Pages

30 Juni 2010

Hati-hati terhadap Pujian

Selama musim kemarau, seorang gadis kecil membantu tetangganya. Ia menyiram bunga-bunga yang tumbuh di halaman tetangganya itu. Apalagi waktu itu tetangganya yang adalah seorang janda miskin sedang sakit. Bagi janda miskin itu, bunga-bunga itulah hartanya yang paling berharga. Gadis kecil itu tidak tega melihat bunga-bunga itu layu di senja hari. Ia lakukan semua itu tanpa sepengetahuan janda miskin itu.

Setelah sebulan sakit, janda miskin itu pun sembuh. Hal pertama yang ia lakukan ialah ia mendatangi bunga-bunganya. Dalam hati ia berpikir bahwa bunga-bunga itu sudah lama mati seperti dirinya yang terbaring lemah selama sebulan. Tetapi ia sangat terkejut begitu menyaksikan bunga-bunga segar yang tetap hidup di halaman rumahnya. Ia tidak habis pikir. Siapa yang telah memelihara bunga-bunganya itu.

Suatu sore ia mengintip dari lobang jendela, kalau-kalau ada orang baik yang telah menyiram bunga-bunganya itu. Benar. Ia menyaksikan seorang gadis kecil membawa sebuah ember berisi air. Setelah berada di halaman rumahnya, gadis kecil itu mulai menyirami bunga itu satu per satu. Janda itu tersenyum menyaksikan perbuatan baik gadis kecil itu.

Janda itu berdecak kagum akan kebaikan gadis kecil itu. Lantas ia membuka jendela yang membuat gadis itu terkejut. Ia berkata, “Hai gadis kecil, terima kasih. Kamu sudah baik sekali sama saya. Tuhan memberkati.”

Gadis kecil itu sangat terkejut mendengar suara janda tua itu. Ia pun tersenyum. Beberapa saat kemudian ia menyelinap pergi. Ia tidak ingin kebaikannya dipuji-puji oleh orang lain.

Kebaikan itu tidak mesti dilihat orang. Perbuatan baik itu juga tidak mesti diketahui oleh orang lain. Kisah gadis kecil yang peduli terhadap tetangganya itu dapat menjadi suatu inspirasi bagi kita untuk melakukan kebaikan dalam diam. Dalam ketersembunyian kita dapat melakukan berbagai hal yang baik bagi kepentingan sesama kita.

Kata orang, perbuatan baik yang dilakukan dalam diam biasanya membuahkan kebahagiaan yang berlipatganda bagi sesama. Perbuatan baik seperti ini biasanya jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi. Orang melakukannya melulu demi kebahagiaan sesama. Tanpa suatu perhitungan untung rugi.

Persoalannya adalah banyak orang melakukan kebaikan untuk dipuji-puji oleh orang lain. Atau orang melakukan kebaikan hanya untuk dilihat orang. Padahal pujian itu sering membahayakan hidup manusia. Orang sering terpaku pada pujian itu. Orang merasa puas kalau dipuji. Kalau tidak ada pujian orang merasa hidupnya tidak berarti. Orang merasa bahwa apa yang dilakukannya itu tidak berguna apa-apa.

Karena itu, sebagai orang beriman kita mesti hati-hati terhadap setiap bentuk pujian yang dialamatkan kepada kita. Mengapa? Karena pujian itu mendatangkan kerugian besar bagi manusia. Pujian dapat membuat manusia lupa diri. Pujian membuat manusia berhenti untuk melakukan kebaikan bagi sesamanya. Mari kita tetap bertahan dalam berbuat baik tanpa mengharapkan pujian dari sesama. Dengan demikian, kita dapat semakin kreatif dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

424

Bagikan

29 Juni 2010

Membangun Ketegaran Jiwa Rata Penuh


Beberapa waktu lalu ada seorang bocah dibuang oleh orangtuanya di dekat bak sampah di sebuah jalan di Surabaya. Bocah berusia tiga tahun itu mempunyai ciri-ciri bibir sumbing dan belum bisa berbicara.

Orangtua bocah itu menuliskan pesan di atas kertas yang ditempel di punggung anaknya. Bunyi pesan itu adalah ”Saya sudah tidak kuat lagi mengasuh anak ini. Semoga yayasan bhakti kasih bisa merawatnya. Terima kasih. Tuhan Memberkati.”

Kebetulan lokasi anak yang dibuang itu dekat dengan Yayasan Bhakti di Jalan Kutisari Indah Barat V nomor 36. Diperkirakan orangtuanya ingin menyerahkan bocah itu kepada pihak yayasan, tetapi enggan melakukannya.

Bocah ditemukan oleh seorang warga dengan kondisi baju dan celananya basah kuyup. Ia mengenakan baju warna merah dan celana pendek hitam. Setelah menemukan bocah itu, warga tersebut melaporkannya ke pihak polisi. Kini bocah tersebut berada di bawah asuhan Yayasan Bhakti Kasih Surabaya.

Kisah di atas membuat hati kita tersentuh oleh belas kasihan terhadap kehidupan. Ada orang yang tega menolak kehadiran buah hatinya. Ada orang yang punya hati yang begitu gampang menyerah pada situasi sulit. Semestinya orang berani mengambil resiko atas apa saja yang akan terjadi dalam hidup ini. Apalagi kelahiran seorang anak dalam keluarga tidak serta merta lahir begitu saja.

Hadirnya seorang anak di dalam keluarga sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum pernikahan suatu pasangan. Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa seorang anak lahir atas dasar cinta yang mendalam dari sepasang suami istri. Karena itu, ketika orang menolak kehadiran seorang anak dalam perkwinannya merupakan penolakan atas cintanya sendiri.

Tanggung jawab terhadap cinta kasih yang telah dirajut bersama menjadi berkurang nilainya. Orang hanya mau menerima yang baik dan menyenangkan saja. Orang enggan untuk menerima yang kurang baik dan menyusahkan dirinya. Akibatnya, yang kurang baik ditinggalkan. Yang menyusahkan diri dihindari. Lebih mudah melarikan diri dari tanggungjawab. Orang tidak berani menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam hidup ini. Orang beriman itu orang yang berani menghadapi resiko dalam hidupnya. Orang beriman itu orang yang cerdas dalam mengelola hidupnya. Orang yang tidak menyerah begitu saja pada kenyataan hidup yang tidak mengenakkan. Orang beriman itu tegar dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

Ketika murid-murid Yesus menolak kedatangan anak-anak, Yesus berkata, “Biarlah anak-anak itu datang kepadaKu, sebab merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Yesus menerima anak-anak itu dan memberkati mereka. Yesus memperhatikan kehadiran anak-anak itu.

Karena itu, orang beriman mesti bercermin pada sikap Yesus itu. Menerima kehadiran sesamanya dalam hidup sehari-hari. Tidak menolak sesamanya, karena kekurangan yang ada pada sesamanya itu. Untuk itu, kita butuh kekuatan dari Tuhan yang dapat membantu usaha-usaha kita untuk menyelesaikan persoalan hidup. Mari kita terus-menerus berusaha untuk membangun hidup iman kita dalam kenyataan hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

423
Bagikan

28 Juni 2010

Berubah untuk Hidup yang lebih Baik



Ada seorang pemuda yang terkenal keras hatinya. Ia sering tidak peduli terhadap situasi lingkungan sekitarnya. Kalau ia mau melakukan sesuatu, sulit untuk dihentikan. Suatu hari pemuda itu memandangi sebuah batu besar yang berlubang di beberapa tempat. Ia heran mengapa batu yang kuat, kokoh dan tebal itu bias berlubang. Padahal tidak ada seorang pun yang memahatnya. Ia sangat penasaran. Ia pun menyelidiki penyebab lobang-lobang itu. Lama ia melakukan hal itu.

Pemuda itu baru menemukan penyebabnya ketika musim hujan tiba. Rupanya air yang terus-menerus menjatuhi batu itu menjadi penyebab lobang-lobang itu. Apalagi ujung pancuran terbuat dari kayu yang berasal dari rumah warga persis berada di atas batu itu. Air yang mengalir dari pancuran itu lebih deras setiap kali terjadi hujan. Pancuran kayu yang sudah tua itu pun menyimpan air, sehingga meskipun hujan sudah berhenti, air masih tergenang. Air terus mengalir untuk beberapa lama.

Pemuda itu berdecak kagum menyaksikan hal itu. Batu yang kuat dan kokoh itu ternyata dapat berlobang dengan tetes-tetes air hujan itu. Ia berkata, “Batu yang kokoh dan kuat saja bisa berlobang, semestinya hati manusia lebih mudah tersentuh oleh situasi hidup manusia.”

Sejak itu pemuda itu berusaha untuk mengubah sikap-sikap hidupnya yang keras dan kaku. Ia berusaha untuk memiliki hati yang lembut. Dengan demikian, ia dapat mengalami kasih dan sukacita dalam hidupnya.

Kekerasan hati sering menghambat pertumbuhan hidup manusia. Orang yang keras dan kaku sering mengalami jalan buntu dalam hidup ini. Orang seperti ini sering hidup semau gue. Tidak diatur oleh orang lain. Ia mau hidup bagi dirinya sendiri. Padahal manusia itu makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup bagi dirinya sendiri.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa hati yang keras dan kokoh dapat menjadi lembut dan berguna, kalau terjadi perubahan dalam diri manusia. Orang yang mau berubah biasanya orang yang sukses dalam hidupnya. Orang yang memandang hidup ini tidak hanya dari satu sisi kehidupan. Tetapi orang yang melihat hidup ini memiliki indahnya warna-warni kehidupan.

Namun orang mesti punya tujuan yang jelas untuk berubah. Artinya, orang berubah untuk sesuatu yang lebih baik. Bukan menjadi lebih buruk dalam hidup ini. Nah, untuk menjadi lebih baik biasanya orang tidak hanya berusaha sendiri. Orang mesti berani mengandalkan Tuhan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani mengubah kebiasaan-kebiasaan yang jelek, keras dan kaku dalam hidup ini. Kita mesti memiliki kehendak yang baik untuk kesejahteraan banyak orang, ketika kita mulai berusaha mengubah hidup kita. Mari kita terus-menerus mengubah hidup kita dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih indah bagi kehidupan bersama. Sukacita dan damai akan kita temukan. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


422

Bagikan

27 Juni 2010

Mengampuni Itu Membahagiakan Hati



Ada seorang ibu yang begitu mudah melupakan kesalahan dan dosa sesamanya. Setiap kali sesamanya melakukan kesalahan, ia selalu mengampuni dan kemudian melupakan kesalahan itu. Baginya, tidak ada gunanya mengingat-ingat kesalahan orang lain. Kesalahan orang lain yang diingat-ingat itu hanya menjadi beban bagi dirinya. Padahal ia sudah punya banyak hal yang mesti ia ingat dan pikirkan.

