Pages

30 September 2010

Belajar untuk Fokus pada Tugas





Suatu hari seorang majikan menghukum bawahannya. Soalnya adalah bawahannya tidak melaksanakan tugasnya dengan cermat. Sudah berkali-kali ia memberi tahu bawahannya itu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun tetap saja bawahannya itu tidak dapat melaksanakannya. Padahal tugas yang harus dilaksanakannya termasuk tugas yang sangat penting.

Karena itu, sang majikan menjadi bingung. Sang majikan terpaksa mengambil tindakan dengan menghukum bawahannya itu. Tujuannya agar bawahannya dapat mengarahkan perhatiannya pada tugasnya. Ia mesti fokus pada pekerjaannya. Tidak boleh lagi melakukan kesalahan untuk suatu pekerjaan yang sangat penting.

Hasilnya? Setelah menjalani hukuman itu, bawahan itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia lebih bertanggung jawab atas apa yang menjadi tugasnya. Ia lebih fokus pada pekerjaannya. Hatinya tidak lagi tertuju pada hal-hal lain. Ia bertumbuh menjadi bawahan yang sungguh-sungguh bertanggung jawab atas tugas-tugasnya. Yang senang bukan hanya majikannya. Namun ternyata ia juga menemukan kebahagiaan dalam melaksanakan tugasnya.

Sahabat, banyak orang kurang fokus pada tugas dan pekerjaannya. Akibatnya, pekerjaan dapat terbengkalai. Pekerjaan yang semestinya diselesaikan dalam waktu yang singkat, akhirnya mesti diselesaikan dalam waktu yang panjang dan lama. Orang akhirnya tergesa-gesa menyelesaikannya. Hasilnya tidak maksimal.

Apa yang mesti dilakukan? Mungkin kita mesti menghukum diri kita sendiri. Dengan demikian, kita dapat memusatkan perhatian kita pada pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita.

Soalnya adalah banyak orang ingin memanjakan dirinya. Padahal mereka selalu menginginkan hasil yang maksimal dalam pekerjaan mereka. Mereka ingin sukses dalam hidup mereka. Karena itu, orang mesti berani mempertarungkan segala kemampuannya untuk meraih keinginannya. Termasuk berani memberikan hukuman atas dirinya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk fokus pada apa yang kita lakukan. Mengapa? Karena pekerjaan yang kita miliki itu pemberian dari Tuhan. Hidup kita ini dipenuhi dengan rahmat demi rahmat yang mesti menjadi bagian yang memberi semangat bagi hidup kita. Kalau kita tidak menyadari bahwa apa yang kita miliki itu pemberian dari Tuhan, kita akan kurang menghargainya.

Karena itu, mari kita belajar untuk terus-menerus memusatkan perhatian kita pada tugas-tugas kita. Kalau kita melaksanakannya dengan baik, kita akan diberi tanggung jawab yang lebih besar. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

514

29 September 2010

Menyadari Pentingnya Lingkungan Hidup






Kabut asap menyelimuti Kota Palembang sejak subuh tadi pagi (10/9/2009). Selain mengganggu pernafasan, kabut ini juga membuat jarak pandang menjadi terganggu, hanya berkisar 500 meter. Sementara itu, beberapa hari terakhir ini kabut asap juga mengganggu penerbangan. Pesawat-pesawat yang akan mendarat di bandara Sultan Mahmud Badaarudin II Palembang mesti menunggu sampai menemukan sela untuk bisa mendarat. Akibatnya, pesawat-pesawat tersebut mesti berputar-putar di atas Kota Palembang.

Seorang penumpang mengatakan bahwa asap itu telah membuat penerbangan menjadi lebih lama, yaitu satu jam lebih. Semestinya penerbangan dari Jakarta ke Palembang hanya memakan waktu 50 menit. Di darat pun jarak pandang menjadi terganggu. Seorang penumpang sebuah bus mengatakan bahwa bus yang ditumpangi tidak berani melaju dengan cepat. Soalnya, jarak pandang hanya sekitar 50 hingga 100 meter saja.

Ia berkata, “Bus kami berjalan merayap, jarak pandang sekitar 50-100 meter. Apalagi di jalan begitu banyak motor, sehingga bus terlambat tiba.”

Sahabat, sepertinya asap bukan lagi sesuatu yang aneh. Setiap tahun kabut asap senantiasa mengganggu kehidupan manusia. Mengapa bisa terjadi? Kata orang, ada asap pasti ada apinya. Bukan hal yang aneh lagi kalau Indonesia tidak diselimuti asap pada musim kemarau. Hari-hari ini di wilayah Pekanbaru dan sekitarnya banyak sekolah diliburkan, karena asap.

Soalnya, mengapa terjadi asap? Asap terjadi karena pembakaran. Asap mengepul dan menyelimuti dunia ini, karena ada tangan-tangan yang menyulutkan api ke hutan-hutan. Ada orang yang tidak mau susah-susah membuka hutan untuk perkebunan atau perladangan. Hutan belantara yang semestinya menjadi tempat yang nyaman, kini berubah menjadi tempat yang menakutkan. Hutan sudah habis dilalap si jago merah. Yang tersisa hanya asap yang menyebar ke berbagai tempat mengganggu kehidupan manusia.

Apa yang mesti dibuat oleh manusia? Yang mesti dibuat pertama-tama adalah kesadaran diri. Manusia mesti mulai sadar bahwa alam ciptaan ini adalah bagian dari kehidupan manusia. Membinasakan alam ciptaan ini sama dengan membinasakan diri manusia sendiri. Alam sekitar kita menjaga keseimbangan iklim dunia ini. Kalau kita kehilangan hutan, kita juga akan kehilangan banyak oksigen yang memberi hidup kepada manusia.

Hal kedua yang mesti dibuat manusia adalah menjaga, agar alam lingkungan ini tidak dirusak begitu saja. Manusia memang membutuhkan hal-hal untuk kehidupannya. Namun tidak berarti manusia dengan semena-mena menghancurkan alam sekitarnya. Manusia mesti bersikap cerdas dan bijaksana, agar alam ciptaan ini menjadi suatu kekayaan yang berguna bagi kehidupan manusia.

Hal ketiga yang mesti dibuat adalah melestarikan alam lingkungan. Artinya, manusia mesti menanam kembali hutan yang sudah lenyap. Manusia mesti berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan hutan yang sudah punah itu. Tentu saja hal ini tidak mudah. Ada banyak tantangan yang mesti dihadapi. Namun kalau manusia mau berusaha, akan ada hasil yang berguna bagi kehidupan manusia. Mari kita berusaha untuk menghentikan pemusnahan alam lingkungan di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

512

28 September 2010

Berusaha Hidup Apa Adanya


Ada seorang anak yang hidupnya bersahaja. Padahal ia anak seorang pedagang yang kaya raya di kotanya. Ia ingin hidup apa adanya seperti teman-temannya yang lain. Ia mau berjalan kaki menuju sekolahnya. Ia tidak mau dianjar oleh orangtua atau pembantunya. Ia ingin berusaha untuk menghayati hidup ini dengan sungguh-sungguh.

Bagi anak itu, semua harta kekayaan ayahnya adalah anugerah dari Tuhan. Jadi tidak perlu ia menonjol-nonjolkan harta kekayaan itu. Ia berkata, ”Harta kekayaan itu dapat saja hilang dalam waktu yang singkat. Jadi saya tidak perlu mengandalkan harta kekayaan itu. Cukuplah saya menggunakannya untuk kemajuan diri saya dan sesama saya.”

Orangtuanya sampai heran melihat sikap anaknya. Kalau saja ia mau memiliki apa saja, tentu orangtuanya akan memenuhinya. Namun ia tidak mau. Yang ia inginkan adalah ia membangun persahabatan dengan semua orang. Karena itu, ia ingin tampil apa adanya. Ia mau agar teman-temannya tidak segan bergaul dengannya. Ia ingin agar tidak ada perbedaan antara yang miskin dan kaya. Semua manusia itu sama di hadapan Tuhan.

Sahabat, tentu saja semangat seperti ini menjadi suatu keutamaan yang mesti dikejar oleh setiap manusia. Mengapa? Karena ketika orang berani mengalahkan kepentingan dirinya sendiri, ia akan menemukan begitu banyak hal baik dalam hidupnya. Ia tidak perlu bersusah payah mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Semua sudah tersedia baginya.

Soalnya adalah gengsi sering membutakan hati manusia. Karena dorongan untuk sama dengan orang lain, orang berusaha untuk memenuhi dirinya dengan apa saja. Padahal sebenarnya orang tidak mampu mencukupi dirinya sendiri. Orang mesti hidup apa adanya. Orang tidak perlu dibuai oleh gengsi.

Ada orang mengatakan bahwa gengsi itu mahal. Kok bisa? Karena demi gengsi orang rela mengumpulkan apa saja untuk dirinya sendiri. Orang berani menghiasi dirinya dengan hal-hal yang mahal. Orang ingin menyamai sesamanya. Tidak cukup orang hidup sesuai dengan apa yang dimilikinya. Tentu saja sikap seperti ini akan membahayakan diri sendiri. Orang berusaha sekuat tenaga untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin dikejarnya.

Kisah tadi menunjukkan kepada kita bahwa hidup apa adanya itu membantu orang untuk menemukan dan mengerti tentang dirinya sendiri. Orang dapat membangun sesuatu yang bernilai tinggi tanpa harus mengandalkan harta kekayaan yang dapat binasa. Orang dapat membangun persahabatan yang seluas-luasnya dengan tampil apa adanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk berani mengambil langkah yang baik dalam hidup ini. Langkah yang baik itu adalah hidup apa adanya. Kita tidak perlu tergoda oleh gengsi yang sering menggerogoti hidup manusia. Dengan demikian, kita dapat membangun suatu persahabatan dengan semua orang. Kita dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

511

27 September 2010

Memberikan Tanggapan yang Positif terhadap Sesama

Seorang bapak selalu memberikan tanggapan yang positif terhadap hal-hal yang dilakukan oleh anak-anaknya. Menurutnya, tanggapan positif itu membantu anak-anaknya untuk bertumbuh dengan lebih baik. Namun tidak berarti ia begitu toleran terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan anak-anaknya. Ia tetap kritis terhadap mereka.

Ketika anak-anaknya itu melakukan hal-hal yang baik, ia selalu memberikan tanggapan yang positif. Ia tidak segan-segan memberikan pujian-pujian kepada mereka. Hasilnya? Anak-anaknya bertumbuh menjadi anak-anak yang baik. Mereka memiliki sopan santun yang baik. Mereka memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap sesamanya. Mereka juga memiliki prestasi yang tinggi di sekolah, karena mereka mendapat semangat dari sang bapak.

Dengan kondisi seperti itu, semua anaknya meraih cita-cita mereka. Mereka hidup dengan jujur dan damai dengan semua orang. Ketika ditanya tentang sikapnya, bapak itu menjawab, “Sebagai orangtua saya mesti memberikan dukungan kepada anak-anak saya. Dengan memberikan tanggapan yang positif terhadap usaha-usaha mereka, mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan lebih baik.”

