itu menjadi merah. Ia sangat geram. Mengapa ia disamakan dengan seekor sapi? Padahal ia sudah berjuang habis-habisan untuk menggapai cita-citanya sebagai seorang yang dinobatkan juga sebagai guru atau bahkan mahaguru di dunia silat. Hari itu juga murid itu mengundurkan diri dari perguruan silat itu. Ia merasa diri tidak layak menempuh pelatihan di padepokan itu.

Barangkali yang sangat kurang dari sang murid dalam kisah tadi adalah kerendahan hati. Hidup ini sebenarnya suatu proses. Dalam proses itu orang tidak bisa membuat keputusan seenaknya sendiri. Orang mesti melewati proses demi proses. Orang tidak bisa begitu saja meloncati suatu proses yang sedang dilalui. Orang mesti menjauhi sikap tergesa-gesa.

Kesempurnaan itu dicapai kalau orang sudah melewati proses pembentukan dirinya. Kadang-kadang orang merasa diri sudah tidak perlu pembinaan lagi. Orang ingin lepas bebas bagai burung-burung di udara. Orang tidak sadar bahwa masih ada begitu banyak hal yang mesti dipelajari dalam kehidupan ini.

Karena itu, dalam proses pembentukan diri itu dibutuhkan suatu sikap rendah hati. Orang mesti belajar dari ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk. Kesombongan hanya mempercepat kegagalan dalam hidup. Kata orang, kesombongan itu langkah awal menuju kebinasaan.

Orang juga butuh kesabaran dalam menjalani setiap proses pembentukan dirinya. Kesabaran itu sering menjadi kunci sukses banyak orang dalam meraih cita-cita mereka. Hal lain adalah keuletan dalam mengikuti setiap proses pembentukan.

Kita boleh bertanya diri apakah kita masih memiliki kerendahan hati yang mendalam? Atau kita sudah melepaskan kerendahan hati ini? Apakah kita memiliki kesabaran yang cukup dalam perjuangan kita meraih sukses? Apakah hidup kita hari ini didukung oleh keuletan dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kita? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

333
Bagikan

25 Februari 2010

Menyembuhkan Luka Batin

Seorang gadis tumbuh dalam suasana dendam terhadap ayahnya. Pasalnya, ayahnya selalu menampar ibunya. Ayahnya tidak segan-segan melakukan hal itu di depan matanya. Sering ia menangis histeris menyaksikan ayahnya yang berbadan kekar itu menampar pipi ibunya. Ia memeluk ibunya yang kesakitan. Dalam hati, ia menaruh rasa benci yang dalam terhadap ayahnya.

Ketika beranjak dewasa, gadis itu tetap menaruh dendam terhadap ayahnya. Bahkan ia membenci setiap lelaki yang dijumpainya. Setiap lelaki yang berusaha mendekatinya selalu ia tolak. Ia takut, kalau-kalau ia mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Luka batinnya masih tersimpan rapat-rapat di dalam hatinya. Ia tidak bisa dengan mudah mengampuni ayahnya. Ia juga tetap menaruh curiga terhadap setiap lelaki.

Sebenarnya ibunya selalu mengajarinya untuk selalu mengampuni ayahnya. Tetapi gadis itu terlanjur membenci ayahnya. Ia tidak bisa begitu saya melepaskan diri dari rasa benci itu. Baginya, seharusnya ayahnya senantiasa melindungi ibunya. Bukan sebaliknya, menyiksa ibunya.

“Apa gunanya saya memberikan pengampunan, kalau hati saya masih sakit dan terluka?” kata gadis itu kepada ibunya.

Obat dari luka batin itu adalah pengampunan. Hanya melalui pengampunan itu orang dapat lepas dari rasa sakit hati yang mendalam. Tetapi mengapa gadis itu tidak bisa mengampuni ayahnya? Karena ia masih memiliki rasa benci dan dendam yang mendalam terhadap perlakuan ayahnya atas ibunya. Ia masuk dalam kebencian perseteruan. Awalnya ia memeluk ibunya dan menangis bersama ibunya. Lalu ia tidak mau memandang wajah ayahnya. Ia tidak mau menegur ayahnya sambil dalam hatinya ia mengancam akan membalas perlakukan ayahnya, meski ia tak mampu.

Kebencian perseteruan itu berakibat lanjut yang lebih buruk lagi, yaitu menghendaki orang yang menyakiti hati itu mengalami suatu penderitaan. Misalnya, ia mengharapkan orang yang menyakitinya itu mengalami kecelakaan lalu lintas. Atau menghendaki orang yang menyakitinya itu mati secara mendadak.

Karena itu, langkah pertama yang mesti diambil untuk mengobati luka batin adalah orang yang bersangkutan mesti berani mengakui bahwa ia membenci orang yang menyakiti hatinya. Kalau hal ini yang terjadi, maka orang akan mudah untuk mencari alasan-alasan membenci orang lain. Alasan-alasan itu kemudian lambat laun disadari dan diusahakan untuk diselesaikan.

