Pages

25 Februari 2011

Berusaha Memiliki Hati Nurani yang Jernih




Peraih penghargaan People of The Year Indonesia tahun 2009 lalu adalah seorang nenek tua bernama Nenek Minah. Ia menjadi terkenal, karena ia mencuri tiga buah kako milik sebuah PT. Pikirannya sederhana saja sewaktu ia mengambil tiga buah kakao itu, yaitu untuk dijadikannya bibit. Namun ia ditangkap dan dilaporkan ke polisi yang kemudian melimpahkannya ke kejaksaan. Nenek Minah kemudian diproses hukum. Keputusannya, ia harus menjalani hukuman percobaan selama satu bulan lima belas hari. Kalau dalam kurun waktu itu ia melakukan kesalahan yang sama, ia harus masuk penjara.

Banyak orang kemudian mengecam keputusan tersebut. Mereka membandingkannya dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang-orang terkenal dengan musnahnya uang negara dalam jumlah besar.

Karena itu, Nenek Minah mendapatkan simpati dari berbagai pihak. Rasa keadilan semestinya ditumbuhkembangkan dalam hidup manusia, meskipun pencurian tetap saja berdosa. Banyak orang menyesalkan hukuman yang ditimpakan kepada Nenek Minah. Semestinya dia mendapatkan pembebasan dari kesalahan dan keteledorannya mengambil milik orang lain tanpa ijin.

Senin (28/12) yang lalu, Nenek Minah mendapatkan hadiah istimewa dari Presiden Republik Mimpi, Si Butet Yogya (SBY). Butet Kertarajasa menghadiahi Minah 5 biji kakao untuk ditanam sebagai bibit.

Effendi Gazali yang hadir pada saat itu bertanya, “Jadi nenek mencuri biji kakao untuk apa?”

Nenek Minah menjawab, “Buat bibit.”

Ratusan penonton yang hadir di malam penghargaan People of The Year pun tertawa mendengar jawaban Nenek Minah. Penghargaan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (28/12/2009).

Sahabat, begitulah peristiwa nyata yang menimpa rakyat kecil seperti Nenek Minah. Ketidakberdayaannya telah membawanya ke meja hijau. Setelah diadili, ia pun mesti menjalani hukuman. Padahal yang dia lakukan tergolong sangat kecil. Sebenarnya ia tidak perlu diadukan ke polisi. Semestinya ia diberi pengampunan dengan pesan untuk tidak melakukannya lagi. Semestinya pihak PT lebih memiliki hati nurani yang jernih untuk memperlakukan orang seperti Nenek Minah itu.

Untuk itu, apa yang mesti dilakukan oleh setiap orang ketika berhadapan dengan situasi seperti itu? Yang mesti dilakukan adalah orang membuat pembedaan roh. Mana sebenarnya mesti diberi perhatian lebih dan mana hal yang mesti diberi pengampunan? Pembedaan roh itu mampu membantu manusia untuk memilah-milah hal-hal yang sungguh-sungguh membantu manusia untuk keluar dari kesulitan.

Karena itu, dibutuhkan suara nurani yang jernih. Artinya, suara nurani itu mampu memberikan tuntunan bagi seseorang untuk memutuskan yang baik dan benar bagi sesamanya. Kalau orang mampu membantu sesamanya untuk hidup baik, orang akan menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang seperti ini biasanya memandang kehidupan bukan hanya dari segi hitam atau putih. Ia memandang hidup secara lebih luas. Dengan demikian, sesama akan menemukan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

623

24 Februari 2011

Berkorban bagi Sesama yang Membutuhkan

Sehari dayung, tiga empat pulau didatangi. Begitulah pengabdian sang bidan di daerah terpencil Riau seperti Herawati. Rasa capek, lelah dan panas menjadi makanan sehari-hari Herawati yang dijuluki bidan pongpong, karena selalu setia melayani masyarakat kecil dengan sampannya.

Tidak banyak memang, bidan yang pernah punya pengalaman membantu melahirkan bayi di atas sampan. Pengalaman itulah yang dialami bidan Herawati asal Riau. Untuk itu, ia dinobatkan sebagai bidan inspirasional pada Srikandi Award 2009.

Herawati adalah satu dari tiga bidan inspirasional yang dianggap memberi inspirasi dalam memajukan kesehatan masyarakat, khususnya di kepulauan Riau.

Bidan kelahiran Duaralingga, 20 Desember 1976 ini, setiap hari harus mengarungi 3 hingga 4 pulau untuk menemui masyarakat yang membutuhkan bantuannya.

Ia berkata, ”Di kepulauan Riau itu ada sekitar 8 pulau. Hampir seperempat penduduknya adalah suku laut. Jadi untuk menemui masyarakat saya harus berkeliling dari satu pulau ke pulau lainnya.”

Untuk mengarungi pulau-pulau tersebut, Herawati menggunakan sampan kayu khas Riau yang disebut Pongpong. Dengan demikian, masyarakat mengenalnya sebagai bidan pongpong.

Saat ini Herawati menangani 6 posyandu yang satu sama lain terpisahkan oleh laut. Untuk menempuh jarak antar pulau tersebut dibutuhkan waktu sekitar 45 menit hingga satu jam.

Sahabat, pengorbanan seperti yang telah diperlihatkan oleh Herawati sungguh-sungguh menyentuh hati kita. Ia tidak kenal lelah mendatangi sesamanya yang membutuhkan uluran tangannya. Ia berusaha menyelamatkan sesamanya. Karena itulah panggilan hidupnya sebagai manusia.

Hati kita mestinya gembira mendengar kisah seperti yang dialami oleh Herawati. Mengapa? Karena begitu banyak kriminalitas yang kita alam dalam hidup ini. Begitu banyak orang kurang menghormati kehidupan. Dari berita-berita kita dengar atau lihat ada anak yang ditelantarkan orangtuanya. Ada anak yang dibuang oleh orangtuanya begitu dilahirkan. Bahkan ada janin-janin tak berdosa yang digugurkan.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Hal itu bisa terjadi karena kurang cinta manusia terhadap sesama. Ada egoisme yang begitu kuat membentengi hati manusia. Ada penolakan manusia terhadap kehadiran sesamanya. Hati manusia tertutup oleh keinginan untuk mencari selamat bagi diri sendiri.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa berjuang untuk mengubah hati kita yang keras menjadi lembut. Hati yang lemah lembut adalah hati yang dirindukan oleh semua orang di jaman sekarang ini. Hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan dan cinta yang murni. Herawati telah menjadi contoh bagi kita. Ia memiliki hati yang mudah tergerak oleh kebutuhan sesamanya. Dengan dia berani berlayar dari pulau yang satu ke pulau yang lain untuk membantu sesamanya.

Mari kita berusaha memiliki hati yang mudah tergerak oleh kebutuhan sesama. Dengan demikian, dunia ini menjadi tempat yang indah untuk didiami oleh manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

622

23 Februari 2011

Memiliki Hati Baru yang Mudah Tergerak


Suatu hari seorang anak diajak oleh ibunya untuk berbelanja, karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Anak itu sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain. Ia bukan orang yang sabar. Tetapi ia berangkat juga ke pusat perbelanjaan.

Mereka mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita. Sang ibu mencoba gaun demi gaun, tetapi mengembalikan semuanya. Mereka pun mulai lelah. Sang ibu mulai frustasi. Akhirnya, pada toko terakhir sang ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya.

Sang anak yang tidak sabar itu ikut masuk dan berdiri bersama ibunya dalam ruang ganti pakaian. Ia melihat bagaimana ibunya mencoba pakaian tersebut. Dengan susah payah ibunya mencoba untuk mengikat talinya. Ternyata, tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi. Dia tidak dapat melakukannya. Sang yang tidak sabar itu akhirnya jatuh kasihan terhadap sang ibu. Ia pun mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah. Sang ibu pun memutuskan untuk membelinya.

Anak itu berkata dalam hati, “Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya.”