Namun alasan yang paling kuat adalah ia hanya mau mengenang kebaikan-kebaikan sesamanya. Ia merasakan begitu banyak kebaikan dari sesamanya. Karena itu, ketika sesamanya itu melakukan kesalahan terhadapnya, ia mesti mengampuni dan kemudian melupakannya. Ia ingin agar sesamanya itu memperoleh kebahagiaan dengan pengampunan yang diberikannya itu.

Dengan cara begitu, ia menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Ia merasakan ada ketenangan dalam dirinya. Ada suasana yang menghibur diri hatinya. Ada sesuatu yang dapat menjadi pegangan dalam hidupnya. Ibu itu menjadi orang yang menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia punya banyak teman. Ia diterima oleh setiap orang yang dijumpainya.

Kita hidup dalam dunia yang lebih dikuasai oleh kebencian dan balas dendam. Ketika ada yang melakukan kesalahan sulit sekali ada kata ampun. Lebih mudah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Lebih gampang menghindarinya daripada menerimanya, agar ia dapat memperbaiki hidupnya. Lebih mudah membalas kesalahan dengan kesalahan.

Mengapa situasi seperti ini menjadi bagian dari hidup manusia? Karena orang kurang punya cinta. Orang lebih mengandalkan egoisme dan cinta diri yang berlebihan. Akibatnya, hidup ini menjadi hambar. Orang hidup, tetapi kurang punya semangat untuk berbakti bagi sesamanya. Orang kehilangan daya untuk menumbuhkan rasa cinta dan sayang terhadap sesamanya.

Apa yang mesti dibuat? Kisah ibu tadi mau mengingatkan kita untuk mendahulukan pengampunan daripada usaha balas dendam. Mengampuni dan tidak mengingat lagi kesalahan orang lain ternyata menumbuhkan rasa damai dan sukacita. Orang dapat terbebas dari beban hidup. Orang menemukan keutuhan hidupnya. Orang menemukan makna hidup yang sangat mendalam, karena cinta yang diberikan dengan tanpa mengharapkan balasannya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus mengampuni dan melupakan kesalahan sesama. Dengan demikian, kita menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Kita dapat memberikan dukungan dan semangat hidup kepada sesama yang bersalah kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


421

Bagikan

26 Juni 2010

Berusaha Mengendalikan Diri


Ada seorang gadis yang terkenal cerewet. Ia tidak peduli terhadap siapa pun. Apa saja yang tidak disukainya akan ia komentari. Ia tidak mau tinggal diam. Setiap orang yang melakukan kesalahan sekecil apa pun akan ia omeli. Ia tidak mau melihat orang lain melakukan kesalahan. Ia ingin orang lain sempurna.

Terhadap dirinya sendiri? Ia hidup tidak karuan. Ia lebih banyak meminta pengampunan dari orang lain, ketika ia melakukan kesalahan. Ia meminta pengertian dari sesamanya di kala ia salah melangkah dalam hidup ini. Situasi seperti ini menimbulkan banyak protes. Orang-orang tidak begitu menyukai dirinya. Mereka menghindar ketika berpapasan dengannya. Mereka kurang begitu memiliki sikap respek terhadapnya.

Akibatnya, lama-kelamaan ia kehilangan banyak sahabat. Ia mengalami kesepian dalam hidupnya. Ia hidup sebatang kara. Tidak ada yang menjadi teman dalam hidupnya. Ia ditolak oleh lingkungan di mana ia tinggal. Sayang, ia menuai hasil dari perbuatannya sendiri. Kalau saja ia bisa menahan diri, banyak orang akan dapat menjadi sahabat setianya dalam perjalanan hidupnya.

Menjaga mulut kita merupakan suatu keutamaan dalam hidup ini. Banyak orang sulit menjaga mulutnya. Akibatnya, banyak terjadi keributan dalam hidup ini. Keharmonisan sulit tercipta dalam hidup ini. Orang sering bertengkar untuk hal-hal yang sangat sepele. Hidup ini menjadi sesuatu yang berat. Orang tidak mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini.

Coba kalau kita tidak bisa menjaga mulut kita, apa yang akan terjadi? Kita akan sama seperti gadis dalam kisah di atas. Setiap omelannya ternyata berbahaya bagi dirinya sendiri. Ia tidak bisa menguasai lidah dan mulutnya. Ia tidak bisa menguasai dirinya. Emosinya sering menguasai dirinya. Akibatnya, tidak ada orang yang mau mendekat kepada dirinya.

Sebenarnya apa yang kurang dalam diri orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya? Yang kurang adalah cinta kasih dan rasa percaya terhadap orang lain. Biasanya yang terjadi adalah cinta diri yang berlebihan. Orang memandang diri sendiri sebagai yang paling baik dan sempurna. Akibatnya, orang tidak melihat kebaikan yang ada dalam diri orang lain. Dirinyalah yang paling baik dan benar, sehingga orang lain selalu tidak baik dan salah.

Karena itu, yang dibutuhkan adalah mengubah cara pandang terhadap orang lain. Orang mesti memandang sesamanya sebagai bagian dari hidupnya. Sesama itu bukan sasaran tembak. Sesama itu juga memiliki nilai-nilai dan kebenaran yang mesti dihargai dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani menerima kehadiran sesama dalam hidup ini. Kita akan merasakan sukacita dan damai dalam hidup ini berkat kehadiran sesama itu. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

420
Bagikan

25 Juni 2010

Mau Melayani, Siap untuk Repot

Ada seorang ibu yang baik hati. Setiap pagi ia selalu menyiapkan sarapan untuk para gelandangan yang bertandang ke rumahnya. Untuk itu, ia siap untuk repot. Ketika teman-temannya mempersoalkan hal ini, ia menjawab dengan enteng, ”Kalau kita ingin melayani orang lain, kita harus siap untuk repot. Kita tidak bisa mengeluh begitu saja. Ini resiko dari pelayanan.”

Dengan sikap seperti itu, ibu itu merasakan sukacita dalam pelayanannya. Ia tidak mengalami rasa penat dalam melayani para gelandangan itu. Meskipun semakin hari semakin banyak gelandangan yang bertandang ke rumahnya, ia tetap memberikan senyum kepada mereka. Ia tidak menolak kehadiran mereka. Apalagi keluarganya sangat mendukung pelayanannya itu.

Soal dana ia tidak perlu kuatir. Banyak relasinya yang mengirimkan makanan dan dana kepadanya. Ia dapat mengelola kiriman dan dana itu untuk kelangsungan hidup para gelandangan itu.

Hal yang menarik dan menakjubkan adalah ibu itu merasakan sentuhan kasih sayang dari Tuhan atas dirinya. Ia tidak hanya melayani para gelandangan itu. Baginya, di dalam diri para gelandangan itu ia menemukan Tuhan yang senantiasa mencintai dirinya. Tuhan yang selalu setia menemaninya dalam pelayanannya. Karena itu, ia mengalami sukacita dan damai. Ia mengalami bahwa Tuhan begitu baik terhadapnya. Tuhan tidak pernah membiarkannya berjuang sendiri di dunia ini.

Banyak orang kurang peduli terhadap sesamanya yang kurang beruntung. Mengapa? Karena banyak orang tidak mau repot. Banyak orang ingin mengurus diri mereka sendiri. Dalam hal seperti ini mereka sering mengatakan bahwa mengurus diri sendiri saja belum cukup. Jadi tidak perlu mengurus diri orang lain. Tentu saja sikap seperti ini menumbuhkan suatu sikap yang kurang berkenan kepada Tuhan.

Kita hidup dalam dunia ini bersama orang lain. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri. Kita juga hidup bagi sesama kita. Sesama yang ada di sekitar kita itu bukan suatu kebetulan. Mereka diciptakan oleh Tuhan yang sama yang menciptakan kita. Dan Tuhan ingin agar kita memiliki kepedulian terhadap setiap orang yang kita jumpai. Terhadap mereka yang kurang beruntung kita mesti memberikan perhatian yang lebih besar. Mengapa? Karena mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki kepedulian terhadap sesama kita. Tuhan hadir dan hidup di dalam diri sesama kita itu. Karena itu, kita mesti memiliki hati yang terbuka terhadap semua orang yang ada di sekitar kita. Melalui keterbukaan hati itu, kita dapat menjadi bagian dari sesama kita. Kita dapat meneruskan kasih Tuhan kepada sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


419


Bagikan

24 Juni 2010

Tuhan selalu Hadir dalam Hidup Kita



Ada seorang pemuda kecil ingin bertemu dengan Tuhan. Ia tahu bahwa itu memerlukan sebuah perjalanan jauh untuk pergi ke tempat di mana Tuhan tinggal. Jadi ia menyiapkan segala bawaannya, yakni makanan, minuman dan makanan kecil kesukaannya. Setelah itu, ia memulai perjalanannya.

Ketika ia berjalan kira-kira satu kilometer, ia bertemu dengan seorang wanita tua. Ia hanya duduk di taman memandang burung-burung merpati. Pemuda kecil itu duduk di sampingnya dan membuka tas perlengkapannya. Ia ingin minum.

Ia menyaksikan wanita tua itu kelaparan. Karena itu, ia menawarkan makanan kepada wanita tua itu. Wanita itu dengan senang hati menerimanya dan tersenyum kepadanya. Senyumnya begitu cantik hingga pemuda kecil itu ingin melihatnya lagi. Lantas ia menawarkan wanita tua itu sekaleng root beer. Sekali lagi, wanita tua itu tersenyum kepadanya. Pemuda kecil itu senang sekali! Mereka duduk di situ sepanjang sore hanya makan dan tersenyum, tetapi mereka tak mengucapkan sepatah kata pun.

Lalu gelap pun mulai menyelimuti bumi. Pemuda kecil tu menyadari betapa lelahnya ia. Ia harus pergi, tetapi sebelum ia melangkah lebih jauh lagi, ia berputar kembali. Ia berlari kepada sang wanita tua dan memberikan sebuah pelukan. Wanita tua itu memberikan senyum terbaiknya.

Ketika pemuda kecil itu membuka pintu rumahnya, tak lama kemudian ibunya terkejut melihat kegembiraan yang terajut di wajah putranya. Ia bertanya kepadanya, “Apa yang kaulakukan pada hari ini hingga membuat kamu begitu gembira?”

Ia menjawab, “Saya makan siang dengan Tuhan.”

Tetapi sebelum ibunya menjawab, ia menambahkan, “Ibu tahu? Ia memiliki senyum tercantik yang pernah saya lihat!”