Langkah berikutnya adalah orang mesti yakin bahwa obat paling mujarab untuk luka batin adalah pengampunan. Tetapi pengampunan itu bukan hanya soal perasaan. Yang paling utama dalam pengampunan adalah keputusan untuk mengampuni sesama yang bersalah. Keputusan untuk mengampuni itu menambah daya kekuatan bagi seseorang untuk menerima sesama yang menyakiti dan melukai batinnya dengan lebih baik. Ia tidak lagi menolak kehadirannya. Justru ia memberi kesempatan kepada orang yang menyakiti dan melukai hatinya itu hadir dalam lubuk hatinya. Bukan lagi sebagai orang yang mesti dibenci, tetapi sebagai orang yang menerima kasih sayang darinya.

Mampukah kita mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita? Kalau kita memiliki kasih yang besar, kita akan mampu mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita. Kita mohon agar Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang membantu kita dalam usaha kita membangun hidup yang penuh pengampunan. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

332

Bagikan

24 Februari 2010

Menyerahkan Kesepian kepada Tuhan




Namanya Dolores. Ia meninggal ketika masih berusia sangat muda. Tiada seorang pun yang datang mengunjunginya, ketika ia sakit karena ia anak semata wayang dari kedua almarhum orangtuanya. Ia berhenti sekolah ketika masih duduk di bangku SD, karena ia mesti berjuang sendirian sejak sepeninggal orangtuanya. Waktu itu, ia berusia lima belas tahun.

Saya mengunjunginya setahun sebelum ia meninggal. Ia baru saja pulang dari ladang, ketika saya tiba di gubuknya yang mungil dan reyot. Ia tampak seperti perempuan yang berusia lima puluh tahun. Tubuhnya kurus kerempeng tak berisi. Ia memandang saya dengan tatapan mata yang nanar. Meski begitu, ia masih tersenyum manis kepada saya. Sebuah sunggingan senyum mengenaskan dari wajah yang menderita.

Beberapa saat setelah duduk di dalam gubuknya, ia berbisik, “Saya sangat capek dan sepi… Tiada yang menolong saya bekerja di ladang. Saya mesti berjuang sendiri. Saya tidak tahu kapan saya akan mengakhiri perjalanan panjang yang melelahkan ini…”

Saya berusaha menghiburnya, “Jangan putus asa, Dolores. Anda masih punya kesempatan untuk mengubah hidupmu.”

Dengan suara pelan ia berkata, “Saya mengerti. Tetapi ini gambaran nyata hidup saya. Saya bangun pagi-pagi buta dan bekerja keras di ladang, tetapi saya tidak bahagia. Tiada seorang pun yang datang mengunjungi saya.”

Memang, hanya kesepian yang menjadi teman perjalanan hidup Dolores. Ia rindu untuk lepas dari kesepian itu, tetapi ia seolah terbelenggu oleh hidup yang begitu sulit.

Saya rasa setiap orang pernah merasa sepi. Ada banyak alasan bagi seseorang untuk mengalami kesepian. Barangkali ada orang yang mulai merasa sepi, ketika suami atau istrinya meninggal dunia. Ada pula yang merasa sepi, ketika teman terbaik mereka pindah ke tempat lain. Ada lagi yang merasa sepi, karena gagal dalam pekerjaan. Atau ada yang merasa sepi, ketika pasangannya meninggalkannya sendirian.

Kesepian dapat berakibat fatal bagi hidup manusia. Orang yang dilanda kesepian yang mendalam bisa berbuat nekad dengan cara mengakhiri hidupnya. Kesepian yang dialami secara fisik juga dapat berakibat bagi kesepian secara rohani. Kesepian rohani itu membuat orang kehilangan pegangan dalam hidup mereka. Tuhan yang diandalkan dalam hidup dirasakan menjauh dari diri orang. Akibatnya, orang merasa sepi, meski sebenarnya Tuhan selalu menyertainya sepanjang hidupnya.

Karena itu, orang yang mengalami kesepian secara rohani mesti didampingi untuk sampai pada suatu kesadaran bahwa Tuhan selalu menyertai manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendiri dalam dunia ini. Tuhan senantiasa menuntun hidup manusia. Tuhan selalu peduli terhadap setiap kebutuhan manusia. Karena itu, orang mesti membangun suatu keyakinan yang mendalam bahwa apa pun persoalan yang dihadapi Tuhan selalu menyertai.

Yakinkah Anda bahwa Tuhan tidak membiarkan Anda terpuruk dalam kesepian Anda? Mari kita berserah diri kepada Tuhan yang kita imani itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

331


Bagikan

Memberi Makan bagi yang Menderita




Tiba-tiba seorang ibu muda masuk ke rumah seorang kaya. Pakaiannya kotor dan keringat mengucur deras membasahi wajahnya. Anaknya yang masih kecil menangis kuat-kuat dalam gendongannya. Orang kaya itu terkejut, tetapi ia menerima kehadiran ibu muda itu. Ia mempersilahkan ia duduk di ruang tamunya yang indah.

Beberapa saat kemudian, orang kaya itu bertanya, “Apa yang terjadi, bu? Ibu sakit?”

Ibu itu menatap wajah orang kaya itu dengan sedikit takut. Lalu ia berkata, “Saya tidak sakit. Anak saya dan saya sendiri lapar, pak. Kami tidak punya makanan hari ini.”

Orang kaya itu tersentuh hatinya oleh keadaan ibu dan anaknya itu. Suasana ruang tamu itu menjadi hening. Beberapa saat kemudian ia memanggil pembantunya untuk menyediakan makanan bagi ibu itu dan anaknya.