Sahabat, pernahkah Anda memberikan tanggapan yang positif terhadap setiap usaha yang dilakukan oleh sesamamu? Mungkin banyak dari kita yang lebih mudah memberikan penilaian yang negatif terhadap usaha-usaha sesamanya. Banyak dari kita yang merasa bahwa apa yang dilakukan oleh sesamanya itu kurang punya nilai yang tinggi. Banyak dari kita yang merasa bahwa hasil pekerjaan kita lebih bernilai tinggi.

Tentu saja situasi seperti ini mudah membuat sesama kita loyo dan gampang putus asa. Apa yang sudah dilakukannya ternyata kurang mendapatkan tanggapan yang positif. Mengapa situasi ini bisa terjadi? Karena orang memiliki egoisme yang tinggi. Orang kurang rela memberikan suatu tanggapan yang positif terhadap sesamanya. Orang memandang dirinya lebih baik dari yang lain. Tindakan yang benar dan baik hanya ada pada dirinya. Sedangkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak lebih baik dari dirinya.

Hal seperti ini tentu saja membuat orang tidak bisa maju dalam hidupnya. Semestinya orang berani memberikan tanggapan yang positif terhadap hasil kerja sesamanya. Bahkan kalau boleh memberikan pujian terhadapnya. Mengapa? Dengan tanggapan yang positif dan pujian yang membangun orang akan lebih giat lagi dalam usahanya. Orang akan bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang lebih berguna bagi Tuhan dan sesamanya.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti rela untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap hasil kerja sesama kita. Kita memberikan pujian-pujian yang mendorong orang tersebut untuk lebih maju lagi dalam hidupnya. Dengan demikian, semakin banyak orang baik yang menghuni bumi ini. Semakin banyak orang berusaha untuk menciptakan damai bagi sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

510

26 September 2010

Menumbuhkan Cinta yang Sejati dalam Hidup



Seorang pemuda sangat mencintai seorang gadis. Mengapa? Karena di matanya, gadis itu sangat cantik. Gadis itu selalu tampil menawan dan menyenangkan hatinya. Karena itu, ia berusaha untuk memiliki gadis itu. Senyum gadis yang indah dan menawan itu telah memukau hati sanubarinya. Ia tidak bisa menahan diri lagi untuk mendekati dan memilikinya.

Hasilnya, keinginannya itu tercapai. Gadis itu menjadi gandengannya. Ia dapat bepergian bersama gadis itu. Ia tidak hanya menjadi pujaannya saja. Kini gadis itu sudah berada di tangannya. Lelaki mana yang tidak ingin didampingi oleh seorang gadis cantik? Tentu sebagian besar kaum lelaki menginginkannya.

Soalnya adalah pemuda itu kemudian mulai menyesal begitu ia mengenal gadis itu secara lebih dekat. Ternyata kecantikan, keindahan dan kemolekan yang dimiliki gadis itu tidak asli. Ia telah memolesnya dengan kosmetik. Bekas-bekas jerawat kemudian muncul kembali ketika gadis itu tidak memakai kosmetik. Pemuda itu menyesal telah memuja gadis seperti itu. Ia kecewa. Ia ingin meninggalkannya. Ia tidak mau menjalin relasi yang lebih jauh lagi dengan gadis itu. Ia telah merasa tertipu.

Sahabat, masih adakah cinta yang sejati dalam hidup ini? Mungkin pertanyaan ini sering dilontarkan oleh manusia jaman sekarang. Mengapa muncul pertanyaan seperti ini? Karena banyak orang hanya mencintai sesamanya secara lahiriah saja. Hal-hal luar yang tampak memukau itu menjadi andalan dalam hidup orang. Karena itu, ketika hal-hal lahiriah itu berubah menjadi jelek, orang berusaha untuk meninggalkannya.

Kisah tadi meninggalkan kepedihan bagi gadis itu. Ia tidak ingin dicintai hanya secara fisik yang tampak cantik, indah dan menawan. Ia ingin lebih dari itu. Namun pemuda yang telah memujanya itu hanya mencintai sebatas yang lahiriah. Cintanya itu bersyarat. Cintanya tidak tulus. Cintanya tidak murni. Cintanya tidak sejati.

Semestinya cinta sejati yang ditanamkan dalam hidup. Semestinya orang berani menerima dan mencintai sesamanya apa adanya. Semestinya dalam mencintai orang tidak perlu menempatkan syarat-syarat yang berat. Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, orang akan mengalami kekecewaan. Orang dapat frustrasi karena syarat-syarat itu tidak terpenuhi.

Karena itu, orang mesti menumbuhkan cinta yang sejati dalam hidupnya. Cinta yang sejati itu akan indah pada waktunya, ketika orang berani untuk mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Cinta yang sejati itu akan bertumbuh subur, ketika orang rela mengorbankan dirinya bagi orang yang dicintainya.

Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa menumbuhsuburkan cinta yang sejati dalam hidup ini. Suatu cinta yang dapat saja berasal dari keindahan, kecantikan dan kemolekan seseorang. Cinta yang menjauhkan diri kita dari syarat-syarat yang membuat orang kehilangan cinta yang sejati. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


509

25 September 2010

Memaknai Kebebasan dalam Hidup





Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Ia begitu terobsesi oleh penampilan fisik gadis itu. Cintanya itu pun mendapatkan jawaban yang positif. Keduanya berpacaran dan berencara untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia sungguh-sungguh mencintai gadis itu.

Soal yang muncul adalah lama-kelamaan gadis itu mulai bersikap cuek terhadapnya. Pertama-tama bukan karena gadis itu memiliki cowok idaman lain. Namun pertama-tama karena gadis itu tidak mau kehilangan kebebasannya. Pemuda itu selalu memberi nasihat yang mengekang dirinya. Misalnya, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Ia harus menuruti nasihat-nasihat dari pemuda yang memujanya itu.

Gadis itu merasa risih. Baginya, cinta itu mesti dalam kondisi orang bebas untuk saling memberikan diri. Dalam situasi bebas itu, orang akan menemukan hakekat sesungguhnya dari cinta itu. Nasihat-nasihat yang mengekang diri itu dirasakan oleh gadis itu sebagai suatu bentuk merosotnya cinta. Orang tidak dapat hidup dalam suasana cinta yang dipaksakan. Orang tidak dapat meneruskan relasi cinta mereka, ketika salah satu pihak mengalami situasi terkekang.

Sahabat, kebebasan menjadi unsur yang penting dalam menjalin relasi cinta. Kebebasan dalam arti ini bukan berarti kebebasan yang semau gue. Tetapi suatu kebebasan yang memberi ruang gerak kepada pihak lain untuk mengungkapkan cintanya. Dalam situasi bebas orang merasa dipercaya untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, cinta yang ditumbuhkembangkan adalah cinta yang tulus. Cinta yang mampu membahagiakan setiap orang.

Memberi kebebasan kepada orang yang dicintai itu berarti orang ingin menumbuhkembangkan hidup orang itu. Orang mau agar sesamanya tidak hidup dalam keterpurukan. Orang ingin agar sesamanya keluar dari lingkaran egoisme. Karena itu, dalam hal mencintai orang mesti berani memberi ruang kebebasan kepada sesamanya. Dengan demikian, orang yang dicintai itu mampu menemukan dirinya sendiri dalam perjalanan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti belajar dari Tuhan yang senantiasa mencintai manusia tanpa syarat. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan apa saja. Namun yang penting adalah manusia mampu mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut. Yang penting manusia dapat menumbuhkan cinta kasihnya yang mendalam kepada sesamanya. Suatu cinta yang dikembangkan tanpa syarat. Suatu cinta sejati yang mesti menjadi andalan dalam hidup ini.

Karena itu, kita mesti rela untuk diubah oleh Tuhan. Cinta kita yang sarat dengan egoisme dan kepentingan diri sendiri itu mesti diubah oleh Tuhan menjadi suatu cinta yang memberi kebebasan dan penghargaan yang tinggi terhadap cinta sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

508

24 September 2010

Memaknai Diam dalam Hidup


Seorang bapak sering berdiam diri. Ia tidak banyak bicara. Namun ia sangat peduli terhadap keluarganya. Ia bekerja rajin untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Baginya, keluarganya itu menjadi tumpuan hidupnya. Ia tidak ingin melihat keluarganya berantakan. Ia tidak ingin menyaksikan keluarganya hidup tidak sejahtera.

Karena itu, setiap kebutuhan dari anak-anaknya selalu ia usahakan untuk dipenuhi. Semuanya ia lakukan dalam diam. Ia menjawab permintaan anak-anaknya dengan anggukan kepala. Atau ia menggelengkan kepala, ketika ia tidak setuju terhadap tindakan anak-anaknya yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam diam itulah ia menunjukkan kecintaannya kepada keluarganya. Dalam diam itulah ia mengumpulkan potensi dan kemampuannya untuk menjadikan keluarganya sebuah keluarga yang bermartabat dan bermoral. Dalam diam itu ia memberi ruang gerak kepada istri dan anak-anaknya. Ia memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya dalam situasi diam itu.

Sahabat, pernahkah Anda merasakan suasana diam sebagai suasana yang indah? Pernahkah Anda pergi ke hutan belantara sendirian dan merasakan bahwa dalam kesunyian dan diam itu ada begitu banyak hal yang indah? Kalau Anda belum pernah mengalaminya, cobalah Anda lakukan. Coba Anda mengambil waktu untuk berdiam diri.

Dalam situasi seperti itu, Anda dapat merenungkan makna kehidupan ini. Dalam situasi diam itu, Anda dapat menemukan betapa agung dan mulia cinta yang Anda miliki untuk orang-orang yang ada di sekitar Anda. Dalam diam, Anda dapat memberi ruang yang lebih besar bagi Tuhan dan sesama untuk bergulat dengan Anda.

Soalnya adalah sering banyak orang mengalami kesulitan untuk hidup dalam diam. Banyak orang merasa takut untuk berdiam diri. Banyak orang lebih suka menghiasi diri mereka dengan berbagai macam bunyian. Mengapa? Karena orang tidak menemukan makna diam dalam hidup ini. Orang merasa bahwa diam itu sunyi sepi. Diam itu tidak banyak memiliki makna. Padahal dalam diam itu begitu banyak hal yang dapat dilakukan. Dalam diam itu, orang mampu menemukan Tuhan. Dalam diam itu orang mampu merefleksikan cinta yang selama ini mereka perjuangkan.

Di dalam diam itu ada kekuatan. Diam itu digunakan untuk berbagai hal baik bagi kepentingan bersama. Coba Anda bayangkan, kalau dunia ini hanya dipenuhi oleh hiruk pikuk. Apa yang akan terjadi? Banyak orang hanya bisa ngomong, tetapi tidak berani beraksi. No action talk only. Hasilnya? Tidak banyak hasil yang dipetik dari banyaknya omong itu.