Suatu sore, anak itu pergi ke kamar ibunya. Ia meraih tangan sang ibu dan menciumnya. “Kedua tangan ibu ini adalah tangan-tangan yang paling indah di dunia ini. Terima kasih, ibu.”

Sahabat, kita sering kali mengukur kemampuan orang lain dari kemampuan diri kita sendiri. Kita sering kurang peduli terhadap kekurangan dan keterbatasan orang lain. Yang kita kehendaki adalah orang lain juga seperti kita. Kuat seperti kita ketika menghadapi berbagai persoalan hidup. Kita mau supaya orang lain tegar dan punya pendirian yang kuat seperti kita. Padahal tidak semua orang memiliki kekuatan seperti kita.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kepekaan kita terhadap situasi hidup orang lain akan memampukan kita mudah memahami kondisi orang lain. Tetapi kita tidak hanya berhenti pada pemahaman akan kondisi sesama kita. Yang dibutuhkan adalah kita memiliki hati yang baru. Hati yang baru itu hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan. Hati yang mau membantu sesamanya yang sedang sakit dan menderita.

Hati yang baru seperti ini hati mampu memberikan semangat hidup dan kesembuhan bagi sesama yang menderita. Karena itu, orang beriman mesti senantiasa memiliki hati yang mudah tergerak oleh penderitaan sesama. Orang beriman itu tidak membiarkan sesamanya berlarut-larut dalam penderitaan. Tetapi orang yang mudah tanggap terhadap situasi hidup sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

621

20 Februari 2011

Pengampunan Itu Kekuatan yang Menyembuhkan


Seorang anak mudah sekali sakit. Capek sedikit saja ia akan batuk-batuk lalu demam dan sakit. Ia harus beristirahat satu atau dua hari agar tubuhnya kembali sehat. Ibunya sering cemas menyaksikan kondisi anaknya seperti itu. Ia sudah berusaha untuk mengatasi kondisi anaknya. Namun namanya saja anak kecil. Tidak gampang mengarahkan anaknya itu untuk mengikuti setiap nasihatnya.

Suatu hari anak itu jatuh sakit. Soalnya sebenarnya sepele saja. Waktu hujan deras menerpa kota, anak itu bermain hujan-hujanan. Ia lari ke sana ke mari. Ayahnya sudah memperingatkannya, namun ia tidak mau berhenti juga. Bahkan ayahnya mengancamnya, ia tidak mau patuh juga. Akibatnya, ia menggigil di waktu malam. Badannya panas. Ia tidak bisa tidur. Keesokan harinya ia tidak bisa pergi ke sekolah.

Hari itu juga ibunya membawanya ke rumah sakit. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata ia harus menjalani rawat inap. Anak itu merasa takut terhadap ayahnya, karena ia tidak patuh terhadap ayahnya. Ketika ayahnya datang berkunjung, ia semakin takut. Hatinya berdebar kencang. Dalam kondisi seperti itu, tubuhnya semakin sakit. Demamnya semakin meninggi. Ia menggigil.

Ia takut dimarahi. Ia takut kalau-kalau ayahnya akan memukulnya. Dalam hati ia berdoa, “Tuhan, bantulah aku. Tahanlah tangan ayah saya, agar dia tidak memukul saya.” Sementara itu, sakitnya bertambah parah.

Tetapi yang dipikirkannya itu tidak terjadi. Justru ayahnya tersenyum kepadanya. Ayahnya mengelus-elus rambutnya dengan penuh kasih sayang. Lantas ayahnya berkata, “Nak, papa tidak memarahimu. Papa memaafkanmu.”

Kata-kata itu membangkit semangat dalam diri anak itu. Tidak lama kemudian ia sembuh. Ia bangkit dari tempat tidurnya. Panas tubuhnya pun turun menjadi normal. Ia memeluk ayahnya erat-erat. Ia berkata, “Ayah, mari kita pulang. Saya sudah sembuh.”

Sahabat, pengampunan ternyata menjadi obat yang mujarab bagi mereka yang sakit. Kata-kata pengampunan itu memberikan makna yang terdalam bagi hidup manusia. Manusia menemukan kembali jati dirinya sebagai orang yang pantas dikasihi. Kemarahan hanya membuat orang terkungkung dalam penderitaan.

Karena itu, orang yang sakit mesti diberi suntikan pengampunan. Pengampunan itu bersumber dari kasih yang memberi hidup. Kasih yang senantiasa memberi semangat untuk menemukan hidup ini semakin baik dan indah. Hidup yang demikian adalah hidup yang dikehendaki oleh Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberikan semangat hidup kepada sesama yang berada dalam kondisi lemah dan sakit. Kita memberi hiburan dan kekuatan yang mampu membantu mereka yang sedang sakit dapat segera sembuh kembali. Dengan demikian, mereka mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

620

19 Februari 2011

Berusaha Memberdayakan Kemampuan



Namanya Josephine Komara. Perempuan berusia 54 tahun ini telah menggeluti kain selama 37 tahun. Hal yang paling membanggakan dirinya adalah dia masih teguh memegang etika. Ia punya usaha dengan nama Bin yang diambil dari nama panggilannya, yaitu Obin.

Dalam suatu acara, ia berkata, ”Tak pernah sekali pun menyontek. Bin itu orisinal. Ini bisa diverifikasi dengan orang-orang yang berhubungan dengan Bin.”

Obin memang mempertahankan keasliannya. Hal itu dapat ia pertahankan, karena ia bekerja dengan hati. Ia tidak hanya mencari keuntungan saja. Tetapi ia mengutamakan kepuasan dari para pelanggannya.

Tentang hal ini, Obin berkata, ”Saya bekerja pakai nalar dan naluri, bekerja dengan hati.”

Obin yang menyelesaikan pendidikan formal hanya hingga kelas 6 SD menggulati kain sejak usia 17 tahun. Dia memulai dengan membuat kain interior. Setelah melalui 15 tahun mencoba dan mencoba, Obin dan Bin House memasukkan kain sebagai busana. Ini setelah ia menemukan cara memintal dan menenun kain sutra menjadi tipis dan luwes.

”Tahun 1989 Bin House memadukan batik dengan tenun, yang orang tidak memikirkan sebelumnya,” kata Obin tentang orisinalitas Bin.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang gampang sekali menjiplak karya orang lain. Beberapa waktu lalu negara tentangga kita mengklaim beberapa karya seni milik bangsa kita. Bahkan sampai dipromosikan secara besar-besaran di internet sebagai milik bangsa tetangga tersebut. Rupanya mereka tidak menghargai orisinalitas karya orang lain.

Namun dari peristiwa itu kita dapat belajar tentang pentingnya hak paten terhadap sebuah karya tangan manusia. Batik kemudian diakui sebagai milik anak negeri ini oleh dunia internasional. Diharapkan juga anak-anak bangsa ini mau dengan penuh kesadaran menghargai karya-karya seni milik bangsa ini.

Kisah Obin memberikan inspirasi bagi kita tentang usaha-usaha untuk mengembangkan diri. Setiap orang diberi potensi yang mesti dikembangkan baik untuk hidup diri sendiri maupun untuk hidup banyak orang. Potensi-potensi itu adalah rahmat dari Tuhan sendiri yang mesti disyukuri. Cara mensyukurinya itu dengan mengembangkannya. Obin sudah mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, meski ia hanya lulus SD.

Kita dapat belajar dari perjuangan Obin untuk tetap setia pada komitmen orisinalitasnya. Ia tidak terpengaruh oleh cara-cara instan yang tidak wajar dengan menjiplak karya orang lain. Sebagai orang beriman, mari kita berusaha agar kita terus-menerus mengembangkan kemampuan-kemampuan kita. Dengan demikian, kita dapat membahagiakan diri kita sendiri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

619

18 Februari 2011

Memaknai Simbol-simbol dalam Hidup



Suatu hari seorang ibu kehilangan cincin perkawinannya. Siang harinya ia diajak oleh seorang perempuan yang tidak dikenal untuk pergi ke suatu tempat di kota itu. Ia ikut saja semua yang dikatakan oleh perempuan itu. Ketika perempuan itu memintanya untuk melepaskan cincin perkawinannya, ia ikut saja. Ketika diminta untuk memberikann cincin itu kepadanya, ibu itu pun menyerahkan benda yang sangat berharga itu.