Betapa sering manusia kehilangan kegembiraan. Ada berbagai alasan yang membuat manusia kehilangan sukacita. Bisa saja karena orang yang dicintai meninggalkan dirinya tanpa kabar. Atau orang yang dicintai itu ternyata menganiaya dirinya. Atau bisa jadi karena kemiskinan yang melilit hidup manusia.

Dalam situasi seperti ini, orang mengalami penderitaan. Tersenyum saja orang mengalami kesulitan. Orang memilih untuk menderita dalam kebisuan. Orang seolah-olah merasa kalau persoalannya dapat ditanggung sendiri.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kegembiraan itu dapat ditemukan dalam hidup sehari-hari. Mengapa orang merasa gembira? Mengapa orang dapat menemukan sukacita itu dalam hidupnya? Karena Tuhan hadir dalam kegembiraan itu. Anak kecil itu dapat menemukan Tuhan dalam diri sesamanya yang malang. Ia dapat menemukan Tuhan dalam senyum seseorang yang sungguh-sungguh mengasihi tanpa balas budi.

Ketika orang menyadari makna kehidupan ini, orang mengalami Tuhan begitu dekat dalam hidup mereka. Tuhan begitu peduli terhadap mereka. Tuhan tidak pernah melupakan mereka.

Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Kita tidak perlu mencari Tuhan jauh-jauh. Tuhan ada di dalam hidup kita. Ia senantiasa menyapa kita dengan berbagai cara. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



418

Bagikan

23 Juni 2010

Kesombongan dapat Menghancurkan Manusia

Seorang ayah memasukkan putranya yang berusia lima tahun ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis yang terkenal. Baru sebulan belajar, seorang pianis yang terkenal datang ke kota itu. Sang ayah membeli dua buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.

Satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh. Sang ayah duduk dan putranya tepat berada di sampingnya. Namun anaknya tidak betah duduk diam terlalu lama. Ia menyelinap pergi. Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan. Anaknya berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis terkenal itu. Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano. Ia mulai memainkan sebuah lagu sederhana, twinkle-twinkle little star.

Operator lampu sorot, yang mengira konser telah dimulai langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut, dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum. Ia berkata, "Teruslah bermain". Sang anak meneruskan permainannya.

Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu. Ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.

Begitu selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah. Karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Anak itu menjadi besar kepala. Dalam hati, ia berkata, "Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!" Ia lupa bahwa yang disoraki penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.

Banyak orang begitu bangga akan pencapaian hasil yang mereka dapatkan. Mereka mengira semua itu hasil karya mereka. Orang lupa bahwa yang ikut bekerja dalam karya itu juga Tuhan. Akibatnya, orang kurang mensyukuri kebaikan Tuhan. Orang memuji dirinya sendiri. Orang menyombongkan dirinya sendiri. Karena itu, orang sering cepat puas dan menepuk dada.

Apa yang mesti dibuat oleh orang beriman, ketika mengalami kesuksesan dalam hidup? Orang beriman mesti semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan. Orang beriman mesti belajar dari ilmu padi: makin berisi makin merunduk. Sikap seperti ini akan memudahkan orang untuk tidak menyombongkan diri.

Sebenarnya apa gunanya orang menyombongkan diri? Apakah ada sesuatu yang menambah harga dirinya? Kalau direfleksikan secara lebih mendalam, sebenarnya kesombongan diri itu tidak berarti apa-apa. Dalam kesombongan diri itu justru orang sedang menyembunyikan kekurangan-kekurangan dirinya. Orang merasa seolah-olah sudah hebat. Padahal sebenarnya orang belum memiliki arti apa-apa.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhan. Tuhan yang menyediakan dan memberikan apa yang kita butuhkan untuk hidup kita. Kita mesti menyadari hal ini. Apa yang kita miliki itu hanyalah titipan dari Tuhan yang mesti kita kembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi keselamatan banyak orang. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



417

Bagikan

22 Juni 2010

Segala yang Kita Miliki Itu Titipan dari Tuhan

Seorang ibu terus saja memandangi anaknya yang sedang sakit. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan anaknya itu. Ia tidak punya kemampuan untuk menyembuhkannya. Namun dalam pikirannya mulai tumbuh berbagai cara, agar anaknya itu sembuh.

Pikiran pertama yang muncul adalah ia ingin membawa anaknya itu kepada seorang dukun. Mengapa pikiran itu muncul? Karena ia tidak punya biaya. Ia tidak punya uang untuk biaya pengobatan anaknya. Namun ia tidak mau anaknya dijadikan kelinci percobaan oleh dukun. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak membawa anaknya kepada dukun.

Pikiran kedua yang muncul adalah membawa anak itu kepada dokter. Tetapi persoalannya adalah ia tidak punya biaya. Ia tahu kalau berobat ke dokter itu akan membutuhkan banyak biaya. Tetapi ia tidak habis akal. Ia mencoba untuk mencari tahu, kalau-kalau ada dokter yang bisa memberi dia biaya yang ringan. Atau kalau bisa ia mendapatkan pengobatan gratis.

Usaha itu ia lakukan. Ia berhasil menemukan seorang dokter yang baik hati. Anaknya diobati oleh dokter itu dengan gratis. Setelah itu dokter itu memberinya obat dengan gratis pula. Ia tidak perlu keluarkan uang sepeser pun untuk biaya pengobatan anaknya. Bahkan dokter itu memberinya beberapa ratus ribu untuk beli susu bagi anaknya. Sungguh, suatu kegembiraan yang luar biasa ia alami hari itu.

Apa yang ibu itu lakukan setelah mendapatkan segala sesuatu serba cuma-cuma? Ia mensyukuri kebaikan dokter itu. Setiap hari ia mendoakan dokter itu, agar diberi rejeki yang berlimpah. Itulah ungkapan terima kasihnya kepada Tuhan dan sesama.

Tuhan menggunakan dokter itu untuk menyembuhkan mereka yang sakit. Tuhan ingin, agar manusia mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberi segala sesuatu yang kita butuhkan dengan cuma-cuma. Rahmat Tuhan begitu berlimpah atas kita manusia. Soalnya adalah apakah kita sering menyadari kelimpahan kasih Tuhan itu? Atau kita justru melupakan kasih Tuhan itu?

Kita hidup dalam dunia yang sedang menggoda. Ada orang yang mengagung-agungkan kekuatan dan kemampuan dirinya. Ada orang yang merasa bahwa segala sesuatu yang dimilikinya itu berkat usahanya sendiri. Benarkah sikap seperti ini? Bukankah segala yang kita miliki hanyalah titipan dari Tuhan? Bukankah kemampuan dan hasil-hasil yang kita punyai itu berasal dari Tuhan?

Karena itu, dibutuhkan suatu kesadaran yang terus-menerus bahwa hidup kita ini dipenuhi oleh rahmat Tuhan. Kita mendapatkan berbagai kemudahan dalam hidup, karena Tuhan intervensi terhadap hidup kita. Tuhan tetap setia melibatkan diri dalam setiap suka dan duka hidup kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan. Itulah ungkapan terima kasih kita kepada Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

416

Bagikan

21 Juni 2010

Berusaha Mengobati Luka Batin

Sebut saja namanya Jonas. Ia punya seorang teman baik. Namun beberapa hari belakangan ini ia baru tahu, kalau teman baiknya itu berbicara hal-hal yang kurang baik tentang dirinya di belakangnya. Hal ini membuat hati Jonas terluka. Akibatnya, Jonas memilih sikap untuk mendiamkan temannya itu. Sikap Jonas itu dibalas oleh temannya itu. Mereka saling mendiamkan. Padahal sebelumnya mereka adalah sahabat yang sangat baik. Mereka selalu bepergian bersama.

Beberapa tahun kemudian, temannya itu mengirim surat elektronik kepada Jonas. Ia meminta maaf atas tindakannya. Ia ingin baikan kembali. Ia ingin membangun kembali persahabatan dengannya. Tetapi Jonas tidak menggubris. Ia membalas surat temannya itu, tetapi dengan nada marah dan benci. Ia tidak bisa memaafkan sahabatnya itu. Ia memilih untuk tidak punya sahabat seperti temannya itu. Luka batinnya masih menyakiti hidupnya.

Tentu saja kondisi seperti ini membuat temannya itu pun merasa terluka. Semestinya dulu ia tidak perlu mengatakan hal-hal jelek tentang diri Jonas. Semestinya ia berterus terang terhadap Jonas. Namun semua sudah terlanjur. Ia mempunyai niat baik untuk meminta maaf dan memulai lagi persahabatan yang baik. Tetapi mengapa Jonas begitu tega tidak mengampuni dirinya?

Kata orang, luka batin memang sukar disembuhkan. Luka batin hanya dapat disembuhkan dengan cinta yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan permohonan maaf. Orang mesti sungguh-sungguh merendahkan diri dan mengandalkan cinta kasih. Dengan demikian, relasi yang rusak dapat dibangun kembali. Relasi yang putus dapat disambung kembali.

Untuk itu, mencintai sesama dengan segenap hati mesti menjadi andalan dalam hidup beriman. Mencintai sesama itu memberikan suatu warna tersendiri dalam hidup beriman. Orang dapat menemukan kembali keberadaan dirinya hanya melalui cinta kasih yang mendalam kepada sesamanya.

Pasangan suami istri yang sering cekcok mesti menyadari motivasi awal mereka menikah. Kalau suatu pernikahan dilandasi oleh cinta yang mendalam, orang akan menemukan kesejatian dalam hidup perkawinan. Tetapi kalau suatu perkawinan hanya dilandasi oleh hal-hal lahiriah, cepat atau lambat pernikahan itu akan bubar. Atau orang tetap bertahan dalam perkawinan, tetapi bara api kebencian selalu menyala. Setiap saat bara api itu dapat saja menjilat-jilat, ketika dipicu oleh kecemburuan.

Karena itu, orang beriman mesti mengandalkan cinta kasih yang mendalam. Orang beriman juga mesti berani untuk memaafkan sesamanya yang memohon pengampunan. Orang beriman mesti menerima kehadiran sesamanya apa adanya. Tidak boleh menuntut lebih daripada apa yang sanggup dilakukan sesama terhadap dirinya.

Mari kita hidup dalam cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan dan sesama. Dengan cara ini, kita dapat membangun suatu persahabatan yang mengutamakan damai. Hidup kita akan menjadi sukacita bagi orang lain. Kita akan mengalami damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

415

Bagikan

20 Juni 2010

Lawan Budaya Kematian dengan Budaya Kehidupan

Beberapa hari yang lalu (Juni 2009), kita dikejutkan oleh tawuran sejumlah siswi SMP di sebuah Taman Rekreasi di Kalimantan. Terjadi duel satu lawan satu. Ada yang pakai rok, ada yang pakai celana panjang. Mereka saling menendang, tarik-tarikan rambut dan berguling-guling di tanah seperti para pegulat. Tragisnya lagi, teman-teman mereka justru bersorak-sorai. Mereka memberikan dukungan kepada teman-temannya yang sedang berkelahi itu.