Sebagai orang beriman, kita berlajar untuk berdiam untuk suatu tujuan yang sangat mulia. Kita berdiam diri untuk menemukan Tuhan dan membiarkan Tuhan bekerja di dalam diri kita. Dalam diam, kita menemukan kekuatan dari cinta Tuhan yang begitu besar terhadap kita. Karena itu, mari kita berusaha untuk berdiam diri, ketika kita ingin mendengarkan suara Tuhan. Kita berusaha untuk berdiam diri, ketika kita mau memaknai hidup ini secara lebih mendalam. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

507

23 September 2010

Belajar Mendengarkan Sesama



Seorang bapak mengajarkan anak-anaknya untuk mau mendengarkan sesamanya. Soalnya, ia memberi alasan, setiap kali terjadi pertengkaran selalu saja diakhiri dengan perkelahian. Padahal sebenarnya tidak perlu terjadi pertengkaran hingga perkelahian, kalau saja masing-masing mau menahan diri untuk tidak bicara. Kalau saja masing-masing mau mendengarkan yang lain, tentu saja pertengkaran hingga perkelahian tidak terjadi di antara anak-anak itu.

Bapak itu berkata kepada anak-anaknya, ”Kalian harus belajar saling mendengarkan. Hanya dengan cara itu kalian dapat saling mendengarkan.”

Anak-anaknya mulai paham. Mereka mulai berusaha untuk mendengarkan yang lain. Meski awalnya agak sulit, tetapi lama kelamaan bisa juga. Mereka dapat saling mengerti. Tidak terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara mereka. Mereka tumbuh menjadi orang-orang yang saling mengasihi.

Sahabat, mendengarkan orang lain itu tidak mudah. Manusia lebih mudah berbicara dan lebih suka didengarkan oleh orang lain. Banyak orang minta perhatian dari orang lain ketimbang harus memasang telinga bagi orang lain. Akibatnya, orang sering membuat dirinya tuli. Orang kurang mau mendengarkan sesamanya. Kata-kata yang baik dan benar dari sesamanya berlalu begitu saja.

Mengapa pasangan suami istri sering bertengkar dalam membangun hidup bersama? Karena mereka tidak mau saling mendengarkan. Karena telinga mereka tersumbat oleh egoisme. Karena mereka hanya mau pasangannya mendengarkan kata-kata dirinya sendiri. Kalau hal ini terus-menerus berlangsung di dalam kehidupan berkeluarga, cepat atau lambat keluarga ini akan berantakan. Hancur berkeping-keping.

Mendengarkan itu membutuhkan kesabaran. Orang tidak bisa begitu saja mudah mendengarkan. Orang mesti belajar untuk memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan sesamanya. Untuk dapat mendengarkan dengan baik, orang mesti mengambil suasana rileks. Orang tidak bisa sambil melakukan pekerjaan yang sibuk sambil mendengarkan curahan hati sesamanya.

Mendengarkan itu juga membutuhkan kerendahan hati. Biasanya orang yang rendah hati itu mau dan mampu mendengarkan sesamanya dengan baik. Orang seperti ini biasanya merelakan waktunya untuk sesamanya. Orang seperti ini biasanya mau menerima apa adanya orang yang sedang berbicara kepadanya.

Untuk itu, kita mesti mau menyediakan diri untuk mendengarkan sesama. Tidak usah berpikir bahwa kita akan kehilangan waktu, ketika kita mesti mendengarkan keluh kesah sesama kita. Justru dengan menyediakan waktu luang bagi sesama untuk mendengarkannya, kita menjadi orang yang punya kepedulian terhadap sesama. Tidak mudah mendengarkan orang lain. Tetapi kita mesti berani mencoba untuk mendengarkan sesama kita, kalau kita juga mau didengarkan oleh orang lain.

Sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk mendengarkan sesama kita. Kata-kata sesama kita dapat menjadi pegangan bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

506

22 September 2010

Pentingnya Kehadiran bagi Sesama



Ada seorang manager sebuah perusahaan yang sangat disukai oleh para karyawannya. Salah satu hal yang sangat berkesan dari para karyawan adalah manager tersebut sangat peduli terhadap mereka. Ia selalu hadir bersama mereka.

Kehadirannya itu tidak hanya di perusahaan. Tetapi ia juga hadir ketika para karyawan atau orang-orang dekat para karyawannya itu mengalami musibah. Kehadirannya memberikan makna yang begitu mendalam. Kehadirannya itu menguatkan para karyawannya. Kehadirannya memberi motivasi kerja yang sangat tinggi dari para karyawannya. Apalagi ia selalu tampil bersahabat dengan semua orang.

Hasilnya, perusahaan yang dipimpinnya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tidak terjadi krisis di dalam perusahaan itu meski krisis ekonomi melanda dunia. Dengan caranya yang khas, manager tersebut meyakinkan para karyawannya bahwa kalau mereka mau berusaha, krisis tidak akan pernah melanda hidup mereka.

Hal yang juga mengagumkan adalah para karyawan itu sangat percaya kepadanya. Mereka memberikan seluruh hidup mereka untuk kemajuah perusahaan itu. Perusahaan ini tidak pernah ditinggalkan oleh para karyawannya. Bahkan di saat krisis melanda dunia, perusahaan ini malah menambah tenaga kerja. Hal seperti ini sulit sekali ditemukan di perusahaan-perusahaan lain yang menerapkan pendekatan yang berbeda.

Sahabat, kehadiran itu sesuatu yang penting dalam hidup ini. Kehadiran itu seperti kado yang tak ternilai harganya. Kehadiran dari seorang pemimpin memberi nilai lebih kepada mereka yang dipimpin. Kehadiran itu memberikan rasa percaya diri dan rasa cinta yang begitu besar.

Bayangkan kalau Anda sedang jatuh cinta kepada seseorang, tetapi orang yang bersangkutan tidak pernah hadir dalam hidup Anda. Apa yang akan terjadi? Yang terjadi adalah Anda merasa jauh. Anda merasa tidak dihargai. Anda tidak percaya terhadap orang yang Anda cintai itu.

Karena itu, yang dibutuhkan adalah kehadiran yang menciptakan suasana kedekatan. Suatu suasana di mana orang dapat saling memandang. Suasana di mana orang dapat berkomunikasi satu sama lain. Orang saling mencurahkan isi hatinya kepada yang lain.

Suasana untuk berbagi perasaan menjadi sesuatu yang indah. Suatu saat yang meneguhkan relasi. Suatu saat yang memberi motivasi untuk hidup semakin lebih baik dan baik lagi. Untuk itu, dalam kehadiran itu dibutuhkan suatu keinginan untuk membangun hidup lebih baik lagi. Kehadiran itu tidak hanya untuk kehadiran. Kehadiran itu untuk memajukan kehidupan. Kehadiran itu ada untuk menciptakan suasana kasih sayang.

Mari kita berusaha untuk hadir dalam hidup sesama kita. Kita dapat memberikan dukungan dan dorongan bagi sesama untuk semakin bertumbuh dalam iman, pengharapan dan cinta kasih. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

505

21 September 2010

Berusaha Memberi Makna bagi Hidup





Suatu hari seorang anak kecil memperhatikan sumber air yang perlahan-lahan mengeluarkan air. Air itu kemudian mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah. Terus begitu setiap saat, setiap hari. Anak itu menikmati suasana seperti itu. Ia tidak mau beranjak dari sumber air itu. Namun kemudian ayahnya memanggilnya pulang ke rumah. Ia meninggalkan sumber air itu dengan tatapan penuh tanya.

Sambil berjalan bersama ayahnya, ia bertanya, “Ayah, mengapa air itu mengalir? Ke mana air itu mengalir?”

Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang kritis. Lantas ia menjawab, “Anakku, setiap tetes air yang keluar dari sumber itu tahu mereka mengalir menuju ke laut. Meski harus melalui anak sungai, selokan, kali keruh, danau dan muara, mereka yakin perjalanan mereka bukan tanpa tujuan. Bahkan setelah sampai di samudera mereka tahu bahwa suatu saat panas dan angin akan membawa mereka ke pucuk-pucuk gunung. Mereka menjadi awan dan turun dalam bentuk hujan.”

Anak itu termenung mendengarkan penjelasan ayahnya. Ayahnya melanjutkan, “Sebagian air itu menyuburkan pohon-pohon, rerumputan, sebagian tertampung di danau-danau dan sebagian kembali ke laut. Tidak ada yang sia-sia. Demikian pula dengan hidup kita. Tidak ada yang sia-sia.”

Sahabat, hidup manusia begitu berharga. Hidup ini selalu punya makna. Selalu punya arti entah bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Tidak ada yang sia-sia. Hidup ini selalu memiliki tujuan. Sama seperti air yang turun ke bumi. Selalu punya arti setelah menyuburkan tanah dan tanaman.

Karena hidup ini tidak pernah sia-sia, maka orang mesti selalu menghargainya. Orang mesti selalu memperjuangkannya dan menjadikan hidupnya memiliki nilai bagi hidupnya dan bagi hidup orang lain. Karena itu, kita butuh suatu ketahanan diri dalam memberi nilai terhadap hidup ini.

Sering orang merasa bahwa hidupnya itu hanya sebatas apa yang ada. Hidup ini seolah-olah sia-sia. Tidak memiliki makna yang mendalam. Nyatanya hidup ini memiliki begitu banyak nilai yang berguna untuk kemajuan hidup. Karena itu, orang mesti berusaha terus-menerus agar hidup ini semakin memiliki makna. Orang yang mau berusaha itu orang yang memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hidup ini.

Artinya, orang mau mensyukuri pemberian Tuhan bagi dirinya. Orang yang tidak hanya menerima begitu saja hidup ini. Tetapi orang yang rela mengembangkannya bagi sesuatu yang lebih berguna lagi. Untuk itu, kita tidak boleh putus asa dalam hidup ini. Keputusasaan hanya menunjukkan bahwa kita ini orang-orang yang kurang beriman. Orang yang pantang menyerah itu orang yang senantiasa mengimani Tuhan dalam hidupnya.

Mari kita berusaha untuk senantiasa menemukan nilai-nilai yang baik dalam hidup ini. Dengan demikian, kita berguna bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.co

504

20 September 2010

Memelihara Kerendahan Hati






Selama 45 tahun, hidup Ken Karpman tampaknya nyaris sempurna. Lulus dengan gelar sarjana S-1 dan MBA (Master of Business Administration) dari universitas bergengsi UCLA (University of California), Karpman langsung mendapat pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan sebagai pialang saham. Dia pun bisa menikahi perempuan idamannya, Stephanie dan dikarunai dua anak. Mereka pun rutin berlibur ke tempat-tempat mahal di penjuru dunia.

Setelah 20 tahun meniti karir sebagai pialang, Karpman pun naik jabatan menjadi eksekutif perusahaan. Gajinya pun naik menjadi US$750.000 (sekitar lebih dari Rp 8,8 miliar) per tahun.

Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi, ia berkata, “Saat itu hidup begitu indah. Kami bisa cetak banyak uang. Entah mengapa situasi itu kok tidak berlanjut?”