Ibu itu baru sadar ketika perempuan muda itu meninggalkannya. Ia menangis. Ia berteriak histeris. Namun cincin kesetiaan itu telah lenyap. Nasi sudah menjadi bubur. Apalagi wajah perempuan muda itu pun tidak ia ingat lagi. Rupanya ia kena hipnotis. Beberapa saat kemudian ia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat kejadian. Ia menumpahkan kepedihan hatinya dengan menangis dan menangis.

Sang suami heran menyaksikan kondisi istrinya. Ia berusaha untuk membujuk istrinya, agar berhenti menangis. Namun sang istri tidak mau berhenti juga. Malam harinya baru ia tahu kalau sang istri menangis karena cincinnya telah lenyap. Suaminya berkata, ”Tidak usah terlalu bersedih hati. Saya yakin, kesetiaanmu tetap tinggi padaku. Kamu masih mencintai saya dan saya masih mencintaimu.”

Dengan wajah yang masih sedih, sang istri menjawab, ”Cinta saya kepadamu tidak akan hilang. Namun cincin perkawinan itu sangat berharga bagi saya. Itulah tanda ikatan perkawinan kita. Itulah tanda kesetiaan saya kepadamu. Ketika engkau melihat cincin yang saya kenakan, engkau yakin saya tetap mencintaimu.”

Sahabat, manusia itu hidup dengan tanda-tanda atau simbol-simbol. Cincin yang dikenakan suami istri menandakan cinta yang tak pernah lekang. Cinta yang terus-menerus hadir dalam hidup perkawinan. Cinta yang tetap membara, meski usia sudah uzur.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ibu yang kehilangan cincin itu ingin tetap mempertahankan bahtera perkawinannya. Ia ingin mengatakan kepada suaminya bahwa cintanya masih tetap membara. Ia ingin mengatakan bahwa kehadiran cincin di jarinya itu menandakan cintanya yang tulus kepada sang suami.

Manusia dapat tetap bertahan dalam hidup, karena cinta. Tentu saja cinta yang sejati yang senantiasa menjadi andalan hidup manusia. Cinta sejati itu tumbuh dan berkembang dalam keseharian hidup manusia. Cinta sejati itu bukan cinta yang dibuat-buat. Tetapi cinta yang ditumbuhkan dari kesahajaan hidup.

Karena itu, ketika cinta yang sejati itu hilang orang akan mengalami kegalauan dalam hidupnya. Orang akan mengalami hidup ini menjadi hambar tak bermakna. Orang menjadi linglung dan tidak tahu mau ke mana hidup ini diarahkan. Orang hidup bagai layang-layang putus.

Untuk itu, cinta yang sejati mesti selalu dipupuk. Cinta yang sejati mesti selalu dibangkitkan, agar memiliki buah-buah yang baik bagi kehidupan. Hidup ini memiliki makna yang mendalam bagi hidup. Dengan demikian, orang mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

618

17 Februari 2011

Membangun Sikap Solider terhadap yang Menderita


Rabu, tanggal 16 Desember lalu, Koin Peduli Prita hampir selesai dihitung Jumlah koin yang berhasil dihitung menembus angka Rp 532 juta. Luar biasa. Sebuah kepedulian yang muncul begitu saja ketika menyaksikan ada sesama yang membutuhkan. Beberapa hari sebelumnya Prita divonis denda sebesar Rp 202 juta atas tuduhan telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Tuntutan itu kemudian dicabut sendiri oleh rumah sakit tersebut.

Namun kepedulian terhadap Prita terus berjalan. Hingga hari Sabtu yang lalu jumlah uang yang terkumpul sebesar 600 juta rupiah. Koin sebanyak itu dibuat dalam enam mobil. Koin itu diserahkan kepada Prita pada tanggal 20 Desember yang lalu. Semuanya akan diserahkan kepadanya. Digunakan untuk apa, diserahkan kepada ibu yang sedang mengandung anak ketiga ini.

Menurut Prita, uang itu akan ia gunakan untuk membangun sebuah lembaga hukum yang punya solidaritas terhadap rakyat kecil. Menurutnya, banyak rakyat kecil yang mengalami ketidakadilan dalam hal hukum seperti yang pernah dialaminya. Namun mereka tidak punya biaya untuk perkara mereka. Akibatnya, mereka mesti mengalami penderitaan di penjara. Tidak ada yang bisa membantu mereka. Karena itu, lembaga yang akan didirikannya diharapkan mampu membantu sesama rakyat yang mengalami penderitaan seperti dirinya.

Sahabat, solidaritas terhadap sesama yang menderita selalu saja muncul. Memgapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena manusia memiliki hati nurani yang mudah tersentuh oleh penderitaan sesamanya. Ada sikap belarasa terhadap mereka yang sedang mengalami kesusahan dalam hidupnya.

Peristiwa yang dialami oleh Prita ternyata menggugah hati sesama. Dengan cara yang tampak sederhana, dengan mengumpulkan koin, rakyat menunjukkan kepedulian mereka. Hati rakyat mudah tersentuh. Hati nurani rakyat itu ternyata hati daging yang mudah tergerak oleh penderitaan sesamanya. Ternyata rakyat tidak memiliki hati batu yang keras yang tidak mudah digoyahkan.

Ketergerakan hati rakyat itu juga tampak ketika saat penghitungan koin itu. Tidak hanya orang-orang yang datang dari Jakarta dan sekitarnya. Ternyata ada juga yang datang dari daerah lain. Mereka datang sebagai ungkapan solider. Mereka mau menyatakan keberpihakan mereka terhadap sesama yang sedang mengalami penderitaan.

Sebagai orang beriman, kita juga mesti senantiasa memelihara hati kita, agar tetap tergerak oleh belas kasihan terhadap mereka yang menderita. Hal ini mampu membangkitkan semangat mereka yang sedang dilanda dukacita. Mereka kembali memiliki kekuatan untuk berjuang terus. Mari kita berusaha memiliki hati yang solider terhadap sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

617

16 Februari 2011

Memiliki Pikiran Yang Sehat dan Benar


Suatu hari seorang nenek mendengar seorang cucunya sedang mengumpat-umpat temannya melalui telepon. Cucunya itu berkata, ”Setan, kamu. Sudah saya bilang tidak boleh menyindir saya, kamu nekad.”

Mendengar umpatan itu, sang nenek berkata, ”Jangan sebut-sebut nama setan. Nanti bisa terjadi sungguhan, baru tahu kamu!”

Sang cucu tidak menggubris kata-kata neneknya. Malahan ia semakin menjadi-jadi mengumpat temannya itu. Ia berteriak-teriak seolah-olah ada maling yang sedang mencuri di rumahnya. Beberapa saat kemudian sang nenek menghardik cucunya. ”Kalau nanti setan itu sungguh-sungguh datang ke sini, kamu yang tanggung jawab. Nenek tidak mau reprot-repot mengusir setan itu.”

Benar. Keesokan harinya, setan itu benar-benar datang. Ia masuk ke dalam tubuh anak itu. Ia merasukinya selama setengah hari. Anak itu meronta-ronta. Ia berbicara tidak karuan. Sang nenek hanya bisa menyaksikan sang cucu yang sedang bergulat dengan setan. Untung, setang itu tidak merenggut nyawanya.

Setelah setan itu pergi, sang cucu mulai sadar. Ia tidak seharusnya mengumpat-umpat temannya dengan kata-kata setan dan kata-kata kotor yang lain. Ia pun meminta maaf kepada sang nenek.