Lima belas menit kemudian, dua piring makanan dengan lauk pauk dan sayur dibawa oleh pembantu ke ruang tamu. Tetapi ibu itu ragu-ragu untuk makan. Ia malah meminta pembantu itu untuk membawakan kotak untuk membungkus makanan itu. Melihat hal itu, orang kaya itu bertanya, “Ibu tidak mau makan di sini? Ibu mau bawa pulang?”

Ibu itu menjawab, “Iya, pak. Suami dan seorang putra saya juga butuh makanan, pak.”

Sambil menatap mata anaknya, orang kaya itu berkata, “Ibu makan saja dulu. Ibu tidak usah kuatir. Saya akan minta pembantu untuk menyiapkan makanan untuk suami dan putra ibu.”

Dalam sekejap, ibu dan anak itu melahap makanan yang ada di depan mereka. Orang kaya itu telah memberikan ketenangan batin kepada ibu itu meski untuk waktu yang tidak lama. Rasa laparnya telah sirna. Ia boleh bersukacita, karena ada orang yang begitu baik hati kepadanya.

Di dunia yang serba maju sekarang ini masih banyak orang yang lapar, karena tidak punya penghasilan yang tetap. Banyak orang juga tidak punya uang yang cukup untuk membeli makanan. Akibatnya, mereka hanya mendapatkan makanan dengan gizi yang rendah. Kita juga menyaksikan ibu-ibu yang meratapi anak-anaknya yang terbaring lemas, karena busung lapar. Apa yang bisa kita buat untuk sesama kita yang mengalami hal seperti ini? Apakah kita tega membiarkan begitu banyak anak manusia yang meratap pilu, karena ketiadaan makanan?

Makanan itu sangat penting bagi pertumbuhan hidup manusia. Orang yang kurang gizi akan mengalami penderitaan demi penderitaan yang membahayakan jiwanya. Ia hidup, tetapi ia mengalami kelambatan pertumbuhan dalam berbagai aspek hidupnya. Karena itu, usaha kita adalah membantu sesama yang menderita kelaparan.

Sebagai orang beriman, hati kita mesti mudah tersentuh oleh penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh sesama. Sering mereka yang menderita lapar itu bukan akibat dari perbuatan mereka sendiri. Sering mereka menjadi korban dari suatu sistem yang diskriminatif, yang manipulatif, yang korup, suatu sistem yang tidak memiliki hati nurani lagi. Karena itu, kita dipanggil untuk memperjuangkan hidup sesama kita.

Setiap hari kita mengalami berbagai kebaikan dari Tuhan. Mampukah kita membagikan kebaikan itu kepada mereka yang membutuhkan? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

330
Bagikan

22 Februari 2010

Membantu Sesama yang Kekurangan Pakaian




Beberapa tahun yang lalu saya mengunjungi Suku Anak Dalam di Rantau Kloyang, Muara Bungo, Jambi. Mereka tinggal di hutan, namun biasanya mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka membangun gubuk-gubuk yang sangat sederhana untuk tinggal selama dua minggu atau lebih. Mereka mengumpulkan makanan dari hutan, sebab mereka tidak memiliki sawah atau ladang untuk diolah.

Ketika itu saya berjumpa dengan sebuah keluarga yang anak-anaknya dibiarkan telanjang, karena mereka tidak mempunyai pakaian yang cukup. Saya bertanya kepada anak-anak itu mengapa mereka telanjang. Ibu mereka menjawab, “Kami tidak punya uang untuk beli pakaian. Tambahan pula tidak ada seorang pun yang mau memberi kami pakaian. Jika bapak mempunyai sisa pakaian, berikan itu kepada kami.”

Saya tidak dapat berkata apa-apasetelah mendengar pernyataannya. Saya pulang ke kota Muara Bungo setelah berbincang-bincang dengan beberapa anak dan membuat foto-foto. Beberapa waktu lamanya saya tidak dapat tidur, karena pernyataan ibu itu selalu terngiang di benak saya.

Saya bertanya dalam hati, “Apa yang dapat saya buat bagi mereka?”

Saya tidak punya uang untuk membelikan mereka pakaian. Waktu itu saya juga tidak punya sisa pakaian. Namun suatu hari ada serombongan ibu-ibu yang memberi pakaian yang masih sangat layak pakai. Saya bawa pakaian itu untuk anak-anak Suku Anak Dalam itu.

Di dunia sekarang ini ada begitu banyak orang miskin yang tidak punya pakaian. Kondisi ini bisa menimpa jutaan orang yang mendiami bumi ini. Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita buat untuk sesama yang tidak cukup punya pakaian? Apakah kita akan membiarkan mereka kedinginan di musim hujan, karena tidak punya pakaian yang pantas?

Sebagai orang beriman, melihat kondisi seperti ini tentu membuat hati kita trenyuh. Kita tidak tega membiarkan sesama yang terlunta-lunta, karena ketiadaan pakaian. Karena itu, kita diajak untuk memberi perhatian kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan dari sesamanya.

Orang-orang yang malang seperti ini membutuhkan bantuan yang kita beri dengan kasih dan kegembiraan. Iman yang hidup itu tampak dalam perbuatan nyata. Orang yang menyatakan diri beriman, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk sesamanya yang menderita itu bagai tong kosong nyaring bunyinya. Imannya tidak membuahkan kasih sayang bagi sesama.