Dari segala sisi, Karpman dan keluarga saat itu hidup dalam “Impian Amerika”. Mereka tinggal di sebuah rumah besar di kota Tampa, Florida. Rumah mereka pun dilengkapi lapangan golf.

“Saat itu saya sudah tidak tahu berapa harga barang-barang di toko. Pokoknya, tinggal bawa troli dan ambil saja,” kata Karpman.

Dia begitu percaya diri dengan kemampuannya mencetak banyak uang. Maka, tahun 2005 dia meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dan membuat usaha sendiri yang sejenis. Untuk mendirikan perusahaan sendiri sekaligus meningkatkan taraf hidup, dia dengan enteng mengeluarkan dana US$500.000 dari tabungannya. Seperti kebiasaan orang-orang Amerika, Karpman juga mengajukan kredit dalam jumlah besar dengan jaminan rumah.

Namun, badai krisis keuangan menerpa Amerika Serikat (AS). Karpman tak mampu menarik investor, sehingga perusahaannya bubar. Sejak saat itu, dia menjadi penganggur dan sulit mendapat kerja. Padahal, di masa lalu, Karpman tak perlu pusing mencari kerja.

“Dulu, saat menjalani tes wawancara kerja, saya bisa jadi bersikap kurang ajar, karena justru sayalah yang sering menanyai si pewawancara, apakah perusahaannya cukup layak mempekerjakan saya. Sekarang, justru saya yang berharap-harap minta kerja sambil memegang topi di tangan,” katanya.

Sahabat, bisa saja orang salah perhitungan dalam meniti perjalanan hidupnya. Orang merasa begitu percaya diri terhadap status yang dimiliki. Orang begitu percaya diri terhadap kekayaan yang dipunyainya. Orang berpikir bahwa status dan harta yang dimiliki itu akan langgeng untuk selama-lamanya. Padahal tidak. Semua itu hanya sementara. Ketika status seseorang hilang, ia menjadi sama dengan manusia lain. Ketika harta kekayaan seseorang itu ludes karena kebakaran dan bencana, saat itu pula orang akan mengalami keterpurukan dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti tetap menyikapi setiap sukses dengan hati yang lapang. Kita mesti memiliki suatu ketahanan hati yang kuat, sehingga mampu membendung kecerobohan-kecerobohan yang kita lakuan. Orang mesti melakukan sesuatu dengan kecermatan yang luar biasa. Dengan demikian, kegagalan dapat diantisipasi sebelumnya.

Karena itu, orang beriman mesti tetap memelihara kerendahan hatinya. Orang beriman mesti berani hidup sederhana. Hanya dengan cara demikian, orang akan menemukan sukacita dan bahagia dalam hidupnya. Mari kita terus-menerus berusaha, agar kita dapat sukses dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

503

19 September 2010

Menghadapi Persoalan dengan Hati dan Iman




Suatu hari seekor elang terbang tinggi. Di kakinya ia membawa dua ekor anaknya yang sudah mulai dipenuhi bulu-bulu di sayap-sayap mereka. Begitu tinggi elang itu terbang. Sambil melihat ke punggung-punggung gunung dan bukit, induk elang itu melemparkan kedua anaknya itu ke bawah. Kontan saja kedua anaknya itu menjerit ketakutan.

Dalam hati mereka menyangka sang ibu telah marah terhadap mereka. Mereka dicampakkan begitu saja ke dalam jurang dan ngarai yang begitu dalam. Namun tidak berapa lama kemudian, keduanya dapat membuka sayap-sayap mereka. Mereka pun terbang menikmati keindahan alam pegunungan dan lembah-lembah yang indah.

Kata salah seekor anak elang, ”Ternyata ibu kita tidak membuang kita. Ibu memberi kesempatan kepada kita untuk menikmati indahnya alam ini.”

Anak elang yang lain terus-menerus menikmati keindahan alam itu. Hampir-hampir ia menabrak dahan sebatang pohon. Untung saja matanya yang cerdik mampu membebaskan dirinya dari kecelakaan. Hari itu kedua elang itu mengalami sukacita yang mendalam. Mereka menemukan kesejatian diri sebagai elang yang terbang tinggi dan menukik ke darat untuk menangkap mangsa. Hari itu mereka belajar untuk menemukan diri mereka sendiri.

Sahabat, kalau Anda menganggap masalah sebagai beban, Anda akan menghindarinya. Anda akan merasa ngeri, ketika suatu masalah datang kepada Anda. Anda akan mencari cara-cara untuk melarikan diri dari masalah itu. Mengapa? Karena Anda tidak kuat memikul beban itu. Atau Anda tidak mau hidup Anda dipenuhi dengan beban permasalahan.

Namun kalau Anda menganggap masalah sebagai tantangan, Anda akan menghadapinya. Anda akan mencari cara-cara untuk mengatasi masalah tersebut. Anda tidak akan lari menjauhi masalah itu. Bahkan Anda akan membangun optimisme dalam hidup ini untuk segera mengatasi masalah tersebut. Ketika masalah itu Anda atasi, Anda akan menemukan kebahagiaan. Tidak ada yang mengejar-ngejar Anda lagi.

Orang yang berani menghadapi masalah menganggap masalah sebagai anak tangga menuju kekuatan yang lebih tinggi. Masalah itu menjadi kesempatan untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Masalah yang dihadapi dengan berhasil akan memberikan motivasi dan semangat bagi orang untuk menemukan kesuksesan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita tidak luput dari masalah-masalah. Selalu saja ada masalah yang kita hadapi. Namun masalah itu mesti kita hadapi dengan hati yang tenang dan iman yang kuat. Karena itu, kita mesti senantiasa membuka hati kita kepada Tuhan. Kita membiarkan Tuhan terlibat dalam hidup kita. Kita biarkan Tuhan masuk ke dalam hati kita untuk membantu kita memecahkan persoalan-persoalan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

502

18 September 2010

Panggilan untuk Menjadi Orang Baik




Ada bibit kelapa yang ada di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakan akar-akarku dalam-dalam di ladang ini. Aku ingin menjulangkan daun-daunku di atas tanah yang keras ini. Aku ingin melambai-lambai di udara. Aku ingin merasakan kehangatan matahari dan kelembutan embun pagi.”

Bibit kelapa itu pun tumbuh. Semakin hari kelapa itu tumbuh menjadi besar. Ia melambai-lambai begitu diterpa angin senja. Pohon kelapa itu memberi kehidupan baru bagi alam sekitarnya. Kehadirannya sungguh-sungguh memberikan makna yang begitu besar bagi lingkungannya.

Tetapi bibit kelapa yang kedua hanya menyaksikan lambaian kelapa pertama itu dalam diam. Sejak awal ia takut untuk bertumbuh. Ia membiarkan dirinya kerdil. Ia berkata, “Aku takut. Kalau kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah di bawah sana sangat gelap?”

Bibit kelapa yang kedua akhirnya tetap saja kerdil. Ketakutannya itu membuat ia tidak bisa tumbuh dengan baik. Beberapa waktu kemudian, pemilik bibit itu membakarnya. Ia tidak berguna lagi. Ia lebih pantas untuk dibuang, karena tidak menghasilkan apa-apa bagi kehidupan.

Hidup itu suatu pilihan. Orang harus memilih dalam hidup ini, agar menemukan hidup yang lebih baik. Kisah dua bibit kelapa tadi juga demikian. Mereka memilih cara hidup mereka masing-masing. Mau berbuah bagi kehidupan atau tidak, mereka mesti memilih.

Pilihan yang tepat akan menentukan perjalanan hidup. Pilihan yang tepat akan membantu orang untuk menghayati hidup secara lebih baik. Orang yang memilih menjadi teroris, misalnya, akan menghadapi berbagai resiko yang mengerikan. Mengapa? Karena orang seperti ini akan dikejar-kejar oleh pihak berwajib. Tentu saja ini suatu pilihan yang egois yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Ini suatu pilihan yang merugikan kehidupan banyak orang.

Semestinya manusia memilih untuk menjadi orang baik. Orang yang memberi kesempatan bagi dirinya untuk bertumbuh dan berkembang, sehingga berguna bagi kesejahteraan bersama. Hidup manusia ini mesti berbuah bagi banyak orang. Tidak hanya untuk diri sendiri. Mengapa? Karena manusia tidak hanya hidup bagi dirinya sendiri. Manusia juga hidup bagi sesama yang ada di sekitarnya.

Karena itu, orang beriman itu mesti berpikir tentang menghasilkan buah-buah yang baik bagi kehidupan bersama. Inilah panggilan hidup setiap orang beriman. Orang beriman dipanggil untuk memperjuangkan kehidupan. Dengan demikian, kehidupan manusia semakin baik. Manusia semakin menemukan makna dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.co


501

17 September 2010

Tuhan Peduli terhadap Hidup Manusia

Suatu hari seorang ibu muda kalut. Pasalnya, mamanya mengalami kecelakaan terserempet mobil truk. Hasil rontgen adalah 9 tulang rusuknya patah. Ia tambah kuatir ketika sang mama pun sudah mengetahui keadaan dirinya. Patah tulang di usia tua akan sulit sembuh. Pengobatan pasti akan berjalan lama.

Mendengar peristiwa itu, seorang temannya memberi nasihat, “Sahabat, percayakan mama Anda akan kedahsyatan dokter segala dokter yang Mahaagung. Dia akan memulihkan sakit mamamu.”

Ibu muda itu pun menjawab, “Ya. Amin. Saya percaya ada mukjizat yang Tuhan berikan saat kita bersatu dalam doa dan berserah agar Tuhan bekerja dalam diri kita”.

Apa yang terjadi seminggu kemudian? Mama dari ibu muda itu berangsur-angsur sembuh. Tulang-tulangnya menyambung kembali. Padahal ia sudah tua. Ibu tua itu menemukan kembali kasih Tuhan atas dirinya. Ia tidak perlu kuatir akan kondisinya. Ternyata Tuhan begitu baik. Ia tidak menghancurkan harapannya untuk hidup. Karena itu, sang ibu muda pun bersyukur atas penyelenggaraan Tuhan.

Sahabat, tragedi kadang-kadang menghantam diri kita. Kita tidak percaya bahwa kita akan mengalami suatu kecelakaan. Kita sudah hati-hati di jalan, tetapi kecelakaan bisa saja terjadi atas diri kita. Apa yang mesti kita lakukan? Yang mesti kita lakukan adalah kita pasrah. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada penyelenggaraan Tuhan. Kita mesti yakin bahwa Tuhan tidak pernah menghendaki kebinasaan terhadap hidup kita.

Mengapa? Karena hidup ini tidak sia-sia. Hidup ini memiliki makna yang begitu indah dan besar. Karena itu, kita mesti senantiasa menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Ketika kita mengalami jalan buntu dalam kehidupan ini, kita mesti mau berserah diri kepada Tuhan. Kita mesti yakin bahwa hanya Tuhan yang mampu memberi petunjuk bagi hidup kita.