Sahabat, dari kisah tadi kita dapat belajar bahwa pikiran yang kurang baik akan membuat suasana hidup kita kurang baik. Orang yang pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang negatif akan menemui hal-hal yang negatif pula dalam hidupnya. Mengapa? Karena pikiran yang negatif itu cenderung untuk dihayati dalam hidup sehari-hari. Orang yang berkata-kata kasar terhadap sesamanya sering muncul dari pikirannya yang kasar atau negatif tentang sesamanya.

Semakin banyak orang memiliki pikiran yang negatif atau kurang baik tentang sesamanya, orang akan terus-menerus menghidupinya. Perbuatan orang itu mengikuti apa yang ada dalam pikirannya. Hal ini sangat berbahaya, karena orang akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan dirinya sendiri. Orang tidak peduli terhadap orang-orang lain yang ada di sekitarnya.

Akibatnya, relasi antar sesama menjadi tidak harmonis. Hidup yang semestinya diwarnai oleh susana damai menjadi kacau balau. Masing-masing orang akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing orang mengandalkan kemauan dirinya sendiri. Kehendak diri sendiri diutamakan dalam membangun kehidupan. Situasi seperti ini cepat atau lambat akan menghambat kehidupan bersama.

Sebagai orang beriman, kita mesti membangun pikiran yang baik tentang sesama dan hidup ini. Dengan pikiran yang baik itu, kita memberikan image atau gambaran yang baik tentang sesama kita. Memang tidak mudah menciptakan gambaran yang baik tentang sesama kita. Banyak orang mudah tergoda untuk memberikan gambaran yang kurang baik tentang sesamanya.

Mari kita berusaha untuk terus-menerus memiliki pikiran yang tentang sesama kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu arena untuk membangun relasi yang baik dengan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

616

15 Februari 2011

Kesetiaan Itu Kunci Melestarikan Cinta


Pada jaman dahulu hiduplah dua orang jendral besar, yaitu Cyrus dan Cagular. Cyrus adalah raja Persia yang terkenal. Sedangkan Cagular adalah kepala suku yang tersu-menerus melakukan perlawanan terhadap serbuan pasukan Cyrus, yang bertekad menguasai Persia.

Pasukan Cagular mampu merobek-robek kekuatan tentara Persia. Hal itu membuat marah Cyrus yang punya ambisi untuk menguasai perbatasan daerah selatan menjadi gagal. Akhirnya, Cyrus mengumpulkan seluruh kekuatan pasukannya. Ia mengepung daerah kekuasaan Cagular dan berhasil menangkap Cagular beserta keluarganya. Mereka lalu dibawa ke ibukota kerjaaan Persia untuk diadili dan dijatuhi hukuman.

Pada hari pengadilan, Cagular dan istrinya dibawa ke sebuah ruangan pengadilan. Kepala suku itu berdiri menghadapi singgasana, tempat Cyrus duduk dengan perkasa. Cyrus tampak terkesan dengan Cagular. Ia telah mendengar kegigihan Cagular mempertahankan wilayahnya.

Sambil memandang Cagular, Cyrus bertanya, “Apa yang akan kaulakukan bila aku menyelamatkan hidupmu?”

“Kalau yang mulia menyelamatkan hidup istri hamba, hamba bersedia mati untuk yang mulia.”

Ia segera dibebaskan. Namun hati istrinya sangat terpukul. Ketika dalam perjalanan, sang istri sangat marah terhadap suaminya. Istrinya berkata dengan penuh kecewa, “Aku hanya mau melihat wajah seorang pria yang mengatakan bahwa ia bersedia mati demi hidupku. Bukan demi Cyrus.”

Sahabat, masihkah kita butuh kesetiaan dalam hidup ini? Dalam kenyataan hidup sehari-hari kita menyaksikan terjadi berbagai ketidaksetiaan. Ada pasangan suami istri yang mengingkari kasih setia mereka. Terjadi perselingkuhan di antara mereka. Seorang yang tenar seperti Tiger Woods ternyata mengingkari kasih setianya kepada sang istrinya. Ia tega berselingkuh dengan wanita-wanita lain.

Kisah sewot istri Cagular tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dalam suatu perkawinan, kesetiaan menjadi tolok ukur kelangsungan perkawinan itu. Kalau pasangan suami istri tidak saling setia dan bersedia berkorban bagi yang lain, cinta mereka menjadi hambar. Cepat atau lambat, mereka tergerus oleh perceraian. Hal ini terjadi kalau masing-masing orang hanya mau menang sendiri. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau berkorban bagi cinta yang sejati.

Karena itu, orang beriman mesti berani berkorban bagi cinta yang lebih besar. Orang beriman mesti berani mendengarkan pasangannya. Orang beriman mesti berani mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan dirinya sendiri. Untuk itu, cinta itu mesti terus-menerus dipupuk dengan keutamaan-keutamaan seperti saling mengampuni dan menghormati. Dengan demikian, bahtera perkawinan itu tetap bertahan sampai akhir hayat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

615

14 Februari 2011

Membuka Diri bagi Cinta Tuhan


Suatu pagi yang cerah, seorang gadis duduk termangu di ruang tamu rumahnya. Buku yang ada di tangannya tertutup sendiri. Ia tidak menyadari bahwa ia telah membuka buku itu untuk menemukan secercah harapan bagi hidupnya. Hidup itu indah! Begitu ungkapan yang pernah ia dengar. Tetapi apakah saat ini hidup itu indah setelah ia ditinggalkan seorang diri oleh sang kekasihnya?

Ia bergulat dengan dirinya sendiri. Lelaki yang sangat dicintainya itu telah pergi entah ke mana. Padahal mereka sudah membuat komitmen yang bulat untuk hidup dalam bahtera perkawinan. Ia berkata dalam hati, “Hidup itu menyakitkan! Hidup itu tidak indah! Mengapa mesti ada pengkhianatan dalam hidup ini? Mengapa tidak ada hati yang terbuka bagi cinta yang tulus?”

Sebulan terakhir ini cinta yang telah ia jalin beberapa tahun belakangan ini sirna. Sang kekasih memutuskan untuk menjalain cinta dengan perempuan lain. Ia merasa sakit. Bagai duri-duri tajam yang sedang menusuk hatinya. Tetapi hidup mesti berjalan terus. Hidup ini tidak bisa dihentikan sesaat saja.

Gadis itu sadar, benih cinta yang telah tumbuh dalam hatinya itu mesti berkembang terus. Tidak boleh dihentikan. Ia tidak boleh membiarkan cinta itu menjadi layu. Cintanya mesti terus bersemi. Apa yang kemudian dilakukan oleh gadis itu? Ia terus-menerus membuka hatinya lebar-lebar. Ia membiarkan cinta Tuhan yang lebih besar menguasai cintanya yang kecil itu. Dengan demikian, ia menjadi orang yang hidup penuh kasih. Ia tidak membiarkan benih-benih kebencian bersemayam dalam lubuk hatinya.

Sahabat, orang bilang, cinta begitu sulit ditebak. Ia bagai burung yang menari-nari di sekeliling kita. Ia mengepakkan sayapnya yang penuh warna, memikat dan menarik hati kita untuk menangkapnya. Saat kita begitu menginginkan cinta dalam genggaman, ia terbang menjauh. Namun saat kita tidak mengharapkan, cinta hadir tanpa diundang. Jinak-jinak merpati.

Kita tidak bisa memaksakan cinta sekehendak hati kita. Cinta menjadi fenomena hati yang sulit dimengerti. Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa cinta sulit ditebak. Namun sebenarnya kita tidak perlu memeras orang kita terlalu keras untuk mengerti cinta. Semakin keras kita memikirkan cinta itu, semakin lelah kita dibuatnya. Mengapa? Karena cinta itu hadir untuk dirasakan dan diselami.

Untuk itu, orang mesti yakin bahwa cinta yang diinginkan akan datang pada saat yang tepat. Namun tidak berarti kita hanya duduk diam menanti datangnya cinta. Gadis dalam kisah tadi tidak tinggal diam begitu ia kehilangan cinta tulusnya pada sang kekasih. Ia berusaha untuk menemukan makna cinta yang lebih luas. Caranya adalah dengan membuka hatinya untuk cinta Tuhan. Ia membiarkan dirinya dikuasai oleh cinta Tuhan yang agung dan luhur itu.