Saudara, kita beruntung bahwa kita memiliki pakaian yang pantas yang dapat kita gunakan dalam berbagai acara. Karena itu, uluran tangan kasih yang kita berikan kepada sesama yang menderita akan memberi kesempatan bagi sesama untuk melanjutkan hidup ini dengan lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


329
Bagikan

Tuhan, Sumber Air Hidup




Ketika saya berusia sebelas tahun, saya pergi ke sungai yang berjarak kira-kira lima kilometer dari rumah. Waktu itu, saya pergi bersama ibu saya. Biasanya di sungai itu kami mandi, mencuci pakaian dan mengambil air untuk kebutuhan dapur. Air sungai ini sangat jernih. Air yang kami bawa pulang biasanya kami isi di dalam bambu sepanjang tiga atau empat ruas. Dengan cara itu, kami mudah untuk memikulnya.

Panas matahari yang menyengat ketika perjalanan pulang itu sangat menguras tenaga saya. Dalam perjalanan pulang itu, saya merasa sangat haus. Namun saya tidak bisa minum air yang ada di dalam bambu yang saya pikul. Air yang ada itu sangat berbahaya bagi perut saya.

Saya minta ijin kepada ibu saya untuk minum air yang belum direbus itu. Tetapi ibu saya tidak mengijinkan. Saya menangis tersedu-sedu, karena dahaga tak tertahankan lagi. Saya sangat membutuhkan air yang menyegarkan dahaga saya. Setitik air saja akan sangat menolong lidah saya terlepas dari dahaga.

Saya yakin kita semua merasakan haus. Haus itu suatu pengalaman yang sangat manusiawi. Ketika kita haus, naluri kita mendorong kita untuk mengambil segelas air untuk diteguk. Namun jika kita tidak minum, kita akan mengalami sakit kepala atau dapat juga mati karena kekurangan air atau dehidrasi. Tanaman-tanaman akan cepat layu dan bahkan akan mati, kalau dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup.

Namun pengalaman manusiawi akan haus tidak hanya terjadi secara fisik. Manusia dapat mengalami haus dalam hidup rohani. Hal ini dapat membawa manusia kepada kehampaan dalam hidup. Orang yang mengalami kekeringan rohani itu merasa hidupnya tidak bermakna. Hidupnya itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang menonjol.

Di dunia sekarang ini banyak orang haus akan kasih, perhatian, harapan dan iman. Mereka membutuhkan air kehidupan yang diberikan dengan kasih, karena hati mereka sedang dilanda kekeringan. Mereka selalu butuh untuk membangun hubungan dengan mereka yang dapat membersihkan ‘padang gurun’ dari hati mereka dan memberi keteguhan iman kepada mereka. Mereka mengharapkan tangan-tangan kuat yang dapat menuntun mereka kepada kehidupan yang lebih baik.

Bagi orang beriman, Tuhan adalah sumber kehidupan kita. Tuhan itu bagai air yang terus-menerus mengalir dan memberi kehidupan bagi kita. Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa datang kepada Tuhan. Kita ingin menimba air hidup yang mengalir dari Tuhan sendiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu keyakinan dalam diri kita bahwa hanya Tuhan yang mampu memberi kita kehidupan yang abadi. Dalam kehidupan yang abadi itu tidak ada lagi dahaga. Tidak ada lagi rasa haus.

Kekeringan rohani yang kita alami dalam perjalanan hidup kita dapat diatasi apabila kita selalu menyerahkan hidup kepada Tuhan. Kita berharap bahwa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu dapat menjadi sumber air yang menyegarkan jiwa kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

328
Bagikan

18 Februari 2010

Menjadi Saudara bagi Semua Orang


Suatu malam seseorang menelepon saya. Saya belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dengan penuh keramahan ia menyapa saya, “Saudaraku yang baik.” Lantas ia menyebutkan namanya. Pertama kali itu saya mendengar namanya.

“Apa kabar saudaraku,” saya menjawab meski hati saya tetap bertanya-tanya tentang identitas orang itu.

Ia tertawa ngakak. Seolah-olah malam itu ia mendapatkan seorang saudara yang dapat ia curahkan seluruh isi hatinya. Memang, kemudian ia bercerita tentang suka duka hidupnya. Yang paling banyak ia sharingkan adalah pahit getir hidupnya dalam membangun usaha dan keluarga.

Ia bercerita, “Beberapa kali usaha saya gagal. Usaha-usaha saya sudah mulai besar, tetapi kemudian jatuh lagi. Saya harus merangkak lagi dari bawah. Coba Anda bayangkan betapa sulitnya memulai usaha baru, tetapi dengan semudah itu jatuh. Seolah-olah semua yang telah saya upayakan itu sia-sia belaka.

Saya berusaha untuk menghiburnya. Saya berusaha untuk menuntun dia menemukan makna dari kegagalan-kegagalannya dalam usaha-usahanya. Saya berkata, “Saudaraku, Tuhan pasti menolongmu.”

Ia menjawab, “Aku tahu Tuhan selalu menolong saya. Buktinya, setiap kali saya gagal, saya bisa bangkit lagi dengan usaha yang baru. Istri dan anak-anak saya mendapatkan ketenangan batin. Terima kasih atas nasihat-nasihat saudara.”

Ia kemudian tertawa terbahak-bahak. Lantas ia mengucapkan selamat tidur kepada saya sambil berjanji akan menelepon lagi, kalau dia membutuhkan bantuann berupa nasihat.