Banyak yang mengalami memar di wajah. Wajah-wajah yang cantik itu menjadi biru dan lebam. Yang sakit adalah mereka sendiri. Yang malu mereka sendiri. Yang dipertanyaakn oleh banyak orang tentang rasa sopan santun adalah mereka. Semua mata tertuju kepada mereka. Lebih lanjut lagi adalah kebaikan orangtua mereka dipertanyakan. Sekolah mereka juga menjadi obyek tudingan sebagai sekolah yang kurang menanamkan rasa persaudaraan di antara murid-murid.

Kalau dicermati lebih dalam, kondisi seperti ini merupakan cerminan ketidakdewasaan diri. Memang, mereka masih anak-anak yang punya emosi yang meledak-ledak. Mereka masih perlu banyak belajar untuk menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Mereka masih butuhkan bimbingan dari berbagai pihak, agar mereka tidak dikuasai oleh egoisme mereka. Mereka mesti disadarkan bahwa egoisme berlebihan hanya merusak relasi dengan sesama.

Perkelahian massal antarpara pelajar bukan hal yang pertama terjadi. Hal ini sering terjadi di negeri ini. Inilah salah satu bentuk budaya kematian yang sedang melanda dunia. Budaya kematian itu diawali dengan cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Cinta seperti ini kemudian menumbuhkan rasa benci yang mendalam terhadap sesama. Akibatnya, sesama menjadi sasaran kebencian itu. Kawan jadi lawan. Sahabat berubah menjadi musuh bebuyutan.

Kalau budaya kematian ini tidak bisa diubah oleh tekad baik, kita akan tetap menyaksikan suatu situasi yang runyam. Suatu situasi yang mengenaskan yang menghancurkan kehidupan manusia. Lambat laun budaya kematian ini akan meresap ke dalam kehidupan bersama. Lama-kelamaan, orang akan mengiyakan budaya kematian ini. Orang merasa situasi seperti ini sudah menjadi biasa. Menyakiti orang lain sebagai hal yang biasa dan sesuai dengan kehidupan bersama. Kalau ini sampai terjadi, ini suatu tragedi kehidupan manusia. Ini suatu skandal kehidupan manusia.

Karena itu, orang beriman mesti berani memberantas budaya kematian ini sampai ke akar-akarnya. Budaya kematian tidak bisa ditolerir dalam kehidupan bersama. Yang mesti selalu tampil dalam kehidupan bersama adalah budaya kehidupan. Suatu budaya yang selalu memperjuangkan nilai-nilai kehidupan seperti cinta kasih, persaudaraan dan kedamaian.

Mari kita terus-menerus memperjuangkan budaya kehidupan dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, kita mampu membangun suatu hidup yang lebih aman dan tenteram dalam kehidupan bersama. Budaya kehidupan mesti menjadi andalan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

414



Bagikan

19 Juni 2010

Menaati Peraturan untuk Kesejahteraan Bersama


Menurut cerita, salah seorang kaisar Dinasti Ming di Tiongkok berkuasa dengan tangan besi. Setiap orang yang melanggar peraturan kekaisaran akan dihukum dengan berat. Bahkan ia tidak memandang hubungan kekerabatan. Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas peraturan dan hukum, harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Banyak orang mengalami hal ini. Mereka yang melanggar peraturan dan hukum harus menderita.

Menurut banyak orang, peraturan dan hukum yang ketat yang ia berlakukan itu demi kepentingan dirinya sendiri. Tujuannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia akan mengorbankan siapa pun, kalau ia merasa dirinya terancam. Siapa pun yang menentang kebijaksanaannya akan ia lenyapkan.

Meski berkuasa dengan tangan besi, rakyat Tiongkok waktu itu hidup makmur. Mereka dapat merasakan kesejahteraan dan damai. Mereka boleh membangun hidup yang lebih baik. Banyak orang heran terhadap situasi ini. Namun bagi kaisar, kesejahteraan dan langgengnya kekuasaan mesti diimbangi oleh suatu kekuasaan yang keras. Tidak ada kompromi terhadap setiap bentuk ketidaksetiaan.

Tentu saja hukum dan peraturan yang keras seperti ini tidak lagi kita temukan di dunia yang serba maju ini. Kalau toh ada, banyak orang akan menentangnya. Persoalannya adalah setiap produk hukum dan peraturan itu dibuat untuk kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum dan peraturan yang ada. Namun tidak berarti orang hidup seenaknya saja.

Beberapa kasus narkoba yang terjadi di negeri ini berakhir dengan hukuman berat bagi pengedar, pengguna maupun bandar. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu mesti dibuat untuk kepentingan manusia. Mengapa dibutuhkan hukum dan peraturan? Karena manusia membutuhkan hal-hal yang dapat mengatur hidup manusia. Manusia mesti mengikutinya, agar kehidupan bersama dapat berjalan dengan baik.

Kita butuhkan peraturan dan hukum, agar kita dapat memiliki arah hidup yang jelas. Kalau orang tidak menuruti peraturan dan hukum, orang akan mendapatkan akibat negatifnya. Mengapa? Karena hukum dan peraturan itu mengatur tata hidup bersama. Tujuannya untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Karena itu, penyelewengan terhadap peraturan dan hukum hanya menyebabkan penderitaan bagi banyak orang. Kita menyaksikan begitu banyak orang yang menderita, karena korupsi yang dilakukan oleh para pejabat di negeri ini. Gizi buruk yang diderita oleh banyak anak-anak janganlah disalahkan pada orangtua mereka. Tetapi gizi buruk itu sebenarnya akibat dari program pemerintah yang indah-indah itu tidak dijalankan dengan baik. Pemberantasan kemiskinan yang didengung-dengungkan itu hanya suatu kamuflase dari oknum-oknum tertentu untuk kepentingan diri sendiri.

Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa ketika kita melaksanakan peraturan dan hukum dengan baik, kita membawa kehidupan yang sejahtera bagi banyak orang. Orang beriman itu tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Orang beriman selalu memikirkan kebaikan sesama. Orang beriman selalu bertanggungjawab terhadap kehidupan bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

413

Bagikan

18 Juni 2010

Menyadari Keterbatasan Hidup



Seorang anak bercerita tentang maminya yang baik hati. Suatu kali maminya didatangi oleh seorang ibu tua yang miskin. Ia meminta kepada maminya untuk membantu sedikit uang untuk belanja makan. Tanpa pikir panjang, maminya langsung memberikan beras setengah karung yang masih mereka miliki. Ia juga memberikan mie instan, gula dan bahan sembako lainnya.

Melihat hal yang aneh seperti itu, anak itu bertanya kepada ibunya, mengapa ia memberikan semua itu kepada ibu tua yang miskin itu. Ia kuatir akan apa yang akan mereka makan keesokan harinya. Tetapi ibunya mengatakan bahwa ia tidak perlu kuatir akan apa yang akan mereka makan keesokan harinya. Besok punya kesusahan dan kegembiraannya sendiri.

Mendengar kata-kata maminya, anak itu menjadi yakin. Besok pasti ada sesuatu yang dapat mereka makan. Benar. Keesokan harinya, sang mami mendapat kiriman uang dari keluarganya yang tinggal di kota lain. Uang itu bahkan cukup untuk membeli sembako untuk hidup satu bulan.

Banyak orang sering kuatir akan hidup ini. Mereka bingung ketika menghadapi hal-hal yang tidak menentu dalam hidup ini. Akibatnya, mereka mulai mencari solusi pada hal-hal yang tidak masuk akal. Atau orang hanya menunggu apa yang akan terjadi atas dirinya. Orang tidak berani mengambil tindakan yang membantu dirinya keluar dari suatu kesulitan.

Tentu saja hal seperti ini tidak menghasilkan banyak hal untuk mengatasi kesulitan hidup. Orang mesti berusaha keras untuk keluar dari persoalan hidupnya. Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa sebenarnya kita tidak perlu membebani diri dengan kecemasan-kecemasan. Kita mesti membangun keyakinan bahwa hidup ini selalu bergerak terus. Hidup yang bergerak itu memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal yang baik bagi hidupnya.

Apa yang mesti dibuat oleh orang beriman berhadapan dengan kesulitan hidupnya? Orang beriman mesti percaya. Orang beriman mesti membangun iman yang mendalam kepada Tuhan. Artinya, orang mesti mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang tidak bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri. Kita ini manusia yang serba terbatas. Karena itu, bantuan dari Tuhan melalui sesama akan sangat memberikan kita kekuatan dalam mengatasi persoalan hidup kita.

Kisah orang tua yang miskin yang datang meminta bantuan itu menjadi salah satu contoh bagi kita tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan dan sesama. Keterbatasan itu memberi kesempatan kepada kita untuk terbuka terhadap bantuan orang lain. Hal ini menunjukkan suatu kerendahan hati. Orang membiarkan dirinya diintervensi oleh orang lain dalam hal-hal yang baik.

Mari kita terus-menerus membuka hati kita pada bantuan Tuhan dan sesama. Dengan demkian, kita akan menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

412

Bagikan

17 Juni 2010

Ketika Kita Butuhkan Kasih


Suatu hari seorang bapak membawa dua orang anaknya ke pantai. Begitu tiba di pantai, ia memerintahkan kedua anaknya untuk melepaskan pakaian mereka. Ia mengajak mereka untuk mencebur ke dalam laut. Itulah saatnya mereka menikmati hidup. Menikmati indahnya berenang.

Awalnya kedua anaknya itu bingung. Mereka tidak begitu percaya kalau ayah mereka mengajak mereka berenang. Soalnya, baru kali itulah mereka berenang bersama ayah mereka di laut. Namun akhirnya mereka dapat menikmati indahnya berenang di sore hari. Mereka sungguh-sungguh merasakan kedamaian dan ketenteraman. Mereka menyatukan diri mereka dengan alam yang indah itu.

Sambil berenang, salah seorang anaknya berkata kepada ayahnya, “Ayah, hidup seperti ini begitu menyenangkan. Selama ini ayah kurang peduli terhadap kami. Ayah terlalu sibuk bekerja. Seolah-olah kami ini hanyalah tambahan dalam hidup ayah.”

Ayahnya kaget mendengar kata-kata anaknya. Baru kali itu keluhan seperti itu ia dengar. Selama ini, ia merasa bahwa anak-anaknya hidup bahagia. Mereka memiliki segala yang mereka butuhkan untuk hidup mereka. Mereka tidak mengalami kekurangan dalam hidup ini.