Jadi yang mesti kita lakukan adalah membuka hati kita bagi cinta yang lebih besar. Dengan demikian, hidup kita menjadi damai dan sukacita. Cinta yang kita memiliki mampu menemukan makna yang lebih luas bagi hidup kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

614

12 Februari 2011

Berani Menghadapi Tantangan-tantangan


Seorang teman saya masih ingat akan guru-gurunya di sekolahnya puluhan tahun yang lalu. Dari sekian banyak guru yang pernah mengajarnya, hanya satu yang begitu mengagumkan dirinya. Dia adalah seorang guru yang selalu memberi tantangan bagi dirinya.

Meski ia sudah mengerjakan suatu ujian dengan baik, guru itu masih juga mengusik pikirannya. Ia selalu mempertanyakan hal-hal yang membuat pikirannya bertumbuh dan berkembang. Hal seperti itu tidak ia dapatkan dalam diri guru-gurunya yang lain. Mengapa? Karena mereka kurang memberi tantangan kepada para murid. Mereka ambil jalan aman saja.

Menurut teman saya itu, kini ia dapat berhasil dalam hidupnya berkat tantangan-tantangan yang ia peroleh dari gurunya itu. Karena itu, dalam mendidik anak-anaknya ia terapkan hal yang sama. Ia berusaha kristis terhadap anak-anaknya. Ia memberi mereka tantangan-tantangan yang membuka pikiran mereka untuk terus maju. Namun satu hal yang ia sesalkan adalah anak-anak zaman sekarang mudah loyo ketika ditantang.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Padahal anak-anak jaman sekarang punya berbagai kemudahan dalam hidup mereka. Ada media komunikasi yang begitu banyak yang menyediakan berbagai informasi. Tetapi mengapa anak-anak zaman sekarang pengetahuannya begitu minim?”

Sahabat, tantangan sering membuat orang berani untuk menghadapinya. Orang yang berhasil itu biasanya orang yang tidak diam ketika berhadapan dengan tantangan demi tantangan. Justru dia akan mencoba dan mencoba untuk mencari berbagai kemungkinan untuk memecahkan tantangan itu. Kalau ia diam saja, ia tidak akan pernah maju dan bertumbuh.

Namun ada banyak orang yang mudah menyerah begitu berhadapan dengan tantangan. Mengapa? Karena orang seperti ini tidak mau bersusah-susah. Orang seperti ini lebih mencari yang gampang untuk dilewati. Mereka berkata, ”Ngapain cari yang susah, kalau sesuatu bisa diraih dengan mudah?” Tentu saja hal ini muncul dari suatu padangan yang ingin hidup ini dilalui dengan santai-santai saja.

Banyak orang-orang sukses di dunia memulai sesuatu dengan menghadapi berbagai kesulitan. Namun ketekunan dan kerja keras mereka telah membantu mereka untuk setia pada usaha-usaha mereka. Berkat kesetiaan dan ketekunan itu mereka meraih sukses dalam usaha-usaha mereka. Kesuksesan itu ternyata bukan hanya untuk diri mereka sendiri. Tetapi juga bagi orang-orang lain yang berjuang bersama mereka.

Orang yang mau santai-santai dalam hidup biasanya juga kurang setia pada komitmen yang mereka buat. Mereka mudah mematahkan komitmen yang telah dibuat itu demi sesuatu yang sepele. Orang-orang seperti ini biasanya hidup biasa-biasa saja. Mereka hanya mencari aman dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa berani menghadapi tantangan demi tantangan dengan penuh iman. Untuk itu, kita mesti menyertakan Tuhan dalam usaha-usaha kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

613

11 Februari 2011

Berusaha Memiliki Hati yang Tenang Rata Penuh


Suatu ketika saya kehilangan dokumen yang sangat penting dari komputer saya. Sedianya dokumen itu akan saya bawa ke percetakan untuk dicetak. Sebuah dokumen yang sudah saya disain sebagai sebuah tabloid. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi mungkin karena virus yang telah memakan dokumen saya itu.

Saya mencoba untuk terus mencari hingga tengah malam. Namun tidak juga saya temukan. Saya putuskan untuk matikan komputer dan beristirahat selama satu jam. Selama waktu itu saya tidur terlentang di kantor. Setelah itu, saya bangun. Saya buka komputer dan mencari lagi. Namun nihil. Dokumen yang sangat berharga itu tidak saya temukan.

Saya menjadi kecewa. Saya marah pada diri sendiri, mengapa bisa terjadi seperti itu? Mengapa sesuatu yang sangat berharga yang mau saya bawa keesokkan harinya ke percetakan malah hilang lenyap. Bahkan saya menyalahkan Tuhan, ”Tuhan kenapa Engkau tidak bantu saya? Tuhan, kenapa Engkau biarkan sesuatu yang sangat berharga itu hilang begitu saja?”

Saya kemudian sadar bahwa tidak ada gunanya saya menyalahkan Tuhan atau orang lain. Yang salah adalah saya sendiri. Yang mesti bertanggung jawab adalah saya sendiri. Tidak ada gunanya menyalahkan orang lain. Lebih baik saya mengerjakannya ulang daripada menyalahkan Tuhan atau orang lain. Malam itu juga saya mengerjakan ulang, mendisain tabloid yang hilang itu. Hingga pagi hari saya berhasil mengembalikan bahan-bahan yang hilang itu.

Sahabat, kita semua pasti pernah kehilangan sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam hidup kita. Ada yang pernah kehilangan pacar. Ada yang kehilangan istri atau suami. Ada yang kehilangan harta, karena kebakaran atau karena dikorupsi oleh orang lain.

Pernahkah kita menyalahkan Tuhan atau orang lain atas kehilangan hal-hal yang sangat penting dan berharga itu? Atau kita menukik ke dalam diri kita sendiri merefleksikan kesalahan yang telah kita buat?

Yang semestinya kita lakukan adalah kita berusaha menemukan sebab-sebab kehilangan sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam hidup kita. Setelah kita menemukan sebab-sebabnya, kita berusaha untuk mengatasinya. Dengan demikian, kita akan menemukan sesuatu yang berguna bagi hidup kita. Kita tidak perlu cepat-cepat menyalahkan pihak lain. Kita tidak perlu panik menghadapi situasi kehilangan itu. Justru kita mesti menghadapinya dengan hati yang tenang.

Karena itu, orang mesti berusaha menciptakan suasana tenang dalam hidupnya. Orang yang memiliki ketenangan hati itu orang yang mampu melangkah pasti untuk menyelesaikan berbagai situasi hidupnya. Orang seperti ini tidak mudah panik. Ia tidak cepat-cepat menyalahkan orang lain, ketika menghadapi suatu persoalan yang mengganggu hidupnya.

Sebagai orang beriman, ketenangan hati merupakan suatu keutamaan yang mesti dimiliki. Damai dan sejahtera dapat tercipta, ketika orang mampu menghadapi setiap persoalannya dengan hati yang tenang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

612

10 Februari 2011

Belajar Memiliki Hati yang Lembut


Alkisah di jaman dulu ada empat benda yang bisa berbicara. Mereka adalah kapak, gergaji, palu dan nyala api. Suatu ketika mereka mengadakan perjalanan bersama-sama. Tiba-tiba dalam perjalanan itu mereka terhenti oleh sepotong besi baja yang menghalangi perjalanan mereka. Mereka memutuskan untuk menyingkirkan baja tersebut dengan kekuatan mereka masing-masing.

Sambil memandang ketiga temannya, si Kapak berkata, “Besi baja itu bisa aku singkirkan.” Ia pun menggunakan fungsinya untuk memukul. Pukulan-pukulannya keras sekali menghantam besi baja yang kuat dan keras itu. Namun setiap pukulannya hanya menyebabkan dirinya semakin tumpul. Ia pun berhenti.