Saya agak bingung dengan tingkah orang yang baru pertama kali berkenalan lewat telepon itu. Biasanya dalam keadaan sulit seperti itu di penghujung pembicaraan akan meminta uang untuk modal usaha. Tetap orang ini tidak. Ia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Itu sudah cukup baginya.

Beberapa waktu kemudian, ia menelepon saya lagi dengan maksud yang sama. Kali ini ia memamerkan keberhasilan usaha-usahanya. Ia tetap menyapa saya dengan ‘saudaraku yang baik’. Aneh, setelah itu ia tidak teleponn lagi. Mungkin ia tidak membutuhkan nasihat saya lagi.

Membangun persaudaraan yang baik memang tidak mudah. Selalu saja ada hambatan. Tetapi orang yang beriman biasanya menemukan cara-cara yang baik dalam membangun persaudaraan. Ia tidak putus asa menghadapi hambatan-hambatan. Justru hambatan-hambatan itu manjadi berkat baginya untuk membangun persaudaraan yang lebih baik.

Persaudaraan yang sehat dan baik itu dibangun dalam kasih. Orang yang memiliki kasih, dia akan dengan mudah membangun persaudaraan dengan setiap orang yang dia jumpai. Untuk itu kita perlu menghilangkan rasa curiga terhadap sesama yang kita jumpai. Mari kita menjadi saudara bagi semua orang. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih indah. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

327
Bagikan

17 Februari 2010

Hati yang Mudah Tergerak oleh Belaskasihan




Ibu Teresa merasa terpanggil untuk melayani kaum miskin dan terlantar di kota Kalkuta. Tetapi peristiwa itu datang tidak terduga. Secara kebetulan ia menyaksikan orang-orang sakit yang menderita di jalanan kota Kalkuta. Tidak ada yang mengurus mereka. Begitu banyak yang kemudian mati tak berdaya.

Ibu Teresa tersentuh oleh penglihatan matanya itu. Waktu itu, ia seorang suster yang berprofesi sebagai seorang guru. Karena itu, bukanlah bidangnya kalau ia mengurusi kaum miskin, sakit dan terlantar.

Namun apa yang terjadi kemudian adalah ia merasa panggilan Tuhan di dalam hatinya begitu kuat. Panggilan Tuhan untuk mengurusi orang-orang miskin, sakit dan terlantar begitu menggetarkan hatinya. Karena itu, ia putar haluan. Ia melepaskan profesinya sebagai seorang guru dengan segala keteraturannya. Ia mulai mengurusi orang-orang miskin, sakit dan terlantar di kota Kalkuta, India.

Ia mulai mendatangi para gelandangan. Dengan tangannya sendiri ia mengangkat mereka dan membawanya ke tempat tinggalnya. Di sana ia membersihkan tubuh mereka. Luka-luka di tubuh mereka ia obati. Ia lantas memberi mereka makan. Ada yang sedang sekarat, ia beri ketenangan agar dapat meninggal dengan damai.

Karya Ibu Teresa ini kemudian berkembang. Banyak orang mulai membantu karyanya. Mereka memberi penghargaan yang besar atas karyanya itu. Sampai akhirnya ia menerima hadiah nobel perdamaian karena karyanya itu.

Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang miskin, sakit dan terlantar. Mereka membutuhkan uluran tangan dari kita. Namun yang kita butuhkan adalah hati yang mudah tergerak oleh belaskasihan. Orang-orang yang miskin, sakit dan terlantar itu seringkali kurang mendapatkan perhatian. Bahkan tidak jarang mereka dicurigai.

Tuhan terus-menerus memanggil kita untuk membantu sesama yang miskin, sakit dan terlantar. Seketul roti saja akan sangat berharga bagi mereka yang miskin. Banyak orang kekurangan makanan. Untuk sekedar hidup saja banyak orang mengalami kesulitan.

Karena itu, kalau kita memiliki hati yang mudah tergerak oleh belaskasihan seperti Ibu Teresa, tentu kita akan segera membantu sesama yang sangat membutuhkan bantuan kita. Untuk itu, kita butuh rahmat dari Tuhan. Rahmat ini kita butuhkan, agar kita kuat dalam melibatkan diri untuk membantu mereka yang miskin, sakit dan terlantar.

Sebagai orang beriman, hati kita mesti mudah tergerak oleh penderitaan sesama. Karena itu, mari kita mendidik diri kita agar mudah tergerak melihat sesama yang menderita. Bayangkan, kalau mereka yang menderita itu adalah kita sendiri. Tentu kita butuh bantuan dari orang lain. Karena itu, mari kita mengulurkan tangan untuk membantu sesama yang menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

325


Bagikan

16 Februari 2010

Membagikan Kemampuan Diri



Andrew Carnegie, seorang yang berjasa terhadap bangsa Amerika, suatu hari mengeluh. Ia berkata, “Saya berutang terhadap semua keberhasilan yang pernah saya raih. Khususnya terhadap kemampuan saya untuk membuat orang-orang yang lebih pandai dari saya yang berada di sekitar saya.”

Carnegie mengaku, semasa hidupnya ia kurang mampu melakukan satu hal penting. Ia tidak bisa menularkan kelebihannya kepada orang lain. Kelebihannya itu ia gunakan untuk dirinya sendiri. Orang lain tidak boleh memiliki kelebihannya. Ia baru sadar, ketika ia sudah menjadi tua.