Namun semua itu tidak instan alias sekali jadi. Sikap penyerahan diri kepada Tuhan itu terjadi dalam proses kehidupan kita. Kadang-kadang kita kurang setia pada iman kita kepada Tuhan. Kita pergi kepada dukun. Kita lebih percaya kepada manusia daripada kuasa dan kekuatan Tuhan. Tetapi tidak apa-apa. Yang penting kita mesti kembali kepada Tuhan. Dia sedang menunggu kita untuk menyerahkan hidup kita seluruhnya kepadaNya.

Karena itu, jangan takut datang kepadaNya. Jangan takut menyerahkan hidup Anda kepadaNya. Hanya dengan cara ini, Anda akan menemukan sukacita dan damai dalam hidup Anda. Mari kita berusaha untuk setia kepada Tuhan dalam untung dan malang hidup kita. Kita biarkan Tuhan bekerja dalam diri kita. Kita biarkan Tuhan terlibat dalam suka dan suka hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

501

16 September 2010

Meraih Asa dalam Cinta






Di ruang ICU, seorang gadis masih berbaring setelah 5 hari lamanya secara intensif dimonitor oleh medis dan paramedis yang merawatnya. Ia menderita fabry deases, penyakit yang menimbulkan penimbunan glikolipid (metabolisme lemak). Gejala yang timbul adalah gangguan penglihatan, nyeri pada beberapa bagian tubuh dan lainnya.

Ia hanya bisa melihat ibunya yang senantiasa menjaganya dari luar ruangan. Di mata ibunya, gadis itu memiliki tingkat iman yang sempurna. Dalam sakitnya, ia masih menunjukkan sukacita, senang dan gembira. Rasa optimisme yang tinggi untuk bisa sekolah bersama teman-temannya di kelas lima SD membuatnya memiliki harapan yang positif. Juga saat ibu gurunya menjenguknya. Tampak matanya yang bulat memancarkan sikap yang mengalahkan rasa kuatirnya.

Suatu kali dokter yang merawatnya secara terbuka mengatakan bahwa gadis itu sungguh pasien istimewa. Dokter itu selalu melihat inspirasi baru darinya. “Gadis ini sungguh memiliki perpaduan sikap tegar dan tak mudah menyerah serta penuh harap dalam cinta,” kata dokter itu.

Sang ibu yang mendengar penuturan tulus dokter itu menitikan air mata tanda bangga terhadap anaknya. Betapa di usianya yang ke-10, gadis itu dapat mewartakan kasih Tuhan melalui sikap kanak-kanaknya dalam selimut rahmat. Ia sama sekali tidak pernah mengeluh, apalagi kecewa akan kondisi tubuhnya yang mungkin akan mengalami gagal ginjal, jantung dan paru-parunya yang digenangi air.

Gadis itu pernah berkata, “Seandainya saya sehat, saya ingin menjadi seperti Ibu Theresa”.

Bertahan dalam penderitaan itu tidak mudah. Apalagi yang mengalami penderitaan adalah seorang anak berusia sepuluh tahun. Namun yang ditunjukkan oleh gadis dalam kisah tadi sungguh luar biasa. Dalam kondisi sakitnya yang sedemikian parah, ia masih mencurahkan cintanya kepada sesamanya. Ia masih menghibur mereka yang ada di sekelilingnya dengan harapan yang besar.

Orang yang tak pernah kehilangan harapan untuk hidup akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya. Itulah perjuangan sejati seorang beriman yang menyerahkan hidupnya ke dalam kuasa Tuhan. Biasanya orang seperti ini memiliki kasih yang kuat terhadap sesamanya. Ia tidak ingin melihat sesamanya sedih dan menderita. Yang ia inginkan adalah kebahagiaan sesamanya. Inilah cinta yang tulus. Cinta yang sejati yang terpatri dalam diri orang-orang yang mampu bertahan dalam penderitaannya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki pengharapan yang besar di kala kita mengalami penderitaan dalam hidup. Yang mesti kita pegang teguh adalah Tuhan yang senantiasa menyertai kita dalam penderitaan ini. Tuhan yang membantu setiap orang beriman memiliki keteguhan dalam perjuangan untuk meraih kebahagiaan. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

499

15 September 2010

Waktu untuk Refleksi




Ada seorang manager perusahaan yang akhir-akhir ini jarang menampakkan dirinya di perusahaannya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Sudah puluhan tahun ia mengendalikan perusahaan itu. Ia dianggap sukses oleh para karyawannya. Namun akhir-akhir ini ia kurang bergairah dalam bekerja. Ia sendiri tidak tahu apa yang menjadi permasalahan utamanya.

Karena itu, ia mulai tidak masuk kerja dengan berbagai alasan. Ia tinggal di rumah sepanjang hari. Istrinya bingung melihat situasi hidup suaminya yang ia kenal sebagai seorang pekerja keras. Suatu hari istrinya bertanya kepada suaminya, “Apa sebenarnya yang terjadi, Pak?”

Sang suami terdiam mendengar pertanyaan istrinya. Matanya tertuju pada buku yang sedang dibacanya. Ia tidak mau membicarakan suasana hatinya kepada istrinya. Hal itu sangat terbalik dengan apa yang terjadi selama ini. Biasanya ia membagikan pengalaman-pengalaman hidupnya kepada istri dan anak-anaknya. Namun sekarang, ia hanya diam membisu tentang pekerjaannya.

Istrinya tidak mau menyerah terhadap sikap diam suaminya. Ia tetap mengajukan pertanyaan kepadanya, “Pak, katakan apa yang sedang bapak hadapi? Apakah bapak dipecat?”

Akhirnya suaminya mau buka suara. Ia berkata, “Sebenarnya tidak ada apa-apa yang terjadi dengan saya. Saya hanya mengalami kejenuhan dalam bekerja. Saya bosan sekarang ini. Saya tidak ingin melihat perusahaan dan para pegawainya. Saya ingin ambil waktu untuk merefleksikan hidup saya. Boleh, kan?”

Ada kalanya orang mengalami kejenuhan dalam hidupnya. Pekerjaan yang rutin dapat membuat orang kurang bergairah dalam pekerjaannya itu. Orang menjadi bosan. Karena itu, orang butuh waktu untuk menumbuhkan semangat baru dalam dirinya. Dengan demikian, ia dapat memiliki gairah baru dalam menuntaskan pekerjaan-pekerjaannya.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk merefleksikan kembali segala sesuatu yang telah kita lakukan selama hidup ini. Apa sesungguhnya makna pekerjaan-pekerjaan itu bagi hidup kita? Mengambil waktu untuk berefleksi akan membantu orang menemukan makna yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan.

Orang bekerja bukan hanya untuk pekerjaan itu sendiri. Atau orang bekerja bukan hanya untuk mencari nafkah. Orang bekerja sebagai penghayatan iman akan Tuhan. Orang bekerja itu sebagai ungkapan kasihnya terhadap Tuhan dan sesama. Orang yang bekerja itu menyatakan syukurnya atas kasih karunia yang telah diterima dalam hidupnya.

Karena itu, mengambil waktu khusus untuk berefleksi berarti kita mengambil kesempatan untuk memperdalam syukur kita kepada Tuhan. Kita mau semakin mendalami kasih kita kepada sesama yang setiap hari kita jumpai. Dengan demikian, pekerjaan kita itu menghasilkan buah yang berlimpah-limpah, jasmani dan rohani. Mari kita mengambil waktu untuk refleksikan pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

498

14 September 2010

Memupuk Rasa Terima Kasih



Ada seorang gadis buta yang membenci dirinya sendiri karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi dia juga membenci semua orang, kecuali kekasihnya.

Kekasihnya selalu ada di sampingnya untuk menemani dan menghiburnya. Gadis itu berkata akan menikahi kekasihnya hanya jika dia bisa melihat dunia. Suatu hari, ada seseorang yang mendonorkan sepasang mata kepadanya, sehingga dia bisa melihat semua hal, termasuk kekasihnya.

Kekasihnya bertanya, "Sekarang kamu bisa melihat dunia. Apakah kamu mau menikah denganku?" Gadis itu terguncang saat melihat bahwa kekasihnya ternyata buta. Dia menolak untuk menikah dengannya.

Kekasihnya pergi dengan sangat sedih. Kemudian ia menulis sepucuk surat singkat kepada gadis itu, "Sayangku, tolong jaga baik-baik bola mataku."

Kebaikan dibalas dengan kejahatan, bukan suatu rahasia lagi dalam hidup ini. Mengapa orang tega membalas kebaikan dengan kejahatan? Karena orang terlalu dikuasai oleh egoismenya. Orang hidup hanya menurut obsesinya sendiri. Orang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Orang tidak hidup bagi sesamanya. Akibatnya, orang berani melangkahi hal-hal yang baik hanya untuk memuaskan keinginan dirinya sendiri.

Kisah tadi menunjukkan bagaimana pikiran manusia berubah saat status dalam hidupnya berubah. Hanya sedikit orang yang ingat bagaimana keadaan hidup sebelumnya. Lebih sedikit lagi yang ingat terhadap siapa harus berterima kasih, karena telah menyertai dan menopang bahkan di saat yang paling menyakitkan.

Kekasih itu telah merelakan matanya yang begitu berharga untuk gadis itu. Tetapi gadis itu lebih dikuasai oleh keinginannya sendiri. Ia lebih mengikuti egoismenya. Ia memuaskan egoismenya itu. Akibatnya, korban yang begitu besar yang telah dilakukan oleh pemuda itu menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Semestinya ia berterima kasih atas korban yang telah dibuat oleh kekasihnya. Tidak gampang menemukan orang yang mau merelakan hal yang sangat berharga dalam dirinya untuk orang lain. Bahkan mengorbankan hal yang sangat vital bagi hidup orang lain itu sesuatu yang sangat sulit. Namun pemuda itu telah melakukannya. Yang dia harapkan sebenarnya tidak sangat besar. Yang ia harapkan adalah ucapan terima kasih atas korbannya itu. Suatu sikap penghargaan terhadap pengorbanan itu.

Sebagai orang beriman, kita ingin memupuk rasa terima kasih terhadap sesama yang telah berkorban bagi hidup kita. Mengucapkan rasa terima kasih kita itu menunjukkan penghargaan kita yang besar terhadap sesama. Mari kita terus-menerus memberi penghargaan terhadap sesama yang telah melakukan hal-hal yang cermelang bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

497

13 September 2010

Berani Belajar dari Kesalahan



Columbus menjelajahi dunia. Namun tanah yang semestinya dia tuju adalah India. Setelah berlayar begitu lama ternyata ia melakukan kesalahan besar. Ia mendarat di benua Amerika, sebuah benua baru. Padahal yang ia cari adalah daerah penghasil rempah-rempah. Merasa bahwa itulah tujuan perjalanannya, ia memberi nama suku asli Amerika dengan nama Indian.

Namun kesalahan yang dilakukan oleh Columbus itu beratus-ratus tahun kemudian menjadi suatu berkah. Banyak orang dari Eropa berimigrasi ke Amerika untuk mencari penghidupan. Banyak orang menemukan tempat baru yang begitu berharga bagi masa depan mereka. Kesalahan itu membawa rahmat bagi banyak orang. Kini banyak orang berbondong-bondong ke Amerika untuk mengadu kehidupan di sana. Banyak orang kemudian meraih kesuksesan dengan bekerja di sana.