Si gergaji tertawa menyaksikan usaha si kapak yang sia-sia. Serta merta ia berkata, “Biar aku saja yang urus. Besi itu pasti akan putus berkeping-keping waktu kugigit dia.”

Si gergaji pun mulai menggergaji besi baja itu. Sial baginya! Semua giginya menjadi tumpul dan rontok. Ia pun menyerah. Ia tidak bisa buat apa-apa lagi.

Kini giliran si palu. Dengan sombong, ia berkata, “Sudah kubilang, kalian tidak cukup kuat menghadapi besi baja jelek itu. Aku akan tunjukkan caranya melumpuhkan besi baja itu.” Ia pun mulai memukul-mukul besi baja itu. Baru tiga kali pukulan, kepalanya terpental sendiri. Besi baja itu tidak berubah. Tidak bergeser sedikit pun.

Melihat semua kejadian itu, nyala api menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kuatir kalau-kalau ia tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyingkirkan besi baja itu. Tetapi ia mau mencoba. Ia melingkarkan diri dengan lembut menggeluti, memeluk dan mendekap besi baja itu erat-erat. Ia tidak mau melepaskannya. Besi baja yang keras itu pun meleleh. Besi itu mencair. Mereka pun bisa melanjutkan perjalanan.

Sahabat, banyak orang merasa diri sebagai yang terbaik dan terhebat. Mereka sering memamerkan kekuatan otot mereka. Seolah-olah kekuatan otot itulah segala-galanya. Padahal kekuatan otot saja belum cukup menyelesaikan suatu persoalan. Masih ada sesuatu yang lain yang mesti digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam hidup ini.

Kekuatan lain itu adalah kelemahlembutan. Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa sesuatu yang keras tidak selamanya mesti dilawan dengan kekerasan. Ternyata sesuatu yang keras itu mesti dilawan dengan kemahlembutan. Hati yang lembut dapat mengatasi berbagai suasana yang kurang menyenangkan. Hanya dengan hati yang lembut itu orang dapat mengalami kasih sayang dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menggunakan hati yang lemah lembut dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Untuk itu, kita mesti belajar untuk memiliki hati yang lemah lembut. Tentu saja hal ini tidak mudah kita peroleh. Mengapa? Karena dunia kita selalu menyediakan kekerasan hati. Dunia kita telah mengkondisikan situasi yang keras mesti dilawan dengan kekerasan.

Mari kita belajar untuk memiliki hati yang lembah lembut. Dengan demikian, setiap persoalan dapat kita hadapi dengan hati yang lembut. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

08 Februari 2011

Belajar dari Ilmu Padi

Ada seorang gadis yang punya banyak talenta. Ia tampak ahli dan menguasai berbagai bidang. Misalnya, ia punya keahlian dalam bidang hitung-menghitung. Kalau ia dimintai bantuan untuk hal ini, pasti ia dapat kerjakan dengan baik dan teliti. Apa yang ia kerjakan pasti berhasil dengan baik. Atau ia juga bisa nyopir untuk perjalanan jauh. Ia tahan nyopir lima jam tanpa istirahat. Ia juga dapat memasak makanan yang enak dinikmati. Dan berbagai ketrampilan lain yang menjadi bagian dari dirinya.
Rata Penuh
Untuk semua talenta yang dimilikinya itu, ia sangat bersyukur. Ia yakin, semua talentanya merupakan tanggung jawab yang mesti dikembangkannya. Ia tidak membanggakan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Ia berkata, ”Saya mau belajar dari ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk.”

Dengan sikapnya seperti itu, gadis itu punya banyak sahabat. Setiap kali ia menolong mereka yang mengalami kesulitan, ia lakukan dengan sebaik-baiknya. Ia ingin membahagikan mereka. Ia tidak mau lakukan itu setengah-setengah. Namun setiap kali ia membantu sesamanya, ia mengajak mereka untuk bekerja bersamanya. Ia tidak hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Saya punya keterbatasan. Saya bisa menjadi hebat berkat kerja sama dengan orang lain. Jadi kita tidak boleh bekerja sendiri-sendiri.”

Sahabat, manusia itu makhluk yang tidak sempurna. Manusia itu terbatas. Kita memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi kita juga memiliki kekurangan-kekurangan. Karena itu, perbedaan-perbedaan yang kita miliki merupakan kekayaan yang dapat membantu kita untuk semakin bertumbuh dan berkembang.

Soalnya adalah banyak orang merasa diri sebagai makhluk yang bisa segala-galanya. Mereka memposisikan diri sebagai orang-orang yang ahli dalam segala hal. Akibatnya, mereka tidak memiliki ilmu padi. Mereka mendongakkan kepala, membusungkan dada, menyatakan diri sebagai orang-orang yang terhebat di dunia ini. Namun ketika mereka mesti masuk dalam dunia yang nyata, frustrasi demi frustrasi yang justru mereka temukan. Mereka mudah terpuruk, ketika godaan dan tantangan menimpa diri mereka. Mereka tidak mudah bertahan dalam badai yang menerjang.

Kisah gadis bertalenta tadi menjadi inspirasi bagi kita. Apa pun yang kita punya mesti kita kembangkan dengan sepenuh hati. Belajar untuk merendahkan diri menjadi suatu keutamaan yang mesti menjadi bagian dari hidup kita. Meski kita memiliki berbagai kemampuan dan talenta, kita mesti berjuang untuk setia mengembangkannya. Untuk apa? Untuk kesejahteraan diri kita dan sesama kita.

Situasi belajar terus-menerus mesti kita ciptakan. Mengapa? Karena ilmu pengetahuan selalu berkembang terus-menerus. Orang yang mau belajar terus-menerus itu orang yang membuka dirinya untuk hal-hal baru. Sedangkan orang yang berhenti belajar adalah orang yang cepat puas dengan apa yang dimilikinya. Orang seperti ini tertutup terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Mari kita terus-menerus belajar untuk memiliki keahlian atau ketrampilan yang berguna untuk kesejahteraan bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

610

07 Februari 2011

Ciptakan Sikap Optimis dalam Hidup


Suatu hari seorang pemuda datang kepada seorang guru kebijaksanaan. Kepada guru itu ia bertanya, “Guru, saya pernah mendengar kisah seorang arif yang pergi jauh dengan berjalan kaki. Cuma yang aneh, setiap ada jalan menurun, sang arif konon agak murung. Tetapi kalau jalan sedang mendaki, ia tersenyum. Hikmah apakah yang bisa saya petik dari kisah ini?”

Guru bijaksana itu menjelaskan, “Itu perlambang manusia yang telah matang dalam meresapi asam garam kehidupan. Itu perlu kita jadikan cermin. Ketika kita sukses, sesekali perlu kita sadari bahwa suatu ketika kita akan mengalami kegagalan yang tidak kita harapkan. Dengan demikian, kita tidak terlalu bergembira sampai lupa bersyukur kepada Sang Pencipta. Ketika kita sedang terpuruk, kita memandang masa depan dengan tersenyum optimis. Tetapi optimis saja tidak cukup. Kita harus mengimbangi optimisme itu dengan kerja keras.”

Pemuda itu terkagum-kagum mendengarkan penjelasan guru bijaksana itu. Namun ia masih ragu-ragu. Lantas ia bertanya, ”Apa alasan saya untuk optimis, sedang saya sadar saya sedang jatuh terpuruk?”

Guru bijaksana itu berkata, ”Alasannya ialah iman. Mengapa? Karena kita yakin akan pertolongan Sang Pencipta.”

Pemuda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih mengajukan pertanyaan, ”Hikmah selanjutnya apa?”

Guru bijaksana itu berkata, ”Orang yang terkenal suatu ketika harus siap untuk dilupakan. Orang yang di atas harus siap mental untuk turun ke bawah. Orang kaya suatu ketika harus siap untuk menjadi miskin.”

Sahabat, banyak orang merasa bahwa mereka selalu berada di tempat yang tinggi. Artinya, kesuksesan selalu menyertai perjalanan hidup mereka. Padahal tidaklah demikian. Perjalanan hidup ini kadang mulus. Tetapi kadang-kadang juga terdapat jurang terjal yang mesti dilewati.