Karena itu, ia merasa memiliki utang yang besar terhadap bangsanya. Ia menyesal, dulu sewaktu muda ia tidak menularkan kelebihannya itu kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Seandainya keahliannya itu ia tularkan kepada orang lain, tentu banyak orang akan menggunakannya untuk kemajuan bangsa manusia.

Sering kita menyaksikan hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup sehari-hari. Seorang pengusaha tentu akan tetap menjaga rahasia suksesnya. Ia tidak ingin rahasia suksesnya itu ditiru oleh orang lain. Baginya, rahasia sukses itu mesti ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Orang lain tidak perlu tahu.

Tentu hal ini sah-sah saja. Tidak ada orang yang bisa melarang seseorang untuk menyimpan rahasia suksesnya untuk dirinya sendiri. Namun seperti kisah di atas, hal yang baik yang tidak ditularkan kepada orang lain itu akan mati bersama orang yang memilikinya.

Hal yang baik itu tidak akan bertumbuh dan berkembang. Hal yang baik itu akan tetap satu saja. Tidak akan menjadi banyak. Padahal dalam hidup ini kita butuh semakin banyak hal baik yang mesti dikembangkan.

Kalau kita menularkan kebaikan-kebaikan atau keahlian-keahlian kita kepada orang lain di sekitar kita, maka hal-hal itu akan bertumbuh dan berkembang. Keahlian yang kita miliki itu akan hidup terus dalam diri orang-orang lain.

Sebagai orang-orang, kita didorong oleh suatu semangat untuk membagikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Dalam hal ini yang kita miliki itu kemampuan atau keahlian dalam diri kita. Ketika kita membagikan atau menularkan hal ini kepada sesama, berarti kita ingin membagikan kasih kita kepada sesama yang ada di sekitar kita. Kasih itu juga tumbuh melalui hal-hal seperti ini. Kasih itu menjadi tampak, ketika kita membagikan kemampuan diri kita kepada orang-orang yang ada di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

324

Bagikan

15 Februari 2010

Memperlakukan Sesama dengan Baik



Tiba-tiba saja seekor singa keluar dari kandangnya ketika sedang diadakan sebuah karnaval. Semua orang yang berada di sekitar kandang singa itu langsung lari terbirit-birit. Ibu-ibu menangis histeris ketakutan. Mereka berusaha menyelamatkan anak-anak mereka.

Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Namun tiba-tiba muncul seorang anak kecil berjalan menuju singa itu. Ia tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ibunya berteriak histeris memanggil nama anaknya. Namun anak itu semakin cepat berlari menuju singa, si raja rimba itu.

Begitu dekat singa itu, ia langsung mengelus-elus singa itu. Herannya, singa itu tidak menerkamnya. Malah singa itu menjilat-jilat tangan anak itu. Mereka berdua pun saling memberikan perhatian dengan cara mereka masing-masing. Singa itu tidak hanya menjilat-jilat tangan anak itu. Ia juga menjilat mukanya, punggungnya dan kaki anak itu. Anak itu tertawa gembira mendapat perlakuan yang begitu baik dari singa itu. Sementara ibunya merinding ketakutan.

Tidak lama kemudian singa itu masuk kembali ke kandangnya. Anak itu mengunci kandangnya kembali. Setelah mengelus-elus dahi singa itu, anak itu kembali kepada ibunya yang sedang bercucuran air mata.

Begitu sampai dalam pelukan ibunya, anak itu tertawa gembira. Hari itu ia bisa menaklukan si raja rimba dengan elusan-elusannya. Ibunya bertanya, “Nak, mengapa kamu lakukan itu? Mama sangat cemas melihat tingkahmu. Lain kali mama tidak akan membawamu lagi kalau ada karnaval.”

Sambil tersenyum, anak itu menjawab, “Mama, singa itu sudah terlatih dengan baik oleh pelatihnya. Pasti dia tidak sembarangan menyerang orang. Apalagi kalau dia lihat anak kecil seperti saya. Dia pasti kasihan terhadap saya, mama. Kan tadi saya memperlakukannya dengan baik. Saya tidak marah kepadanya. Saya hanya mengandalkan senyum saya.”

Ibunya terheran-heran mendengar kata-kata anaknya. Senyum anak itu telah menyelamatkan dirinya dari sergapan singa. Apalagi anak itu memperlakukan singa itu dengan baik.

Sering kali orang salah persepsi terhadap orang lain. Orang yang penampilannya seram sering dikira sebagai orang yang ganas pula. Karena itu, orang mesti hati-hati dalam menilai orang lain. Orang yang tampilannya seram itu belum tentu punya sifat yang jelek pula.

Untuk itu, orang mesti berpikir positif terhadap sesama yang ada di sekitarnya. Artinya, orang mesti tidak memiliki praduga-praduga yang bukan-bukan terhadap orang lain. Yang mesti diutamakan adalah menerima kehadiran sesama secara baik. Orang juga mesti memperlakukan sesamanya dengan baik. Dengan demikian tidak terjadi kekacauan dalam hidup ini.

Dalam kisah di atas, anak itu memperlakukan singa itu dengan baik. Ia mengelusnya. Ia melayangkan senyum kepadanya. Perbuatan anak itu membuat singa yang ganas itu luluh.