Tiada gading yang tak retak. Begitulah pepatah yang menggambarkan ketidaksempurnaan manusia. Kalau Anda merasa tidak pernah melakukan kesalahan, Anda sebaiknya melihat kembali langkah Anda. hidup Kesalahan itu memang tidak mengenakkan. Banyak orang ingin menghindari kesalahan. Banyak orang ingin melakukan sesuatu yang sempurna dalam hidup ini.

Namun orang yang optimis adalah orang yang mau belajar dari kesalahan. Orang seperti ini tidak mudah terpuruk ke dalam penyesalan demi penyesalan. Bahkan orang seperti ini akan mudah untuk melupakan kesalahan-kesalahan kecil yang diperbuatnya. Ia mau bangkit dari kesalahannya. Ia ingin maju. Ia ingin meraih sukses dalam hidupnya.

Orang yang ingin sukses dalam hidup ini menggunakan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya untuk memimpin dirinya dalam mengambil tindakan yang lebih baik. Karena itu, kesalahan menjadi kawan baik yang secara samar mengatakan apa yang harus dikerjakan dengan lebih baik lagi.

Karenanya, orang yang optimis akan melihat kesalahan apa adanya. Ia akan menjauhkan setiap prasangka, kesedihan ketika kesalahan menimpanya. Di balik kesalahan itu tersimpan kesempatan yang tersembunyi.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita memiliki semangat untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang kita buat. Karena itu, kita tidak perlu mengutuk diri kita ketika kita melakukan kesalahan. Kita gunakan hal itu sebagai pelajaran yang berharga bagi kita dalam mengambil tindakan-tindakan yang baik untuk kemajuan diri kita.

Untuk itu, dibutuhkan sikap optimis dalam hidup ini. Kita tidak perlu tenggelam dalam kesalahan yang kita buat. Justru kita mesti bangkit dari kesalahan. Ingat, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kita semua adalah makhluk yang terbatas. Melalui keterbatasan itu kita ingin memajukan hidup kita. Kita ingin agar hidup ini tidak hanya berakhir dengan kesalahan. Kita ingin agar hidup kita memiliki makna yang mendalam bagi diri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

496

12 September 2010

Melakukan Sesuatu dengan Penuh Perhitungan



Februari 1657 sebuah upacara kecil diadakan di kota Tokyo, Jepang, untuk menolak malapetaka. Dalam upacara kecil itu, seorang pendeta berusaha untuk membakar selembar kimono yang dianggap membawa sial. Pasalnya, kimono tersebut pernah dimiliki oleh tiga gadis yang meninggal dunia sebelum memakainya. Karena itu, kimono tersebut dianggap memiliki kekuatan gaib yang mematikan.

Saat pendeta tersebut membakar kimono gaib itu, tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Api mulai menjalar ke mana-mana. Pertama-tama api tersebut membakar kuil tempat upacara tersebut.

Tidak berhenti di situ. Api tersebut menyebar membakar hampir tiga perempat kota Tokyo. Tercatat 300 kuil terbakar, 500 bangunan, 9000 toko dan 61 jempatan hangus dilalap si jago merah. Korban yang jatuh dalam kebakaran tersebut berjumlah 100 ribu jiwa. Luar biasa. Yang disalahkan adalah kimono yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Padahal sesungguhnya manusia kehilangan kebijaksanaannya. Manusia ceroboh dalam hidupnya.

Hal yang kecil bisa menjadi sesuatu yang menghancurkan kehidupan manusia. Sering orang kurang perhitungan. Asal mau melakukan sesuatu, orang melakukannya dengan gegabah. Orang tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa tidak selamanya maksud baik itu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Orang mesti membuat banyak perhitungan, ketika ingin melakukan sesuatu. Orang mesti menemukan cara-cara yang efektif, ketika memulai suatu pekerjaan. Tidak asal tubruk sana tubruk sini.

Orang beriman itu orang yang menggunakan akal sehatnya dalam membangun hidupnya. Orang tidak hanya menggunakan perasaan-perasaannya. Orang tidak hanya menggunakan prasangka-prasangka dalam menentukan tujuan hidup dan apa yang mau dilakukannya. Kalau orang dapat mengerjakan hal-hal yang baik dengan perhitungan yang cermat, orang akan menemukan kesuksesan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa melakukan hal-hal yang besar dengan penuh perhitungan. Mengapa? Hanya dengan cara seperti itu, orang akan berhasil dalam hidupnya. Orang tidak akan tertimpa oleh suatu kemalangan dalam hidupnya. Untuk itu, kita mesti membuang setiap tahayul yang mengganggu kehidupan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

495

11 September 2010

Bertahan dalam Penempaan Diri




Suatu hari seorang pengrajin batu berjalan-jalan di atas sebuah gunung yang sangat gersang. Tiba-tiba ia melihat seonggok batu berwarna coklat kusam yang telah bertahun-tahun diselimuti lumut. Tampak dari luar, batu itu lapuk. Pengrajin itu penasaran. Lantas ia mengayunkan palu godamnya. Ia memukul-mukul batu itu. Ternyata batu itu berwarna asli putih.

Pengarjin itu mengambil pecahan batu sebesar kepalanya. Lantas ia membawa pulang ke rumah. Begitu tiba, ia memotong-motong batu itu menggunakan gurinda. Ia mulai memoles batu itu. Ia menghaluskannya. Ia berusaha memperindah batu tersebut. Ia membentuk sebuah penghias cincin yang indah. Sungguh, ia merasa kagum akan kehadiran batu di tangannya itu. Ia terus memolesnya.

Ternyata batu yang tampak kusam itu kini memiliki harga yang tinggi. Banyak orang ingin memilikinya, ketika pengrajin itu memajang batu tersebut di ruang depan rumahnya. Setelah beberapa waktu lamanya, batu yang dulu tampak tak berharga itu dibeli seorang kaya dengan harga yang tinggi.

Sesuatu yang memiliki nilai yang tinggi itu mesti melalui proses. Tidak bisa begitu saja menjadi berharga. Harus melalui suatu proses penempaan yang membuat dirinya sakit dan menderita. Perhiasan yang bernilai mahal itu ternyata mesti melalui suatu proses yang berliku-liku. Mesti melalui berbagai percobaan.

Orang yang ingin menjadi besar pun demikian. Orang mesti berani melalui proses yang melelahkan dan kadang-kadang membuat sakit. Kadang orang mesti menghadapi berbagai cobaan. Orang yang bertahan dalam proses penempaan itu akan meraih sukses. Orang yang bertahan dalam godaan akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Cobaan yang dihadapi menjadi bagian dari proses penempaan itu. Cobaan itu menjadi sarana untuk membentuk kepribadian seseorang.

Namun banyak orang ogah melalui proses penempaan itu. Banyak orang tidak rela mengalami proses itu. Mengapa? Karena orang enggan untuk maju. Orang terbuai oleh hal-hal yang instan. Sesuatu yang cepat jadi. Orang tidak butuh suatu proses yang melewati cobaan-cobaan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa perjalanan hidup menuju kesuksesan itu mesti melalui proses. Untuk menjadi batu yang indah permai, proses penempaan mesti dijalani. Karena itu, orang beriman mesti selalu menyadari diri bahwa proses penempaan iman itu juga mesti dilalui. Orang yang beriman itu orang yang mesti kuat dalam hidupnya. Untuk itu, orang mesti berani mengalami proses penempaan hidup. Orang mesti berani untuk menderita. Mari kita bertahan dalam proses penempaan diri kita, agar kita menjadi orang-orang yang berguna bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

494

10 September 2010

Mengandalkan Tuhan dalam Hidup




Suatu hari, seorang pedagang kain melintasi sebuah perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya, melongok keluar jendela dan melihat pedagang itu membawa bakul berisi kain-kain yang indah. Wanita tersebut terpikat dan menawar beberapa lembar kain dengan harga dua juta rupiah.

Ketika pedagang itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi tiga juta rupiah. Tanpa pikir panjang, pedagang itu pun setuju. Ia menyerahkan beberapa kain lembar itu. Rupanya itulah kain-kain terakhir yang tersisa hari itu. Hatinya terasa riang sekali. Ia boleh pulang ke rumah dengan hati yang lega. Istri dan anak-anaknya akan menyambutnya dengan uang yang banyak.

Namun sial baginya. Tidak begitu lama berjalan, seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati. Perampok itu merampas uangnya dan kabur. Ia tak bisa berkutik. Ia menyerahkan semua uang hasil jualan kain hari itu. Ia melanjutkan perjalanan dengan penuh kekesalan.

Setiba di rumah, istri pedagang kain itu menerima kedatangan suaminya dengan penuh prihatin. Ia tidak habis pikir, mengapa sang suami bisa kehilangan uang yang banyak. Namun ia menghibur suaminya, ”Sudahlah. Jangan terlalu memikirkan peristiwa itu. Yang penting bapak selamat. Uang itu hanyalah barang duniawi yang dapat binasa. Jadi kesedihan seperti itu jangan dibuat lama-lama. Kita mesti sadar bahwa kita tak pernah memiliki apa pun di bumi. Kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan, jika kita kehilangan sesuatu.”

Banyak orang sedih ketika kehilangan harta. Mengapa? Karena harta itu sangat berharga. Bahkan ada orang yang rela mengorbankan kehormatan dirinya hanya untuk mengumpulkan hartanya. Begitu banyak orang melakukan hal-hal yang tidak senonoh hanya untuk mengumpulkan harta duniawi.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa harta bukanlah segala-galanya dalam hidup ini. Harta dapat hilang dalam waktu sekejap. Harta hanyalah sesuatu yang sementara yang membantu manusia untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Harta hanyalah sarana bagi hidup manusia, bukan tujuan.

Karena itu, dalam salah satu pengajaranNya, Yesus berkata, ”Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”

Artinya, Yesus ingin agar manusia sungguh-sungguh menyadari pentingnya kehidupan ini. Kehidupan ini tidak hanya sekedar harta yang dapat binasa. Kehidupan ini lebih berharga daripada harta. Mari kita berusaha untuk menempatkan harta sebagai sarana bagi perjalanan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh menggantungkan hidup pada kuasa Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

493


09 September 2010

Merebut Peluang untuk Kehidupan yang Lebih Baik



Seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya. Ia berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur dan kondisi finansial keluarganya morat marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumahnya dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan caranya memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Kadang-kadang dia sangat sedih memikirkan nasibnya, anak-anak sudah lama tak dibelikan pakaian. Istrinya sering marah-marah, karena tidak dapat membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga yang lebih layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi itu dan tak yakin bahwa perjalanannya kali inipun membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran, ia membungkuk dan mengambilnya. Melihat apa yang diinjaknya, ia berkata, ”Uh…., hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok.”