Ada kalanya orang berada di atas kemegahan dan kemewahan. Tetapi ada kalanya orang terpuruk di bawah. Nah, sering orang lupa akan hal ini. Orang kurang menyadari perjalanan hidupnya. Akibatnya, ketika mereka terpuruk, mereka sulit untuk bangkit lagi. Mereka tidak lagi menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang tidak boleh menyombongkan dirinya. Orang mesti menyadari kondisi hidupnya. Orang mesti berani menerima kenyataan bahwa orang beriman itu sering berhadapan dengan berbagai tantangan. Orang yang bertahan akan menemukan damai dan sukacita. Orang yang bertahan itu akan memiliki optimisme untuk melangkahkan kakinya menggapai kesuksesan dalam hidupnya.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti tetap optimis dalam hidup ini. Keterpurukan dalam hidup ini boleh saja menimpa kehidupan kita. Namun hal itu tidak berarti akhir dari segala-galanya. Masih ada waktu dan kesempatan untuk bangkit dan maju. Masih ada berbagai cara untuk menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

609

06 Februari 2011

Tuhan selalu Punya Cara untuk Mencintai Kita

Ada seorang bapak yang mengalami kecelakaan yang hebat. Mobil yang ia kendarai menabrak sebuah tronton yang sedang melaju. Tangan dan kakinya patah. Beberapa waktu lamanya ia terbaring tak berdaya di rumah sakit. Setelah beberapa bulan dirawat, ia sembuh. Namun ia tetap lumpuh. Ia mesti menggunakan kursi roda untuk melakukan aktivitasnya.

Ketika masih dirawat di rumah sakit, ia begitu gelisah. Ia tidak mau menerima kenyataan pahit itu. Ia berkata kepada istrinya, ”Sudah berkali-kali saya berdoa kepada Tuhan. Tetapi rupanya Tuhan tidak mau mendengarkan doa-doa saya. Apakah Tuhan sudah tuli? Di mana Tuhan sekarang?”

Mendengar pernyataan-pernyataan itu, istrinya tersenyum. Lantas ia berkata, ”Mengapa bapak kecewa terhadap Tuhan? Bukankah Tuhan selalu mencintaimu? Pernahkah Tuhan mencobai dan menyakiti bapak? Tuhan masih hadir menemani bapak sampai sekarang. Lihatlah anak-anakmu yang setia menjagamu. Mereka memberikan perhatian yang luar biasa terhadapmu. Ini tanda Tuhan masih mencintaimu.”

Bapak itu tidak bisa menjawab. Air matanya meleleh dan jatuh membasahi pipinya. Ia sadar, ia masih merasakan kebaikan Tuhan yang hadir dalam diri istri dan anak-anaknya. Mereka tidak meninggalkan dia terbaring sendirian. Ketika ia menjerit kesakitan, mereka selalu berusaha untuk meringankan beban penderitaannya.

Sahabat, banyak orang mempertanyakan peranan Tuhan dalam hidup mereka, ketika mereka mengalami kegetiran hidup. Mereka merasa seolah-olah Tuhan tidak peduli terhadap penderitaan yang sedang mereka alami. Mereka bahkan menuduh Tuhan tidak peduli terhadap hidup mereka. Akibatnya tumbuh sikap pesimis terhadap Tuhan. Tumbuh sikap kurang percaya kepada Tuhan.

Benarkah Tuhan tidak peduli terhadap hidup manusia? Benarkah ketika manusia mengalami penderitaan Tuhan menghilang? Benarkah Tuhan membiarkan manusia berjuang sendirian dalam suasana yang kurang menyenangkan?

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa cinta Tuhan selalu hadir dalam hidup manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendirian. Tuhan tetap berperan menyembuhkan penderitaan manusia melalui kehadiran orang-orang di sekitar kita. Tuhan menghadirkan diri dalam cinta dan perhatian yang begitu besar yang ditunjukkan oleh kesetiaan sesama kita.

Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk menuduh Tuhan tidak peduli terhadap hidup ini. Tuduhan dilakukan oleh mereka yang kurang percaya kepada Tuhan. Orang-orang yang kurang percaya biasanya mempertanyakan kebaikan, cinta dan peranan Tuhan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti yakin bahwa Tuhan tetap peduli terhadap hidup kita melalui berbagai cara. Tuhan tidak kehabisan cara untuk mencintai kita. Mari kita menyerahkan seluruh hidup kita ke dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai bersama Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


608

04 Februari 2011

Jangan Mengeluh, Apa pun Situasinya



Ada seorang bapak yang suka menggerutu. Apa-apa saja yang ditugaskan kepadanya selalu didahului dengan gerutu. Ia tidak menerima dulu tugas itu. Tetapi ia langsung mengomelinya. Akibatnya, lama-kelamaan bosnya menjadi bosan mendengar keluah kesah bapak itu. Ia menjadi kurang percaya akan kemampuan yang dimiliki bapak itu. Akibat lebih lanjut adalah bapak itu tidak lagi diberi tugas-tugas yang penting.

Menyadari kondisi itu, bapak itu kemudian menghadap bosnya. Seperti biasa, hal pertama yang ia lakukan adalah ia mengeluh. Ia membeberkan berbagai keluhannya kepada bosnya itu. Bahkan ia menuduh bosnya itu tidak peduli terhadapnya. Ia tidak ingin diperlakukan seperti itu.

Setelah mendengarkan semua keluhan bapak itu, sang bos mempersilahkan bapak itu meninggalkan perusahaan yang dipimpinnya. Ia berkata, “Seorang pekerja yang baik adalah melakukan apa yang ditugaskan pimpinannya, tanpa mengeluh lebih dahulu.”

Sejak itu, bapak itu kehilangan pekerjaannya. Ia sadar bahwa apa yang telah ia lakukan itu sebenarnya tidak benar. Namun kesadarannya itu sudah terlambat. Pekerjaannya telah hilang.

Sahabat, ketahanan dalam hidup ini mesti selalu dipelihara. Mengapa? Karena hanya dengan ketahanan itu orang akan meraih sukses dalam hidupnya. Orang akan mengalami bahwa hidup memiliki makna. Orang seperti ini biasanya orang yang tidak mudah menggerutu. Orang yang membiarkan dirinya terus-menerus dipenuhi oleh berbagai kesibukan. Orang yang berani melangkahkan kakinya meski berbagai kepenatan menimpa dirinya.

Namun orang yang suka menggerutu biasanya orang yang tidak memiliki ketahanan yang baik. Endurance orang seperti ini biasanya lemah. Sedikit saja tantangan menghadangnya, ia sudah loyo. Ia gampang menyerah. Omelannya tidak akan pernah habis-habis. Apa saja yang menantang dirinya akan jadi bahan omelan yang bertele-tele.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang kurang punya kemampuan untuk bertahan dalam kegalauan hidup. Orang hanya mau menerima yang baik-baik saja. Sedangkan hal-hal yang kurang baik dianggapnya menjadi suatu yang menghancurkan dirinya. Karena itu, orang seperti ini akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari tantangan-tantangan hidupnya.

Bagaimana semestinya sikap orang beriman? Orang beriman itu orang yang berani menghadapi tantangan. Orang yang tetap bertahan di masa-masa sulit hidupnya. Orang yang tidak mudah menyerah pada situasi yang dihadapinya. Seseorang disebut pahlawan itu bukan karena ia lebih berani daripada orang lain. Tetapi ia memiliki keberanian untuk bertahan dalam situasi hidupnya.

Mari kita tetap berusaha untuk bertahan dalam iman kita akan Yang Mahakuasa. Kita biarkan Yang Mahakuasa menguasai hidup kita dengan rahmat dan kasih setiaNya. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang senantiasa bertahan dalam situasi apa pun. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


607

03 Februari 2011

Menggapai Hidup yang Bermakna Rata Penuh



Suatu hari seorang pembuat jam tangan bertanya kepada jam yang sedang dibuatnya, “Hai jam, apakah kamu sanggup berdetak paling tidak 31.104.000 kali selama satu tahun?”