Setelah tertegun beberapa saat, ayah itu berkata, “Anakku, ayah membawa kalian berdua ke pantai ini sebagai ungkapan kasih ayah. Ayah tahu kalian merindukan itu.”

Anak itu tersenyum. Hari itu, ia menemukan damai dan sukacita. Kerinduannya terpenuhi. Ternyata ayahnya tetap peduli terhadapnya. Ayahnya tetap mengasihinya.

Setiap orang membutuhkan kasih sayang dari orang-orang yang terdekat. Kasih sayang itu tidak bisa digantikan oleh apa pun termasuk harta kekayaan yang banyak. Harta kekayaan yang banyak tidak mampu membeli kasih. Kasih itu menjadi sesuatu yang istimewa, sesuatu yang unik yang dimiliki oleh manusia.

Karena itu, orang yang hidup tanpa kasih akan mengalami derita dalam hidup ini. orang seperti ini tidak mengalami sukacita dan damai. Orang seperti ini sangat membutuhkan kasih sayang dalam hidupnya. Orang seperti ini mesti mencari dan menemukan kasih yang sesungguhnya dalam hidup ini. Kalau ia sudah menemukannya, ia akan mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya.

Tetapi banyak orang sering kehilangan kasih dalam hidup mereka. Mereka kemudian hidup merana. Tidak ada tujuan hidup yang pasti. Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi hidup ini.

Sebagai orang beriman, kasih kita bersumber dari Tuhan. Tuhan yang telah menciptakan kita mempersenjatai kita dengan kasih. Dengan demikian, kita akan mengalami sukacita dan damai dalam kasih itu. Mari kita mencari dan menemukan kasih kita dalam diri Tuhan. Dialah sumber kasih kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

411


Bagikan

16 Juni 2010

Menggunakan Kesempatan dengan Sebaik-baiknya




Ada seorang pengusaha kentang yang menggarap 16 hektar kebun kentang. Daun-daun kentang sudah menguning. Artinya, kentang harus segera dipanen. Namun penguasa itu masih mau menunggu naiknya harga kentang. Dengan demikian, ia akan mendapatkan hasil yang lebih banyak.

Ketika seorang temannya datang untuk membelinya, ia berkata, “Tunggu dulu. Saya masih ingin menunggu harga yang lebih baik lagi.”

Temannya itu kemudian pulang. Sekitar dua jam sesudah temannya itu pulang, hujan deras menerpa bumi. Hujan itu tidak hanya sebentar. Tidak tanggung-tanggung. Lima jam lebih hujan itu turun. Pengusaha kentang itu sangat kuatir. Kentang-kentang yang masih ada di dalam tanah itu akan membusuk. Pengusaha kentang itu semakin cemas, ketika keesokan harinya hujan kembali turun dengan deras. Hujan yang deras itu hanya berlangsung selama satu jam. Tetapi gerimis terus turun hingga sore hari.

Beberapa hari kemudian, kentang-kentang itu pun membusuk. Pengusaha itu semakin stress. Ia mengalami kerugian yang begitu besar. Ia menyesal atas kesahalannya. Mengapa ia tidak memanen begitu kentang-kentang itu sudah tua? Ia menyayangkan hal itu. Namun nasi sudah menjadi bubur. Menyesali hal yang telah terjadi tidak berguna apa-apa.

Sering orang mengharapkan sesuatu yang lebih besar daripada yang sesungguhnya ada. Orang mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi usaha-usahanya. Meskipun keuntungan yang besar itu kadang-kadang berubah menjadi buntung.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kesempatan untuk meraih untung yang sebesar-besarnya itu datang sekali. Kalau orang tidak menyambut kesempatan itu, orang akan kehilangan apa yang dimilikinya. Untuk itu, orang mesti memiliki kejelian. Orang tidak bisa mengikuti arus jaman. Orang harus benar-benar menghitung berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kesempatan yang kita miliki tidak sia-sia. Tidak hilang begitu saja. Apalagi kesempatan itu adalah rahmat dari Tuhan sendiri. Setiap hari Tuhan memberikan rahmatNya untuk kita. Tidak terhitung banyaknya rahmat Tuhan itu. Namun manusia sering kurang menyadarinya. Manusia lupa bahwa Tuhan begitu baik. Bahkan manusia berdosa melawan Tuhan. Manusia tidak berterima kasih atas rahmat Tuhan itu.

Karena itu, kita butuh kesadaran yang terus-menerus. Kita mesti sadar bahwa hidup kita ini tergantung pada Tuhan. Tanpa Tuhan, kita tidak berdaya. Kesempatan untuk dibimbing dan dilindungi oleh Tuhan itu mesti kita gunakan sebaik-baiknya untuk kelangsungan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

410
Bagikan

15 Juni 2010

Berani Menghadapi Situasi Hidup


Ada seorang pemuda yang sangat aktif dalam berbagai organisasi. Ia rela mengikuti organisasi itu untuk memenuhi keinginan hatinya. Ia ingin tenang dalam hidupnya. Ia ingin, agar ia dapat menemukan kebahagiaan dan damai dalam hidupnya.

Tetapi suatu ketika, ia sangat kecewa terhadap ketua dari sebuah organisasi yang diikutinya. Ia tidak habis pikir, mengapa ketua itu merendahkan dirinya di hadapan orang banyak. Ia pun memutuskan untuk keluar dari organisasi itu. Ia membenci ketua dan pengurus-pengurusnya. Ia tidak suka dengan cara kerja dan cara hidup mereka.

Baginya, organisasi itu tidak memenuhi keinginannya. Hatinya tidak tenang. Damai tidak ia temukan dalam hidupnya. Karena itu, ia menjadi sangat kecewa. Ia tidak mau lagi mengikuti organisasi mana pun. Ia kapok.

Beberapa waktu kemudian, seorang temannya mengajaknya untuk kembali terlibat dalam sebuah organisasi. Tetapi ia tetap menolak. Ia tidak ingin kecewa lagi. Ia tidak ingin disakiti hatinya lagi.

Hidup ini punya banyak warna-warni. Kadang kita mengalami hidup yang enak dan menyenangkan. Tetapi kadang kita mengalami hidup yang kurang menyenangkan. Ada saja hal-hal yang membuat hati kita tidak damai. Mungkin kata-kata orang yang kita rasakan pedas, sehingga menyakitkan hati kita. Mungkin ada yang tidak sengaja menyinggung perasaan kita.

Kalau kita belajar untuk menerima keadaan diri dan keadaan di sekitar kita, tentu kita akan mengalami damai dan bahagia dalam hidup ini. Singgungan-singgungan yang terasa menyengat di telinga kita bisa menjadi suatu semangat yang memacu hidup kita. Kita dapat menjadikannya pemicu untuk membangkitkan semangat hidup kita yang loyo.

Sayang, banyak orang kurang menyadarinya. Banyak orang lebih gampang tersinggung. Banyak orang lebih mudah dikuasai oleh emosi. Akibatnya, hidup menjadi lebih suram. Orang tidak mengalami sukacita dan bahagia dalam hidupnya. Banyak hal negatif dapat terjadi dalam hidup orang seperti ini.

Karena itu, yang mesti dilakukan adalah orang mesti berani menghadapi situasi yang ada. Orang mesti berusaha untuk mengendalikan diri. Orang mesti menggunakan akal sehatnya, agar hidup ini menjadi lebih baik. Kalau orang ingin menemukan kebahagiaan dalam hidup, orang mesti berani berhadapan dengan tantangan hidup. Artinya, orang tidak melarikan diri dari tantangan-tantangan yang ada. Apa pun resikonya, orang mesti berani menghadapinya.

Kita diajak untuk senantiasa berusaha untuk menghadapi hidup ini secara baik dan benar. Kebahagiaan yang kita rajut dalam hidup ini kadang-kadang mengalami tantangan. Orang yang berani menghadapinya biasanya akan menemukan kebahagiaan dan damai dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

1. Sampai sejauh mana keterlibatan Anda dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat?

2. Apa yang mendorong Anda untuk terlibat?

3. Mengapa Anda mau terlibat dalam kehidupan bersama?





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

409

14 Juni 2010

Belajar Memberi dengan Tulus

Suatu hari ada seorang janda miskin yang memasukan sejumlah uang ke dalam kotak persembahan. Ia memberikan apa yang menjadi miliki kepunyaannya. Waktu itu, Yesus menyaksikan peristiwa itu. Ia juga melihat orang-orang kaya yang memberikan uang persembahan dalam jumlah yang banyak.

Lantas Yesus berkata kepada murid-muridNya, “Kalian lihat apa yang diperbuat oleh janda miskin itu? Dia memberikan seluruh yang dimilikinya. Dia juga memberikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Itulah pemberiannya yang terindah. Tidak seperti orang-orang kaya itu.”

Murid-muridNya bingung mendengarkan penjelasan Yesus. Bagi mereka, pemberian yang paling baik adalah pemberian orang-orang kaya itu. Mengapa? Karena dengan cara itu, mereka dapat membantu kebutuhan hidup banyak orang. Namun Yesus tidak setuju dengan apa yang sedang mereka pikirkan. Menurut Yesus, orang-orang kaya itu memberi dari kesombongan mereka. Mereka memberi untuk mendapatkan pujian. Mereka memberi supaya dilihat orang.

Lain dengan pemberian janda miskin itu. Ia memberikan seluruh hidupnya. Ia memberikan seluruh jerih payahnya. Karena itu, Yesus memuji pemberian janda miskin itu. Meski tidak banyak ia memberi persembahan, ia menjadi orang yang berbahagia. Ia memberikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dan Tuhan berkenan kepadanya.

Sering manusia memberi sesuatu kepada orang lain untuk dihormati. Atau orang memberi untuk diberi kembali. Ini yang diistilahkan dengan do ut des: memberi supaya diberi. Tentu saja pemberian seperti ini tidak tulus. Pemberian seperti ini mengandung pamrih, supaya dibalas dengan pemberian pula.

Karena itu, kita mesti belajar untuk memberi dengan tulus, dengan sepenuh hati. Pemberian yang dilakukan dengan tulus biasanya tidak mengharapkan balasannya. Balasan itu akan datang dengan sendirinya, kalau orang memberi dengan hati yang tulus. Pemberian yang didasari oleh rasa pamrih biasanya mengganggu hati dan pikiran orang. Orang selalu berpikir, kapan ia akan mendapatkan kembali apa yang hilang itu.