Meski begitu, ia membawa koin itu ke sebuah Bank. Melihat koin itu, teller berkata, ”Sebaiknya koin ini bapak bawa saja ke kolektor uang kuno.”

Lelaki itu pun mengikuti saran. Ia membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 300 ribu rupiah. Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok itu.

Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia ingin membuatkan beberapa rak untuk istrinya, karena istrinya pernah mengeluh tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 300 ribu rupiah, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat meubel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan meubel. Dia menawarkan uang sejumlah satu juta rupiah kepada lelaki itu. Laki-laki itu tampak ragu-ragu, sehingga pengrajin itu meyakinkan dan menawarkan dapat menukar dengan sebuah lemari seharga satu juta rupiah.

Lelaki itu berpikir, ”Ya, sudahlah, aku tukar saja daripada aku juga akan membuat lemari. Toh juga sudah untung harganya jauh lebih tinggi”. Lelaki itu meminjam gerobak pengerajin dan dia pun segera membawa pulang lemari tersebut.

Dalam hidup ini satu hal yang penting adalah kreativitas dalam menangkap peluang-peluang yang ada. Peluang yang ada mesti ditangkap dengan baik untuk kemajuan hidup ini. Hanya dengan cara demikian, orang dapat menemukan suatu hidup yang lebih baik. Hanya dengan demikian, orang dapat menemukan hidup yang bahagia dan damai.

Namun banyak orang sering tidak peduli terhadap peluang-peluang yang ada. Mereka membiarkan peluang-peluang itu berlalu begitu saja. Padahal peluang-peluang itu sangat berharga bagi hidup mereka. Orang seperti ini biasanya orang yang hanya mau cari enak. Orang yang tidak mau bersusah payah dalam hidupnya. Orang seperti ini hanya menyia-nyiakan waktu hidupnya. Mengapa? Karena peluang itu akan pergi begitu saja. Peluang itu akan hilang.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menggunakan peluang-peluang yang ada untuk membangun hidup kita. Kita tidak perlu menunggu butir-butir emas jatuh dari langit ke atas tangan kita. Kita tidak perlu menunggu koin penyok yang mahal harganya. Bahkan kita sendiri mesti menciptakan peluang untuk diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

492

08 September 2010

Berani Berguru dari Kesalahan

Suatu hari seorang petani tua menyusuri sebuah jalan yang panjang. Pada bahunya melintang sebuah tongkat dari bambu. Di ujung tongkat bambu itu tergantung sebuah guci keramik yang berisikan sup kacang kedelai. Setelah beberapa saat, tiba-tiba ia jatuh tersungkur. Guci itu jatuh, pecah dan sup kacang kedelai itu jatuh berantakan.

Sang petani lalu bangun dan meneruskan perjalanannya tanpa menoleh ke arah sup yang terjatuh itu.

Seorang laki-laki memperhatikan kejadian tersebut. Laki-laki itu lalu cepat-cepat mendekati si petani dan berkata, "Pak, guci Bapak pecah dan sup-nya berantakan."

Petani itu menjawab, "Ya, saya tahu. Tadi saya mendengarnya."

Dengan penuh keheranan si laki-laki itu bertanya lagi, "Mengapa Bapak tidak kembali dan berbuat sesuatu?"

Dengan tenang petani tua itu menjawab, "Guci itu sudah pecah dan sup-nya sudah tidak dapat dimakan lagi. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan."

Apa yang mau kita lakukan terhadap sesuatu yang tidak berguna lagi? Mungkin Anda akan bersikap seperti petani yang kehilangan guci dan sup itu. Anda tidak peduli atas apa yang telah hilang dari Anda. Mungkin Anda tidak terlalu larut memikirkan hal itu.

Namun ada orang yang seringkali menghabiskan waktu dan energi untuk menyesali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Seolah-olah kesalahan yang telah dibuatnya itu sungguh-sungguh menyita begitu banyak perhatian. Padahal setiap hari kita melakukan kesalahan-kesalahan. Setiap hari kita dapat kehilangan hal-hal yang begitu penting dalam hidup kita.

Sebetulnya kalau kita pikirkan lebih jauh lagi, kita akan menyadari bahwa hal-hal tersebut sudah terjadi dan kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasnya. Satu hal yang dapat kita lakukan ialah menjadikan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan itu sebagai pelajaran yang berharga yang akan membantu kita untuk tidak melakukannya lagi.

Ada pepatah mengatakan bahwa kegagalan itu guru yang baik untuk kesuksesan yang akan datang. Kalau Anda berani menghadapi resiko dalam hidup Anda, Anda akan meraih kesuksesan dalam hidup ini. Tetapi kalau Anda takut untuk melakukan kesalahan dalam hidup Anda, Anda akan tetaplah sebuah patung yang duduk manis. Anda tidak bisa belajar dari kesalahan yang telah Anda buat.

Sebagai orang beriman, kita punya jaminan yaitu Tuhan. Tuhan memberikan jaminan bagi kita untuk dapat melangkah lebih pasti dalam hidup ini. Karena itu, ketika kita melakukan kesalahan, kita tidak usah takut untuk memohon ampun dari Tuhan. Kita memohon, agar Tuhan memberi kita kekuatan untuk terus-menerus melakukan perbuatan-perbuatan baik, meskipun ada kesalahan-kesalahan yang menimpa kita. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


491

07 September 2010

Membangun Jembatan Persahabatan



Ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Saling meminjamkan peralatan pertanian. Mereka bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan.

Namun kerjasama yang akrab itu kini retak. Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur sapa.

Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. Kata pria itu dengan ramah, "Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan. Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan."

Jawab sang kakak, "Oh, ya. Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana? Itu adalah rumah tetanggaku. Ah, sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu, sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah
kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku. Tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku, sehingga aku tidak perlu lagi melihat. Pokoknya, aku ingin melupakannya.”

Kebencian terhadap seseorang dapat membuat orang melupakan pesaudaraan. Bahkan hal seperti ini bisa terjadi di antara saudara sekandung. Persahabatan dan persaudaraan yang telah terbangun begitu lama mesti berakhir dengan tragis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena orang lebih mementingkan diri sendiri. Orang hanya ingin mencari selamat sendiri. Akibatnya, orang lupa bahwa keselamatan sesama juga menjadi hal yang penting dalam hidup ini.

Untuk itu, dibutuhkan suatu jembatan yang dapat menghubungkan kembali persaudaraan dan persahabatan itu. Orang mesti berani membangun jembatan, bukan membentengi diri dengan tembok yang tinggi. Orang mesti berani mengubah cara pandang dari memandang secara negatif sesama menjadi memandang sesama dari segi positif.

Tentu saja hal ini tidak muda. Namun kalau orang sungguh-sungguh menyadari kehadirannya sebagai orang beriman, orang akan lebih mengutamakan persaudaraan dan persahabatan. Orang akan berusaha untuk menjadi saudara dan sahabat bagi sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mendahulukan persaudaraan dan persahabatan. Dengan cara ini, kita dapat menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

490

06 September 2010

Perjuangkanlah Hidup yang Indah Ini

Di depan para muridnya, seorang guru menceritakan pengalaman bertemu dengan seorang veteran Perang Dunia II. Pada suatu hari, prajurit tersebut harus menerbangkan ratusan pekerja rodi dari China untuk menggarap proyek jalan di Myanmar.

Jarak tempuh cukup jauh. Karena itu, untuk menghilangkan kebosanan dalam perjalanan itu, para pekerja itu menghabiskan waktu mereka dengan bermain kartu. Mereka bertaruh. Awalnya mereka bertaruh dengan menggunakan uang dan harta yang melekat pada badan mereka. Makin lama makin seru. Lama-kelamaan mereka kehabisan apa yang mereka miliki. Akibatnya, mereka mempertaruhkan hidup mereka. Yang kalah harus terjun keluar pesawat tanpa parasut.

Tiba-tiba seorang murid di kelas itu berteriak, ”Alangkah mengerikan dan kejamnya mereka.”

Guru itu menjawab, ”Memang, sungguh-sungguh mengerikan. Tetapi dengan begitu permainan semakin menjadi ramai dan asyik.”

Murid-murid mendengarkan guru itu. Tetapi ada juga yang tidak setuju dengan perbuatan para pekerja itu. Lantas guru itu berkata, ”Anak-anak semua, kalian semua baru bisa mensyukuri hidup ini, kalau kalian pernah mempertaruhkannya.”

Hidup itu indah. Hidup ini begitu berharga. Apa pun yang kita lakukan mesti mencerminkan perjuangan untuk mempertahankan hidup kita. Tetapi bukankah manusia sering lalai dalam hidup ini? Lihat saja begitu banyak orang tidak peduli akan nyawa mereka. Di tengah lalulintas yang padat, misalnya, masih saja kita saksikan banyak pengendara kendaraan bermotor yang nyerobot. Mereka ingin cepat-cepat. Atau kadang-kadang mereka hanya mau memperlihatkan kehebatan mereka dalam berkendaraan. Nanti kalau sudah terjadi kecelakaan, baru orang akan menyadari betapa hidup itu sangat berharga.

Kisah tadi mau menunjukkan kepada kita bahwa memperjuangkan hidup itu semestinya menjadi hal utama. Bagaimana jadinya kalau seseorang kehilangan hidupnya? Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia habis. Ia hanya tinggal nama. Kalau ia orang baik, ia masih beruntung karena masih ada orang yang mengenang kebaikannya. Tetapi kalau ia seorang yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, ia akan dicaci maki oleh banyak orang.

Karena itu, kesadaran untuk memperjuangkan dan mempertahankan kehidupan merupakan hal yang utama dalam hidup ini. Manusia dipanggil untuk mengembangkan dan memajukan hidupnya. Ketika kita menyadari hidup ini indah dan berharga, kita mesti mensyukurinya. Dengan demikian, kita dapat menemukan makna kehidupan ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

489

05 September 2010

Inspirasi Kehidupan 8

Photobucket

Klik gambar untuk memperbesar.

04 September 2010

Makna Sebuah Ketulusan Hati

Suatu hari seorang anak menghampiri meja kerja ayahnya. Lantas ia memungut sebatang pensil yang patah. Anak itu berkata, ”Boleh saya ambil, ayah?”

Ayahnya yang sedang sibuk memandangnya sekilas lalu mengangguk. Sambil tersenyum, ayahnya berkata, ”Ambil saja.”

Setelah itu, ayahnya lupa selamanya. Padahal bagi anaknya, pensil itu sangat berharga untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia bersyukur hari itu ia mendapatkan pensil untuk melukis. Setelah meruncingkan pensil itu, ia gunakan dengan baik.

Baginya, itulah alat yang sangat bermakna. Ia dapat mengungkapkan dirinya melalui pensil tersebut. Ia dapat melukis sebuah obyek dengan sangat indah. Itulah cara ia mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Melalui pensil itu ia dapat membagikan pengalaman hidupnya kepada orang lain.

Dengan hati yang tulus anak itu telah mendapatkan pensil itu. Dengan hati yang tulus pula ia membagikan pengalaman hidupnya kepada sesama melalui lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang mengagumi lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang menyukai karya-karyanya.