Mari kita berusaha berbuat baik kepada setiap orang yang kita jumpai dalam hidup ini. Kita singkirkan berpikir negatif tentang orang lain dari pikiran kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

322/323

Bagikan

Memberi Semangat kepada Orang Lain

Di suatu Tahun Baru, seorang milyoner menghadapi suatu tragedi yang mengerikan. Milyoner yang bangga karena tidak pernah memberi tips bagi setiap pelayanan itu kehilangan kepala akuntannya. Akuntannya itu bunuh diri dengan minum racun maut. Padahal selama tiga puluh tahun bekerja dengan milyoner itu, tidak ada masalah antara mereka. Laporan keuangan selalu ia buat dengan sangat baik. Tidak ada keanehan apa-apa pada laporan keuangan itu.

Bahkan laporan keuangan itu teratur secara sangat rapi dan sempurna. Akuntan itu seorang yang sangat jujur. Ia tidak pernah membuat rekayasa-rekayasa dalam membuat laporan keuangan. Ia juga seorang yang sangat pendiam. Satu-satunya surat yang ditinggalkan akuntan itu hanyalah surat pendek yang ditujukan kepada milyoner itu.

Isi suratnya adalah “Selama tiga puluh tahun bekerja, saya tidak pernah mendapat dorongan semangat satu kata pun. Saya bosan!”

Setelah membaca surat singkat itu, milyoner itu sangat terkejut. Ternyata apa yang ia perlihatkan selama ini tidak selalu menyenangkan semua pegawainya.

Memberikan motivasi kepada orang lain itu sangat berguna. Orang akan melihat sesuatu yang memberi semangat itu sebagai suatu kekuatan dalam usaha-usaha mengembangkan diri. Ada orang mengatakan bahwa salah satu yang membentuk keahlian seseorang itu adalah adanya motivasi dari luar diri. Motivasi yang diberikan oleh seorang pemimpin itu ternyata memberikan kekuatan dalam diri seseorang untuk mengembangkan keahliannya.

Kisah di atas menunjukkan bahwa seorang yang ahli itu masih membutuhkan semangat dari pemimpinnya. Ada berbagai bentuk semangat yang bisa diberikan. Misalnya, pujian atau ucapan terima kasih atas apa yang telah dibuat. Atau bisa juga dalam bentuk hadiah atas suatu prestasi yang telah ditunjukkan.

Bentuk-bentuk semangat ini diberikan tanpa biaya yang tinggi. Tetapi orang yang menerima penghargaan itu akan sangat bergembira. Ia merasa bahwa apa yang ia buat itu membahagiakan orang lain. Apa yang ia lakukan itu ternyata berkenan di hati pemimpinnya. Dalam kondisi seperti ini semangat untuk bekerja akan semakin kuat. Semangat untuk meningkatkan kemampuannya akan dikembangkan terus-menerus tanpa diperintah oleh orang lain.

Sering kali kita menganggap remeh pujian yang kita berikan kepada orang lain. Atau kita menganggap biasa ucapan terima kasih yang kita tujukan kepada orang lain. Namun pujian atau terima kasih itu sangat bernilai bagi yang menerima. Karena itu, baiklah kita senantiasa memberi pujian dan ucapan terima kasih kepada mereka yang bekerja dengan kita siapa pun mereka. Kalau Anda punya pembantu yang baik, berilah pujian kepadanya setelah ia melakukan pekerjaannya dengan baik. Ucapkanlah terima kasih untuknya. Hal-hal ini akan membantunya untuk meningkatkan kinerjanya dalam pekerjaannya.

Sebagai orang beriman, mari kita saling memberi semangat agar hidup ini semakin bermakna. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

323


Bagikan

14 Februari 2010

Melihat dengan Mata Batiniah

Sebuah perusahaan kosmetik berhasil meminta warga kota besar untuk mengirim surat singkat dan foto wanita paling cantik yang mereka kenal. Hanya dalam tempo beberapa minggu saja ribuan surat diterima oleh perusahaan itu.

Ada salah satu surat yang menarik perhatian karyawan, sehingga memberikannya kepada pemimpin perusahaan. Surat itu ditulis oleh seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga yang berantakan dan tinggal di lingkungan yang kumuh. Surat itu berbunyi, “Seorang wanita cantik tinggal di dekat rumah saya. Saya mengunjunginya setiap hari. Dia membuat saya merasa seperti anak yang paling penting di dunia. Kami bermain dam bersama dan dia mendengarkan setiap persoalan saya. Dia memahami saya dan ketika saya pergi, dia selalu mengatakan betapa bangganya dia terhadap saya.”

Anak laki-laki itu mengakhiri suratnya dengan berkata, “Inilah foto wanita paling cantik di dunia. Saya berharap memiliki istri secantik dia.”

Karena tertarik dengan surat itu, pemimpin perusahaan tersebut meminta foto wanita itu. Sekretarisnya menunjukkan foto seorang wanita ompong yang sudah lanjut usia sedang tersenyum dan duduk di kursi roda. Wajah di bawah rambut kelabunya awut-awutan dan penuh kerut-kerut. Matanya memancarkan keramahan.

Pemimpin perusahaan itu berkata, “Kita tidak bisa memakai wanita ini. Wanita ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa produk kita tidak membuat seorang wanita menjadi cantik.”