Sebagai orang beriman, kita mesti terus-menerus belajar untuk memberi dengan hati yang tulus. Mengapa? Karena pemberian yang tulus itu membuat kita bahagia. Kita tidak merasa kehilangan dengan memberi itu. Justru kita dapat bersyukur atas pemberian itu. Orang yang mendapatkan itu akan mengalami sukacita dan bahagia dalam hidupnya. Ia tidak perlu berpikir untuk mengembalikan pemberian itu.

Belajar dari janda miskin dalam kisah tadi, mari kita berusaha untuk senantiasa memberi dengan setulus hati. Dengan demikian, kita juga akan mengalami kebahagiaan dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **
Pertanyaan Refleksi:
1. Apa yang mendorong saya untuk memberi sesuatu kepada sesama yang membutuhkan?
1. Mengapa saya mau memberi sesuatu kepada sesama?

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


408
Bagikan

13 Juni 2010

Belajar Mengasihi dengan Tulus



Suatu hari seorang anak datang kepada ibunya. Ia bertanya, ”Ma, apakah mama masih mencintai saya?”

Mamanya sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Lantas ia bertanya kepada anaknya, ”Kenapa kamu bertanya begitu? Apa kamu merasa bahwa selama ini mama tidak mencintaimu?”

Anak itu menjadi bingung. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah atas pertanyaannya. Ia merasa sedih telah mengajukan pertanyaan seperti itu. Ia meminta maaf kepada mamanya, karena telah meragukan cinta sang mama.

Mamanya memaafkannya. Ia memeluknya dengan dekapan kasih. Suatu dekapan yang menguatkan dirinya. Ia semakin yakin akan kasih sang mama. Hidupnya dipenuhi dengan kegembiraan dan sukacita. Ketika mengalami persoalan, ia cepat-cepat mendatangi mamanya. Ia yakin, mamanya akan membantunya dalam mengatasi setiap persoalan hidup.

Kasih seorang ibu tidak akan pernah putus dalam hidup seorang anak. Meski anak itu tega melupakan kehadiran seorang ibu, sang ibu tidak akan pernah melupakannya. Ia menyayanginya. Ia memberikan kasihnya kepada anaknya itu dengan tulus. Bahkan dalam kondisi seperti itu, seorang ibu yang normal masih tetap mengharapkan yang terbaik bagi anaknya.

Tentu saja kita semua ingin, agar kasih ibu senantiasa menjadi bagian dari hidup kita. Kita ingin agar kita tetap berada bersama kasih seorang ibu. Kita ingin belajar tentang kasih yang tulus dari seorang ibu. Belajar tentang kasih yang tulus itu sangat penting dalam hidup kita. Mengapa? Karena dunia ini semakin menjauhkan kita dari kasih yang tulus itu. Yang kita temukan dalam dunia ini adalah kasih yang palsu. Orang mengasihi hanya untuk mencari kepentingan dirinya sendiri. Orang tidak berani mengasihi untuk kepentingan sesamanya.

Karena itu, belajar mengasih dengan tulus itu suatu panggilan dalam hidup kita. Ketika kita mengasihi sesama dengan hati yang tulus, kita akan menemukan sukacita dan damai. Kita akan mengalami betapa indah kasih yang tulus itu. Kita akan merasakan bahwa Tuhan begitu dekat dalam hidup ini. Tuhan ternyata tidak jauh dari hidup kita. Tuhan ingin agar kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita mesti terus-menerus belajar untuk saling mengasihi dalam hidup ini. Mengapa? Karena kasih itu memampukan kita untuk hidup rukun dan damai dengan sesama. Kasih itu menjadi andalan bagi kita untuk meraih kesuksesan dalam hidup ini. Karena itu, mari kita hidup di dalam kasih yang memberi kita hidup yang lebih baik. Tuhan memberkati. **



Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

1. Masihkah Anda terus-menerus belajar untuk mengasihi dengan tulus?

2. Temukan buah-buah kasih yang tulus dalam diri Anda. Renungkan dalam perspektif hidup bersama.

3. Mengapa Anda mesti mengasihi dengan tulus?





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

407
Bagikan

12 Juni 2010

Mensyukuri Kebaikan Tuhan

Ada seorang janda yang kehilangan putranya. Putranya itu meninggal dalam suatu kecelakaan lalulintas. Ia sangat mengasihi anaknya itu. Ia sangat menderita begitu melihat jenasah putranya. Baginya, putranya itu tumpuan harapan hidupnya. Putranya itu bekerja untuk menghidupi dirinya dan seorang putrinya yang masih sekolah. Tetapi kenapa Tuhan begitu cepat memanggilnya?

Dalam kesedihannya yang mendalam itu, ibu itu akhirnya mau menerima kenyataan itu. Ia harus berpisah dengan putranya. Sekarang ia mesti mengandalkan dirinya sendiri. Ia tidak perlu putus asa. Ia tidak perlu tenggelam dalam kesedihan yang terus-menerus. Ia mesti memasrahkan dirinya pada yang kuasa.

Dengan cara seperti itu, janda itu menemukan kebahagiaan dan sukacita dalam hidupnya. Ia memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha untuk menyejahterakan keluarga. Ia berhasil. Dari usaha sebuah warung kopi yang laris manis, ia berhasil membiayai putrinya sampai perguruan tinggi.

Tentang kesuksesannya itu, ia berkata, ”Ini semua bukan semata-mata karena usaha saya. Ini semua karena rahmat Tuhan. Tuhan begitu baik kepada saya. Tuhan memberikan jalan keluar yang sangat tepat untuk saya. Terima kasih, Tuhan.”

Hidup itu suatu perjuangan. Paling tidak prinsip ini dipegang oleh sejumlah orang untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Menurut mereka, kalau orang tidak mau berusaha dan berjuang, orang akan menjadi manusia biasa-biasa saja. Orang tidak akan menjadi manusia super. Manusia yang istimewa. Karena itu, mereka tidak pernah berhenti berusaha.

Bagi mereka, Tuhan terlibat dalam usaha-usaha itu. Tuhan memberikan tuntunan agar mereka menemukan kebahagiaan dan sukacita dalam hidup ini. Untuk itu, mereka mensyukuri setiap rahmat yang mereka terima dari Tuhan. Mengapa mereka mesti bersyukur? Karena hidup ini milik Tuhan. Apa pun hasil yang mereka peroleh, semua itu milik Tuhan. Manusia hanya dipercaya oleh Tuhan untuk mengelola milik Tuhan itu.

Apa sikap orang beriman terhadap setiap bentuk dari kasih karunia Tuhan? Tidak dapat disangkal bahwa ada orang yang tega menyombongkan kesuksesannya. Ada orang yang merasa bahwa kesuksesan yang dicapainya itu merupakan usahanya sendiri. Karena itu, mereka lupa dari mana asal muasal kesuksesan mereka itu. Biasanya orang yang sombong itu tidak akan lama bertahan. Mereka akan hancur oleh keangkuhan mereka sendiri.

Karena itu, kita mesti memiliki kerendahan hati. Ketika orang rendah hati, orang mampu menerima setiap bentuk kesuksesan yang mereka capai. Bahkan orang mampu menerima setiap kegagalan yang mereka alami. Bagi mereka, hanya Tuhan yang mampu memberi mereka rahmat untuk mengalami kesuksesan dalam hidup ini. Belajar dari janda yang kehilangan putranya itu, mari kita berusaha untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan atas semua kebaikanNya. Tuhan memberkati. **



Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

1. Apakah Anda merasakan keterlibatan Tuhan dalam hidup Anda?

2. Bagaimana Anda mensyukuri kebaikan Tuhan dalam hidup Anda?

3. Mengapa Anda mesti mensyukuri kebaikan Tuhan itu?



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

406



Bagikan

11 Juni 2010

Mendidik Hati yang Mudah Tergerak


Suatu hari seorang gadis kecil merasa lapar sekali. Ia berusaha untuk menahannya, tetapi tidak bisa. Tidak lama kemudian ia menangis. Ia berteriak-teriak minta tolong. Suara teriakannya terdengar oleh tetangganya.

Cepat-cepat tetangganya itu mendatanginya. Ia membawakan beberapa roti dan air bagi anak itu. Gadis itu sangat gembira melihat roti dan air itu. Ia langsung melahapnya. Ia memakan semua roti dan minum air itu sampai habis. Tidak ada yang tersisa.

Ketika ditanya oleh tetangganya, mengapa ia kelaparan, ia menjawab, “Orangtua saya meninggalkan saya sendirian tanpa makanan. Sudah dua hari mereka pergi entah ke mana. Saya belum bisa masak.”

Tetangga itu merasa sedih mendengar jawaban gadis itu. Ia pun mengajak gadis kecil itu untuk tinggal bersamanya sambil menunggu kedua orangtuanya pulang. Gadis kecil itu menurut saja ajakan tetangganya itu. Ia boleh merasakan kasih dari tetangga itu. Ia boleh menikmati makanan yang lezat. Bagi gadis kecil itu, perbuatan tetangga itu merupakan suatu tindakan kemanusiaan yang paling indah. Ia boleh mengalami sukacita dalam hidupnya.

Pernahkah Anda mengalami sukacita ketika dibantu oleh orang lain? Di saat-saat Anda mengalami kesulitan dalam hidup ini, apa yang paling Anda butuhkan? Tentu saja yang paling Anda butuhkan adalah perhatian dari sesama. Suatu perhatian penuh cinta yang diberikan sesama kepada Anda. Suatu perhatian, entah besar atau kecil, ternyata sungguh-sungguh memiliki makna yang sangat indah bagi hidup ini.

Bayangkanlah bahwa Tuhan itu seperti tetangga yang punya kepedulian terhadap gadis kecil yang kelaparan itu. Tuhan tentu saja akan merasa sedih mendengar ciptaanNya mengalami kesulitan dalam hidup ini. Tuhan tidak akan segan-segan membantu manusia. Tuhan ingin agar manusia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita tentu mau agar kita terlibat dalam suka dan duka hidup sesama kita. Kita ingin mengulurkan tangan kita kepada mereka yang mengalami dukacita dalam hidup mereka. Mungkin di sekitar kita ada orang yang sedang mengalami derita karena lapar. Mungkin juga ada yang menderita karena dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya. Mungkin ada yang merasa bahwa hidup ini tidak begitu bermakna. Situasi seperti ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memberikan perhatian kepada sesama kita. Kita diundang untuk peduli terhadap sesama kita.