Ketulusan hati di jaman sekarang sudah menjauh dari hidup manusia. Mengapa bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena manusia lebih mementingkan egoismenya. Apa yang dilakukan itu demi kepentingan dirinya sendiri saja. Kepentingan sesama dikesampingkan.

Orang yang memiliki ketulusan hati yang besar biasanya mengerjakan sesuatu tanpa tedeng aling-aling. Orang seperti ini berani menularkan apa yang dimilikinya kepada sesamanya. Ilmu yang dimiliki itu bukan dipakai hanya untuk diri sendiri. Ilmu yang dimiliki itu digunakan untuk kesejahteraan sesama.

Orang yang tulus hati biasanya berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Ia tidak peduli seberapa besar korban yang akan ia berikan. Baginya, korban itu menjadi suatu keharusan. Mengapa? Karena itulah hakekat manusia. Manusia mesti berani memberikan hidupnya bagi sesamanya.

Apakah orang beriman berani untuk memiliki ketulusan hati dalam hidup ini? Bukankah banyak orang beriman yang takut untuk berkorban bagi sesamanya? Bukankah banyak orang beriman yang berpikir terlalu panjang dan berliku-liku, ketika mesti membantu sesamanya?

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang tulus terhadap sesama kita. Kita ingin melakukan sesuatu untuk sesama dengan sepenuh hati kita. Dengan demikian, kita dapat menyumbangkan hidup dan karya kita bagi sesama. Kita dapat membangun suatu relasi yang baik yang dapat menyejahterakan sesama. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

488

03 September 2010

Menabur Kebaikan bagi Hidup Bersama


Suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ia mendekat ke arah suara itu. Ia menemukan seorang pemuda yang sebaya dengannya yang sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak ia malah semakin dalam terperosok. Ia mengulurkan tangannya kepada pemuda yang bergumul dengan lumpur itu. Tidak mudah ia menariknya ke atas. Setelah usaha keras sekitar tiga jam, ia berhasil menyelamatkannya.

Setelah berhasil menyelamatkannya, ia membawanya pulang ke rumahnya. Pemuda, sang penyelamat, sangat terkagum-kagum melihat rumah yang diselamatkan itu begitu besar, tertata rapih dan indah.

Ayah pemuda yang diselamatkan itu sangat berterima kasih atas perbuatan baik pemuda itu. Ia memberinya hadiah berupa uang sebagai ucapan terima kasih telah menyelamatkan nyawa anaknya. Namun pemuda itu menolaknya. Ia berkata, ”Sudah sepantasnya orang saling menolong. Apalagi ada sesama yang sedang berada dalam kesulitan.”

Sebagai ganjarannya, keduanya menjalin persahabatan yang sangat baik. Lama-lama ketahuan oleh bapak yang kaya raya itu kalau pemuda itu seorang yang miskin. Ia punya cita-cita menjadi dokter, namun tidak punya biaya. Bapak yang kaya raya itu tergerak hatinya untuk membiayai semua biaya sekolahnya. Pemuda itu pun berhasil dalam studinya dan menjadi dokter yang terkenal. Ia tetap menjalin persahabatan dengan keluarga itu. Bahkan keluarga itu ia anggap sebagai keluarganya sendiri.

Ada ungkapan bahwa yang menabur banyak akan menuai banyak. Yang menabur sedikit akan menuai sedikit. Yang menabur kebaikan akan menuai kebaikan. Yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan pula. Tentu saja orang yang menabur kebaikan menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi semua orang. Ia tidak peduli akan berapa banyak kebaikan yang akan diterimanya sebagai balasan. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana orang lain menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini.

Namun ada juga orang yang menabur kejahatan. Hal-hal kriminal menjadi bagian dari hidupnya. Orang seperti ini selalu berpatokan pada dirinya sendiri, egonya sendiri. Yang selalu dibangun adalah seberapa besar keuntungan yang akan ia peroleh untuk dirinya sendiri. Yang diusahakannya adalah hal-hal yang dapat memenuhi dirinya sendiri.

Tentu saja sikap seperti ini bertentangan dengan panggilan manusia untuk hidup berdamai dengan semua orang. Orang yang mau hidup berdamai itu orang yang punya kepedulian untuk kebaikan sesamanya. Orang yang mudah tergerak hatinya untuk kebaikan sesamanya. Bukan orang yang melakukan segala sesuatu untuk keuntungan bagi dirinya sendiri.

Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk membawa kebaikan bagi sesama. Yang mesti ditaburkan oleh orang beriman adalah kebaikan demi kebaikan. Orang beriman selalu menjauhkan dirinya dari hal-hal yang jahat yang merusak relasi dengan sesama. Mari kita berusaha untuk menabur kebaikan, agar hidup ini semakin memiliki makna. Menabur kebaikan sebanyak mungkin mesti menjadi obsesi utama orang beriman. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


487

02 September 2010

Berani Mengubah Cara Pandang


Suatu hari seorang maharaja akan berkeliling untuk melihat situasi hidup rakyatnya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Tetapi baru saja beberapa langkah berjalan di luar istana, kaki sang raja terluka. Kakinya terantuk batuk. Ia sangat kecewa melihat kondisi jalan seperti itu.

Ia pulang lagi ke istana. Ia berpikir untuk memperbaiki jalan-jalan. Ia memanggil semua menterinya. Ia berkata, “Ternyata jalan-jalan di negeri ini begitu jelek. Banyak batu dan berlobang-lobang. Siapkan anak buahmu untuk memperbaiki jalan-jalan di seluruh negeri. Caranya adalah dengan melapisi seluruh jalan dengan kulit sapi yang terbaik.”

Para menterinya terkejut mendengar perintahnya. Namun tidak satu pun yang berani bertanya. Yang mesti mereka lakukan adalah melaksanakan perintah sang raja. Kemudian mereka mengumpulkan semua sapi di seluruh negeri itu. Mereka mulai menyeleksi sapi-sapi yang terbaik untuk diambil kulitnya.

Di tengah-tengah perencanaan, seorang pertapa yang saleh mendengar tentang keinginan sang maharaja. Ia pun keluar dari pertapaannya. Ia mendatangi sang maharaja. Ia berkata kepada raja, “Paduka raja, mengapa paduka hendak membuat sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan di negeri ini? Berapa banyak sapi yang akan mati sia-sia? Bukankah yang paduka perlukan hanyalah dua potong kulit sapi untuk melapisi kaki paduka?”

Sang maharaja setuju dengan pandangan sang pertapa. Ia menghentikan rencananya untuk membangun jalan menggunakan kulit sapi yang terbaik. Ia memerintahkan para menterinya untuk membuat sandal kulit dari sapi.

Banyak orang berpikir bahwa untuk mengubah orang lain, mereka mesti mengubah segala sesuatu. Untuk mengubah dunia, orang mesti mengubah segala sesuatu. Ternyata yang dibutuhkan hanyalah perubahan dari cara pandang seseorang. Yang dibutuhkan adalah perubahan hati. Yang sungguh-sungguh mendesak adalah perubahan tingkah laku dari kita.

Orang yang tergesa-gesa ingin mengubah orang lain, akan menemui jalan buntu. Mengapa? Karena orang sering memaksakan kehendak pribadinya yang belum tentu cocok dengan apa yang terjadi dalam diri orang lain. Demikian pula orang yang mau mengubah dunia dengan pikirannya sendiri akan mengalami frustrasi. Mengapa? Karena dunia yang dipikirkan adalah dunianya sendiri. Suatu dunia yang sempit. Suatu dunia yang bagai katak di bawah tempurung.

Karena itu, orang perlu mengubah cara pandangnya. Orang mesti berani mengubah paradigma berpikirnya. Hanya dengan cara seperti itu, orang akan mampu melakukan perubahan atas dunia ini. Dengan demikian, orang akan mampu membawa damai dan sukacita dalam hidup bersama.

Mari kita berusaha untuk memandang dunia secara lebih obyektif. Tidak hanya berdasarkan kemauan dan keinginan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


486

01 September 2010

Inspirasi Kehidupan 4




Klik gambar untuk memperbesar.

Menghargai Waktu dalam Hidup

Bayangkan, seseorang meminjami Anda uang sebanyak Rp 86.400 setiap pagi. Semua uang itu mesti Anda gunakan. Setiap malam, bank itu akan menghapus semua uang yang tidak Anda gunakan hari itu. Apa yang akan Anda lakukan dengan uang pinjaman Anda? Bisa ditebak, Anda pasti menghabiskan semua uang pinjaman itu.

Setiap orang memiliki bank seperti itu. Namanya waktu. Setiap pagi ia akan memberikan kepada setiap orang 86.400 detik. Pada malam harinya, ia akan menghapus sisa waktu yang tidak Anda gunakan untuk tujuan yang baik. Alasanya, ia tidak memberikan sisa waktunya kepada Anda. Ia juga tidak memberikan waktu tambahan.

Setiap hari ia akan membuka rekening baru untuk Anda. Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa. Karena itu, kalau Anda tidak menggunakannya dengan baik, Anda akan mengalami kerugian. Anda tidak bisa menariknya kembali. Anda juga tidak bisa minta uang muka untuk keesokan harinya. Anda harus hidup di dalam simpanan hari ini.

Waktu ternyata begitu penting dalam hidup manusia. Orang yang tidak menyadari pentingnya waktu biasanya membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa makna. Akibatnya, orang membuang-buang waktu hidupnya hanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Ketika masih muda, orang kurang peduli terhadap waktu. Orang baru merasa menyesal telah menyia-nyiakan waktu itu, ketika ia sudah beranjak tua. Orang seperti ini merasa kekurangan waktu. Padahal waktu yang diberikan kepada setiap orang itu cukup.

Jadi apa yang mesti kita buat terhadap waktu yang kita miliki? Orang Inggris mengatakan bahwa time is money. Waktu adalah uang. Orang mesti menggunakan waktu itu sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidupnya. Orang mesti menggunakan waktu itu sedemikian rupa, sehingga setiap detik perjalanan hidupnya menjadi bermakna.

Karena itu, orang mesti menghargai waktu yang telah diberikan dengan cuma-cuma oleh sang pencipta. Tuhan begitu baik kepada manusia. Tuhan ingin agar manusia pun menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya. Itulah tanda syukur seseorang terhadap kebaikan sang pencipta.

Orang beriman selalu melihat waktu dalam konteks perhatian Tuhan kepada manusia. Tuhan begitu mengasihi manusia. Karena itu, Tuhan memberikan manusia kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik bagi hidupnya. Hanya dengan menghargai waktu, orang beriman senantiasa bersyukur atas panggilan hidupnya. Orang beriman tidak lupa akan kebaikan sang pencipta. Orang beriman selalu setia kepada Tuhan yang selalu setia kepadanya.

Mari kita berusaha untuk menggunakan waktu kita sebaik-baiknya. Waktu yang terbuang percuma yang menyengsarakan kita. Waktu yang digunakan dengan sebaik-baiknya memberikan kita kebahagiaan dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

485