Setiap orang tentu memilih hal yang paling baik dan indah untuk hidupnya. Apa pun yang terjadi, orang akan tetap mau memenuhi hidupnya dengan hal-hal yang terbaik dan indah. Namun dalam kisah di atas, anak laki-laki itu memilih seorang perempuan tua, ompong, beruban dengan wajah yang kerut-kerut sebagai yang tercantik. Tentu dia memiliki suatu pengalaman yang indah dengan perempuan tua itu.

Dari pengalaman itu, ia mau mengatakan bahwa yang cantik, yang indah itu sesuatu yang relatif. Dari sisi wajah, perempuan tua itu sudah tidak cantik lagi. Tetapi dari sisi hati, bagi anak laki-laki itu, perempuan itu seorang yang membuat ia terpesona. Ia menemukan cinta yang mendalam dari hati perempuan tua itu. Hal itu telah mendorongnya untuk memiliki istri yang memiliki kecantikan batiniah.

Kiranya ini yang penting. Dalam kenyataan hidup sehari-hari orang mengutamakan hal-hal yang lahiriah. Hal-hal yang tampil itulah yang diyakini sebagai sesuatu yang paling benar, paling baik. Padahal mata lahiriah sering keliru. Mata lahiriah sering tertipu oleh polesan-polesan lahiriah.

Karena itu, kita butuh mata batiniah yang melihat lebih jeli tentang suatu keadaan. Orang yang memiliki mata batin yang jernih biasanya orang yang peka terhadap situasi di sekitarnya. Orang yang mampu tanggap dan sering menilai sesuatu tidak berdasarkan apa yang dilihat oleh mata lahiriah.

Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita diajak untuk menumbuhkembangkan kemampuan mata batiniah kita. Mari kita terus-menerus mengembangkan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



321

Bagikan

Waspada terhadap Godaan


Seorang anak laki-laki Indian merasa bahwa dia siap menjadi pria dewasa. Kepala suku berkata, “Untuk menjadi pria dewasa, kamu harus mampu bertahan di pegunungan selama satu minggu. Jika kamu berhasil hidup, maka kamu dianggap sebagai pria dewasa.”

Pemuda itu pun pergi ke gunung untuk bisa menjadi seorang pria dewasa. Ketika dia mendaki gunung yang paling tinggi, dia melihat seekor ular derik sedang berbaring di atas salju. Pemuda itu terkejut, ketika ular itu berbicara kepadanya. “Tolong saya,” ujar ular yang bergetar kedinginan itu. “Saya kedinginan, tersesat dan jauh dari rumah. Tolong angkat saya dan bawa saya ke lembah yang hangat. Jika saya tetap di sini, saya pasti akan mati.”

Pemuda itu mendekati ular itu. Dia sangat berhati-hati. Pemuda itu berkata, “Saya tahu jenis ular sepertimu. Jika saya mengangkatmu, pasti kamu menggigit saya.”

Ular itu berkata, “Saya tidak akan menggigitmu. Saya akan menjadi temanmu, jika kamu mau membawa saya turun gunung. Percayalah kepada saya.”

Pemuda itu berpikir bahwa ular yang bisa berbicara pasti ular yang spesial. Ia pun mengangkat ular itu lalu membawanya ke lembah yang hangat. Begitu dia meletakkan ular itu ke tanah, tiba-tiba saja ular itu menggeliat dan memagut lehernya. Pemuda itu berteriak kesakitan. Ia berteriak, “Kamu menggigit saya. Kamu berjanji bahwa kamu tidak akan menggigit saya. Sekarang saya akan mati!”

Dengan desis iblis, ular itu berkata, “Mau tidak mau saya harus melakukannya. Kamu sudah tahu persis apa yang akan saya lakukan, kalau kamu mengangkat saya. Selamat tinggal, tolol.”

Ini kisah tragis sebuah perhatian. Pertolongan yang begitu baik dibalas dengan kekejaman. Seperti itu pula kerja dosa. Dosa mencobai kita dan menarik kita, agar kita mendekat. Dosa menyebarkan kebohongan. Dosa membujuk kita untuk melawan akal sehat dan menguasai kita. Dosa meyakinkan kita untuk mempercayainya. Itulah dosa. Dosa justru menunjukkan kuasanya yang paling mematikan, jika kita mengira dia adalah teman kita.

Sebagai orang beriman, tentu kita ingin lebih hati-hati terhadap godaan-godaan di sekitar kita. Banyak orang tentu tidak ingin jatuh ke dalam dosa. Mengapa? Karena dosa itu menyebabkan penderitaan. Namun tidak jarang pula banyak orang tidak tahan terhadap godaan-godaan di sekitarnya. Sudah tahu kalau menggunakan narkoba itu merusak diri dan generasi penerus bangsa, tetapi banyak orang masih nekat menggunakannya.

Karena itu, kita senantiasa diajak untuk selalu waspada terhadap setiap bentuk godaan di sekitar kita. Ada begitu banyak godaan yang dapat membuat kita lengah terhadap bisikan suara hati kita yang jernih. Karena itu, kita mesti selalu mendengarkan suara hati kita yang jernih.

Setiap hari kita mengalami betapa hidup ini begitu indah. Tentu saja indahnya hidup ini tidak tercipta hanya dari yang baik-baik saja. Hidup ini juga tercipta dari kesulitan-kesulitan hidup. Karena itu, mari kita syukuri aneka pengalaman hidup ini. Kita mengsyukurinya karena aneka pengalaman itu mampu membentuk hidup kita seperti sekarang ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

320

Bagikan