Karena itu, kita butuh suatu kepedulian yang mendalam terhadap sesama kita. Hati yang peduli itu tentu saja tidak datang dengan sendirinya. Hati yang peduli itu mesti dipupuk terus-menerus. Kita perlu mendidik hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan terhadap sesama yang menderita. Tuhan memberkati. **

Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

1. Apakah hati Anda mudah tergerak oleh penderitaan sesama?

2. Mengapa Anda mudah (atau tidak mudah) tergerak oleh penderitaan sesama?

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


405

Bagikan

10 Juni 2010

Menaruh Harapan pada Tuhan


Ada seorang yang buta sejak usia 15 tahun. Ia sempat menikmati indahnya alam sekitar. Ia mengalami penurunan penglihatannya ketika berusia sepuluh tahun. Baru ketika berusia 15 tahun, ia tidak bisa melihat secara total. Meski buta, ia tetap memiliki suatu pengharapan bahwa suatu ketika ia akan dapat melihat lagi. Karena itu, ia tidak pernah putus berada dalam pengharaoan seperti itu. Bahkan ia bertambah semangat dalam meniti hari-hari hidupnya.

Di mana harapan itu ia letakkan? Menurut pengakuannya, ia letakkan harapannya pada Tuhan. Ia masih berharap bahwa suatu ketika terjadi mukjizat atas dirinya. Dan yang hanya dapat membuat mukjizat adalah Tuhan. Karena itu, ia menyiapkan hatinya sebaik-baiknya, agar mukjizat dapat terjadi atas dirinya.

Suatu hari, seorang temannya datang mengunjunginya. Teman itu sangat menaruh rasa simpatik padanya. Ia sedih menyaksikan sahabatnya itu mengalami penderitaan itu. Namun si buta itu berkata, “Teman, Anda tidak perlu sedih melihat penderitaan saya. Saya bahkan tidak menderita sedikit pun. Saya punya harapan bahwa suatu ketika Tuhan akan menyembuhkan saya. Saya yakin, Tuhan yang mampu melakukan semua itu.”

Temannya ia bertanya, “Seandainya mukjizat itu tidak terjadi, apa kamu masih percaya kepada Tuhan?”

Tanpa pikir panjang, si buta itu berkata, “Tentu saja. Tuhan toh tidak hanya membuat mukjizat penyembuhan. Tuhan juga begitu dekat dengan saya. Tuhan melindungi saya setiap hari. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan Tuhan.”

Inilah pengalaman iman manusia akan Tuhan yang begitu baik kepada manusia. Tuhan yang menciptakan manusia itu tidak akan membiarkan ciptaanNya musnah. Tuhan senantiasa melindungi dan memberikan yang terbaik bagi manusia. Inilah keyakinan yang mesti selalu dipegang teguh dalam perjalanan hidup manusia.

Mengapa persoalan-persoalan selalu menjadi bagian dari orang yang kurang percaya? Karena Tuhan dijauhkan dari hidup mereka. Mereka kurang punya pengharapan akan Tuhan yang begitu baik dan murah hati. Tuhan telah memberi segala sesuatu yang kita butuhkan dalam hidup ini. Tetapi manusia seringkali menggerutu, ketika terjadi sesuatu yang kurang baik atas dirinya. Manusia kurang percaya kepada Tuhan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa ketergantungan kita kepada Tuhan menjadi suatu kemutlakkan. Orang beriman itu orang yang senantiasa menaruh harapannya pada Tuhan. Orang beriman itu orang yang senantiasa menyerahkan seluruh hidupnya kepada penyelenggaraan Tuhan.
Karena itu, kita diajak untuk senantiasa menaruh harapan kita pada Tuhan. Kita mesti yakin dan percaya bahwa hanya Tuhan yang menyelenggarakan hidup ini bagi kita. Suka dan duka yang kita alami mesti membawa kita pada iman yang benar dan tulus kepada Tuhan. Mari kita hidup dalam pengharapan akan Tuhan. Dengan demikian, hanya Tuhanlah tumpuan hidup kita. Tuhan memberkati. **

Pertanyaan-Pertanyaan Refleksi:
1. Dalam terang iman, siapa harapan hidup Anda?
2. Sampai sejauh mana Anda menaruh harapan padanya?
3. Mengapa Anda berani menaruh harapan padanya?



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



404

Bagikan

09 Juni 2010

Menyadari Hadirnya Tuhan dalam Hidup


Suatu hari seorang gadis menyusuri tepi sebuah danau. Ia begitu terpesona oleh alam yang begitu indah. Burung-burung yang beterbangan menjadi suatu pemandangan yang indah baginya. Sementara ikan-ikan yang berenang kian ke mari memberinya inspirasi tentang betapa Tuhan begitu mengasihi manusia. Ia pun ingin menikmati keindahan sore itu.

Ia berkata, “Tuhan begitu baik kepada manusia. Tuhan memberikan keindahan bagi hidup manusia. Tuhan sungguh-sungguh hidup dalam diri manusia.”

Namun yang membuat ia heran adalah mengapa masih saja ada kekerasan dalam hidup ini. Mengapa manusia kurang saling menghargai? Mengapa selalu ada benci dan dendam dalam hidup manusia? Mengapa manusia mengalami penderitaan dalam hidup ini? Mengapa ada orang yang hidup tidak sesuai dengan ajaran Tuhan?

Namun gadis itu tetap yakin bahwa kebaikan Tuhan tak terbatas. Kebaikan Tuhan itu ia rasakan sendiri dalam perjalanan hidupnya sehari-hari. Karena itu, ia tetap menaruh harapan pada Tuhan atas setiap suka dan duka dalam hidupnya. Ia menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam kuasa Tuhan. Ketika ia mengalami penderitaan dalam hidupnya, ia tidak menyalahkan Tuhan. Ia tidak membenci Tuhan. Justru ia semakin memberikan hidupnya kepada kuasa Tuhan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang yang begitu mudah melimpahkan kekesalan hidup pada Tuhan atau orang lain. Istilahnya adalah lempar batu sembunyi tangan. Orang tidak mau bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Kesalahan yang dibuatnya sendiri, tetapi Tuhan atau orang lain menjadi sasaran tembak. Benarkah hal ini?

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan begitu baik. Tuhan yang menciptakan manusia itu tetap melindungi manusia. Tuhan tidak ingin membuat hidup manusia itu celaka. Karena itu, apa yang mesti dilakukan manusia adalah sikap syukur atas kebaikan Tuhan itu.

Artinya, manusia mesti senantiasa bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Perbuatan baik atau buruk yang telah dilakukan itu mesti berada di bawah tanggung jawabnya. Bukan hanya mau menikmati perbuatan yang baik, tetapi menolak bertanggungjawab ketika mengalami penderitaan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa bertanggung jawan atas apa yang kita perbuat. Lempar batu sembunyi tangan bukan cara hidup orang beriman. Orang beriman mesti senantiasa menunjukkan dalam hidupnya bahwa Tuhan mengasihinya. Tuhan tidak pernah meninggalkannya berjuang sendirian di dunia ini.

Mari kita berusaha untuk senantiasa menemukan kebaikan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat meneruskan perjalanan hidup ini dengan baik. Kita yakin bahwa Tuhan akan tetap terlibat dalam hidup ini. Karena itu, kita mesti selalu membuka hati kita lebar-lebar bagi hadirnya Tuhan dalam hidup kita. Kita mesti menyerahkan hidup ke dalam kuasa Tuhan, sehingga kita dapat mengalami sukacita dan bahagia dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Pertanyaan Refleksi:

1. Mengapa Tuhan kurang Anda rasakan hadir dalam diri Anda?

2. Apa mesti Anda buat agar Tuhan dapat Anda temukan dalam hidup Anda sehari-hari?



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

403


Bagikan

08 Juni 2010

Kasih Ubah Tingkah Laku yang Buruk



Ada seorang anak yang sangat nakal. Ia juga tidak hormat terhadap siapa pun. Orangtuanya sangat resah menyaksikan keadaan anaknya ini. Suatu hari, anak itu mengalami kecelakaan lalulintas. Motor yang dikendarainya menabrak pohon. Kedua kakinya patah. Tangan kanannya pun patah. Sementara matanya memar. Ia sangat menderita.

Ketika sang ayah tiba di rumah sakit, ia hampir tidak bisa berkata apa-apa. Perasaannya bercampur aduk antara marah dan kasihan. Tetapi ia mesti mengambil tindakan tegas atas perbuatan anaknya itu. Baginya, peristiwa itu sebagai akibat dari tingkah laku anaknya selama ini.

Namun sepercik kasih masih ada dalam batin sang ayah. Ia masih memberi kesempatan kepada anaknya untuk memperbaiki hidupnya. Baginya, pertobatan selalu ada dalam diri anaknya itu. Karena itu, ia mesti menciptakan situasi agar anaknya itu dapat menyadari keadaan dirinya.

Setelah menyelesaikan perawatan di rumah sakit, anak itu boleh mengalami suasana yang penuh kasih di tengah-tengah keluarganya. Ia pun berjanji untuk tidak nakal lagi. Ia berjanji untuk selalu menghormati orang lain dalam hidupnya.

Sering orang merasa bahwa orang dapat mengubah tingkah laku kurang baik seseorang dalam waktu sekejap. Tentu saja hal ini tidak mungkin. Manusia itu hidup dalam suatu proses. Karena itu, mengubah tingkah laku seseorang pun mesti melalui suatu proses.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa perubahan itu dapat terjadi berkat kasih setia yang begitu mendalam. Tanpa kasih, orang akan tetap berada dalam tingkah laku jeleknya. Orang disadarkan bahwa hidup manusia itu memiliki dimensi rohani yang mesti dipupuk terus-menerus. Dimensi rohani itu akan membantu manusia dalam menjalani hidup ini.

Bagi orang beriman, kasih yang mendalam itu dimiliki oleh Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan itu sumber kehidupan manusia. Tuhan menciptakan manusia, karena Tuhan mengasihi manusia. Tuhan peduli terhadap ciptaan itu dengan memeliharanya. Karena itu, Tuhan ingin agar manusia menghidupi kasih itu dalam hidup sehari-hari. Ketika manusia menghidupi dan memelihara kasih, sebenarnya manusia mengakui Tuhan sebagai sumber hidup manusia.

Mari kita terus-menerus menumbuhkembangkan kasih dalam hidup sehari-hari. Dengan kasih itu, kita dapat meneruskan perjalanan hidup ini. Kita dapat membagikan kasih itu kepada sesama kita. Kita dapat menularkan kasih yang kita miliki kepada sesama kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu kebahagiaan bagi sesama kita. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

402
Bagikan

07 Juni 2010

Pilih Harta atau Kasih



Ada dua orang anak yang sedang memperebutkan harta warisan orangtuanya. Tidak ada yang mau mengalah. Mereka sama-sama merasa punya hak atas harta warisan itu. Mereka pun saling menuduh telah melakukan kecurangan atas harta orangtua mereka. Sewaktu ayah mereka masih hidup, tidak ada persoalan pembagian harta warisan. Mereka baik-baik saja.

Pertengkaran terus terjadi. Mereka tidak peduli bahwa sang mama masih hidup di tengah-tengah mereka. Apa yang terjadi setelah sang mama mendengar pertengkaran mereka? Sang mama merasa sedih. Ia tidak habis pikir mengapa dua orang anak yang sangat disayanginya itu melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji.

Hatinya terasa perih seolah disayat sembilu. Hampir setiap hari sang mama menitikkan air matanya. Tetapi kedua anaknya itu tidak peduli. Mereka terus saja bertengkar. Seolah-olah mereka sudah kehilangan kesadaran hati nurani.

Perebutan harta warisan itu pun berakhir dengan darah. Keduanya saling membunuh. Untung, keduanya masih bisa bernafas. Tindakan brutal keduanya itu tidak mendatangkan keuntungan apa-apa. Bahkan yang semakin mengalami duka adalah sang mama. Ia mesti merawat keduanya yang mendekam di rumah sakit.

Untung, kasih sang mama tidak pernah lekang oleh situasi kedua anaknya. Ia tetap menyayangi mereka berdua. Ia tetap menerima kehadiran mereka. Kasih itu memberikan kekuatan kepada kedua anaknya itu. Dengan demikian, keduanya pun akhirnya menjadi sadar. Setelah sembuh, mereka pun berdamai. Mereka tidak mau lagi bertengkar karena harta warisan itu.

Harta kekayaan bisa membawa penderitaan dalam hidup manusia. Hal itu bisa terjadi kalau manusia tidak menggunakan harta kekayaan itu untuk membangun kehidupan bersama. Harta kekayaan yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri ternyata menyebabkan dukacita yang mendalam. Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa harta kekayaan mesti digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama. Kesejahteraan mesti menjadi hal yang utama dalam kehidupan manusia.

Kasih mesti mengatasi semuanya. Kasih mesti menjadi andalan hidup manusia. Bukan harta kekayaan. Dalam di atas, kasih yang tulus dari sang mama dapat membangun kembali relasi yang putus dari kedua anaknya. Kasih setia itu begitu indah.

Sebagai orang beriman, apa yang Anda andalkan dalam hidup ini? Apakah harta kekayaan yang Anda miliki itu menjadi andalan dalam membangun hidup yang lebih baik? Atau kasih yang semestinya menjadi semangat hidup Anda? Orang beriman adalah orang yang selalu mengandalkan kasih setia di atas segala-galanya. Bagi orang beriman, kasih yang tulus menjadi kekuatan yang memberi semangat hidup manusia. Kasih itu mesti diasah dalam hidup sehari-hari. Kasih itu mesti dipupuk terus-menerus. Dengan demikian, hidup yang lebih baik akan tercipta dalam hidup sehari-hari.

Mari kita mengandalkan kasih di atas segala-galanya, karena Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kita. Dengan kasih itu, kita dapat menikmati kebahagiaan dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

401
Bagikan

06 Juni 2010

Kemauan dan Kerja Keras

Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang pemuda desa. Di belakang rumah pemuda ini terdapat dua hektar pohon karet. Sekitar jam lima pagi ia sudah mulai menderes karet. Ia baru berhenti, ketika jam menunjuk angka delapan.

“Inilah gaya hidup saya. Ini sudah menjadi bagian hidup saya. Saya tidak tahu kapan saya akan berhenti melakukan ini,” kata pemuda itu.

Hasil deresan karetnya lumayan. Ia bisa menghidupi kedua orangtuanya yang sudah tua renta. Dua orang adiknya ia biaya kuliahnya di perguruan tinggi. “Saya sudah melakukan pekerjaan ini sejak saya masih duduk di bangku SD kelas empat. Jadi bukan hal baru lagi bagi saya,” kata pemuda itu.

Ia mengaku, ia mengambil alih pekerjaan ayahnya ketika ia berusia lima belas tahun. Ketika itu ayahnya jatuh sakit. Ayahnya tidak bisa bekerja lagi. Sedangkan kedua kakaknya sudah duduk di bangku SMA. Mereka butuh biaya untuk studi lanjut. Jadilah ia berkorban untuk kehidupan keluarganya. Ia pun mulai berkelahi dengan waktu. Bangun pagi-pagi ketika teman-teman sebayanya masih menikmati tidur.

“Yah, mau apalagi?! Saya harus berkorban. Saya tidak sekolah tinggi-tinggi tidak apa-apa. Yang penting kedua kakak saya itu punya masa depan yang baik. Masa depan saya, ya di pohon-pohon karet ini,” kata pemuda itu dengan suara yang tegar.

Pemuda itu tidak punya rasa sesal atas apa yang ia lakukan. Bahkan ia merasa bangga. Pengorbanannya tidak sia-sia. Kedua kakaknya memiliki pekerjaan yang baik untuk membangun masa depan mereka. Meski mereka jarang pulang ke kampung, ia selalu membanggakan mereka. Kadang-kadang mereka mengirim uang untuk biaya tambahan bagi kedua orangtua mereka.

Menurut pemuda itu, kunci dari kesuksesannya adalah kemauan dan kerja keras. “Kalau kita mau bekerja keras, Tuhan pasti beri jalan. Bekerja keras itu bagian dari iman. Percuma orang beriman, tetapi malas-malasan dan mudah putus asa,” kata pemuda itu dengan suara yang mantap.

Kemauan dan kerja keras merupakan kunci keberhasilan. Siapa pun yang ingin memetik buah-buah kesuksesan, dia mesti rela menyingsingkan lengan baju. Darahnya mesti ia relakan untuk dihisap nyamuk-nyamuk.

Setiap hari kita bekerja keras untuk hidup kita. Mungkin ada yang sudah memetik hasil dari kerja kerasnya itu. Ada yang belum. Semua itu mau kita syukuri, karena Tuhan senantiasa menyertai mereka yang mau berjuang untuk hidupnya dan hidup sesama. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

399

Bagikan

05 Juni 2010

Tidak Berhenti Berjuang



Ada seorang pendaki gunung yang berusaha memaknai hidupnya dari perjuangan yang ia lakukan. Hampir seluruh waktu dalam hidupnya dipakai untuk menaklukkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, hanya untuk melihat pemandangan yang indah. Ia pernah mendaki gunung Kilimajaro di Afrika. Ia pernah mendaki Puncak Everest. Ia juga pernah menikmati indahnya salju abadi di Puncak Jaya. Menurutnya, semakinn tinggi gunung yang dia taklukkan, semakin indah pemandangan yang ia dapatkan.

Ketika berada di puncak Kilimanjaro, ia merasa itulah gunung tertinggi yang pernah ia hadapi. Dalam hatinya ada ketakutan, hal yang selalu datang dalam hatinya setiap akan mendaki sebuah gunung. Seperti biasa, ia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa cukup tenang, ia mulai melangkahkan kaki, selangkah demi selangkah. Mendaki gunung yang akan menghadiahi dia banyak tantangan dengan bekal seadanya.

Tidak terasa, ia sudah mendaki seperempat dari gunung tersebut. Ia melihat sejenak ke belakang, jalan yang sudah ia lalui. Dalam pikirannya, dia berkata, "Ah, masih belum jauh." Sambil terus melangkahkan kakinya. Sampai langkahnya harus terhenti oleh seekor ular yang berjalan di hadapannya. Sesaat ia panik. Ia ingin menghindar. Namun, sedikit gerakan tubuhnya, menyadarkan ular tersebut akan kehadirannya di sekitarnya. Ular tersebut memandang dia yang sedang berusaha tenang. Ternyata ketenangannya akhirnya membuat ular tersebut pergi.

Ia melanjutkan perjalanannya dengan sisa bekal yang masih ada. Ketegangan karena ular tadi cukup membuat ia kehilangan tenaga. Kini ia sampai di posisi tengah dari gunung tersebut. Saat ia sadar akan posisinya, ada ketakutan muncul kembali dalam hatinya. Betapa jauh dan terjalnya jalan yang sudah ia lalui dan yang masih akan dia jalani. Bekal sudah sangat menipis. Ia takut akan mati di tengah jalan. Sesaat kembali ia duduk dan mengumpulkan semangat. Ia kembali pada motivasinya. Setelah yakin, ia kembali melangkah. Dia mulai dapat melihat pemandangan yang indah namun masih buram.

Sampailah ia pada tiga per empat bagian gunung itu. Ada pemandangan yang sangat mengerikan. Terdapat beberapa tulang belulang manusia di sana yang mungkin tewas saat mendaki gunung tersebut. Segera ia membuka bekal. Ia sangat terkejut. Tinggal sepotong roti. Pikirannya terguncang. Ia takut akan kematian. Namun saat memandang ke bawah, ia sadar, sudah terlalu jauh melangkah. Saat memandang sekelilingnya, ia mulai melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat, namun masih buram. Dan saat ia memandang ke atas, dia sadar, tinggal beberapa langkah lagi. Segera ia menghabiskan roti itu, dan dengan tekad bulat memutuskan untuk mendaki gunung tersebut sampai tuntas.

Langkah-langkahnya terus bergantian, walau lelah sudah tak terkatakan lagi. Ia terus berusaha, walau terjatuh beberapa kali. Naik, naik, dan terus naik. Sampai ia melihat sebuah hamparan tanah datar dan ia kembali terjatuh. Jatuh dan tak sanggup untuk bangun lagi. Ia mencoba membuka mata dan melihat pemandangan yang sangat indah dan jelas. Keindahan dunia di bawah sana. Warna-warni yang dihasilkan dengan sangat harmonis oleh alam. Ia sampai di puncak gunung. Gunung tersebut telah takluk. Ia mengucap syukur. Dengan sikap pasrah, ia menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kelelahannya pada Sang Pencipta. Dia mati. Mati dalam kepuasan hidup. Mati dalam pengertian akan perjuangan hidup dan warna-warni kehidupan. Debu dan tanah gunung menjadi selimut untuk tidur panjangnya. Eidelways sebagai hiasan dan batu gunung sebagai batu nisannya.

Inilah gambaran kehidupan yang akan, sedang, dan mungkin yang seharusnya kita alami. Kita mesti tetap berusaha walau banyak rintangan yang mesti kita hadapi. Kita mesti yakin pada tujuan hidup kita. Kita mesti percaya bahwa setiap perjuangan akan membawa hasil. Sehingga kita pun dapat menghargai hidup kita dan semakin percaya bahwa Tuhan akan selalu ada dalam hidup kita.

Mari kita bawa seluruh perjuangan hidup kita kepada Tuhan. Suatu perjuangan yang penuh makna. Kita ingin satukan seluruh perjuangan hidup kita hari ini dengan tekad baru yang akan kita bangun di hari-hari mendatang. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




400
Bagikan