Mendengar pertanyaan itu, sang jam terperanjat. Ia berkata, “Mana sanggup saya?”

Tukang jam itu menatap jam itu sambil tersenyum. Lantas ia berkata, “Bagaimana kalau 86.400 kali dalam satu hari?”

Dengan penuh keraguan jam itu berkata, “Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang tipis-tipis seperti ini?”

Tukang jam itu tidak menyerah. Ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau tiga ribu enam ratus kali dalam satu jam?”

Sang jam tetap meragukan kemampuannya. Dalam hati ia mengatakan ia tidak sanggup berdetak sebegitu banyak dalam satu jam. Namun dengan penuh kesabaran, sang tukang jam berkata, “Kalau begitu, sanggupkan kamu berdetak satu kali setiap detik?”

Pertanyaan itu langsung saja dijawab dengan penuh semangat oleh sang jam. Ia berkata, “Kalau berdetak setiap detik pasti saya sanggup!”

Tukang jam itu melanjutkan pembuatan jam itu. Setelah selesai, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu. Jam itu sungguh luar biasa. Ternyata satu tahun ia lewati. Ia mampu berdetak 31.104.000 kali. Ia pun siap untuk melanjutkan detik demi detik untuk tahun kedua.

Sahabat, sering manusia ragu atas kemampuan dirinya. Manusia ragu apakah ia dapat bekerja dengan baik. Ia ragu apakah ia mampu melewati masa-masa sulit hidupnya. Ketika krisis melanda dunia, banyak orang cemas. Apakah mereka mampu melewati hari-hari hidup ini? Ketika negeri ini dilanda krisis demi krisis, banyak orang kurang begitu percaya akan kemampuan mereka. Banyak orang pesimis tentang kemajuan hidupnya. Banyak orang kemudian memutuskan untuk memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidup mereka secara tragis.

Sebenarnya kalau manusia mau menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran, manusia akan menemukan jalan-jalan atau cara-cara untuk menghadapi krisis hidup ini. Untuk itu, orang butuh ketenangan batin. Orang butuh hati yang mantap dalam mengarungi kehidupan ini.

Karena itu, orang mesti berani mempercayakan hidupnya kepada Tuhan yang empunya hidup ini. Orang tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Orang mesti berani berserah diri kepada Tuhan. Dengan demikian, hidup ini semakin memiliki makna. Manusia semakin dikuatkan oleh rahmat Tuhan untuk menggapai kesuksesan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita memiliki makna yang dalam. Kita ingin agar kita tidak hidup seperti angin yang berlalu. Tidak tahu dari mana asalnya dan ke mana akan berakhir. Kita ingin agar hidup ini benar-benar bermakna. Mari kita tetap bertahan pada sikap penyerahan diri kita kepada Tuhan. Dengan demikian, kita akan menemukan kebahagiaan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


606

02 Februari 2011

Lawan Kegagalan untuk Meraih Kemenangan

Setelah memenangkan pertandingan bulutangkis, seorang anak SD langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Beberapa saat kemudian ia mendekati net, menyorongkan tangannya kepada lawannya. Ia menjabat erat tangan lawannya. Sambil menatap mata lawannya, ia berkata, ”Kali ini giliran saya. Besok mungkin giliran Anda memenangi pertandingan. Jangan berhenti berlatih.”

Sang lawan terpana mendengar kata-kata itu. Ia tidak habis pikir mengapa lawannya itu masih berkata seperti itu. Bukankah dia semestinya bersorak-sorai? Bukankah dia tidak perlu menasihatinya seperti itu? Mendapat dukungan seperti itu, ia pun terus-menerus berlatih. Waktu-waktu luangnya ia gunakan untuk berlatih dan berlatih. Ternyata yang dikatakan lawannya itu benar. Orang tidak perlu terpuruk dalam kegagalan. Justru kegagalan itu mesti ditanggapi secara positif. Kegagalan bukanlah akhir dari segala-galanya.

Hasil dari latihan yang terus-menerus itu adalah ia dapat mengalahkan lawan-lawannya yang sebenarnya lebih tangguh. Meski begitu, ia tidak menyombongkan dirinya. Setelah meraih juara di suatu turnamen, ia kembali berlatih dan berlatih. Dengan demikian, ia dapat meraih sukses yang gemilang dalam hidupnya.

Sahabat, kemenangan bukan hanya ketika orang berhasil mengalahkan lawan di suatu pertandingan. Bukan pula hanya ketika orang berhasil meraih cita-cita yang diimpikannya. Namun kemenangan itu juga terjadi ketika orang mampu mengatasi egoisme dan cinta diri yang berlebihan.

Kemenangan itu dapat juga terjadi, ketika orang melawan kegagalan dalam hidupnya. Ketika mengalami kegagalan orang mulai menyusun strategi baru untuk mengatasi kegagalannya. Orang berusaha mencari dan menemukan hal-hal yang menjadi penyebab kegagalannya. Orang seperti ini orang yang mau maju dalam hidupnya. Orang yang mau bersusah payah untuk meraih cita-cita yang diimpikannya.

Sebaliknya orang yang menerima kegagalan sebagai musibah paling besar dalam hidupnya, orang itu tidak bisa bangkit dan merebut kemenangan. Orang seperti ini berhenti mencoba. Orang seperti ini berhenti mencari dan menemukan penyebab-penyebab kegagalannya. Orang seperti ini adalah orang yang mudah menyerah pada nasib. Orang yang terbelenggu oleh ketakutan demi ketakutannya.

Orang yang menang dalam hidupnya adalah orang yang mampu berjuang menghancurkan semua cobaan yang menghadang hidupnya. Orang yang berani menghadapi resiko yang akan menimpa dirinya. Namun kemenangan itu juga terjadi ketika orang berani mempercayakan hidupnya kepada Sang Pencipta. Orang seperti ini yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan dirinya berjuang sendirian menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup.

Sebagai orang beriman, kita terus-menerus berjuang untuk meraih persatuan kita dengan Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



605

01 Februari 2011

Berani Menghadapi Rintangan-rintangan

Suatu hari Napoleon Bonaparte mengirim para insinyur untuk menyelidiki terusan St Bernard yang menakutkan tentaranya. Setelah para insinyur itu pulang, ia bertanya kepada mereka, “Apakah mungkin kalian melewati jalan itu?”

Dengan ragu-ragu, para insinyur itu menjawab, “Barangkali. Bukannya tidak mungkin.”

Sambil memandang para insinyur itu, dengan tegas Napolen berkata, “Tempuh saja jalan itu.”

Ia tidak menghiraukan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi oleh para tentarannya. Panglima Inggris dan Austria menertawakan keputusan Napoleon untuk menggerakkan tentara melintasi pegunungan Alpen itu. Mengapa? Karena tidak pernah ada orang yang bisa melintasi pengunungan Alpen dengan membawa 60.000 tentara. Apalagi dilengkapi dengan meriam-meriam besar, berpeti-peti peluru dan barang dalam jumlah besar.

Namun Napolen dapat melakukan tindakan yang mustahil itu. Tekad dan keberaniannya telah membantu Napoleon untuk menembus kesulitan demi kesulitan yang dihadapinya itu. Dia tidak pernah gentar menghadapi setiap rintangan. Ia berani mengambil kesempatan itu.

Sahabat, pernahkah Anda menghadapi berbagai tantangan untuk maju? Kalau pernah, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda merasa ngeri terhadap keputusan Anda untuk terus maju meski berbagai rintangan menghadang? Atau Anda merasa memiliki keyakinan yang tinggi bahwa Anda akan sukses?

Bagi Anda yang berani maju menghadapi tantangan dan berhasil, Anda akan mengalami sukacita yang luar biasa. Anda boleh merasakan kegetiran hidup. Namun setelah kegetiran itu Anda menemukan sukacita. Anda menemukan betapa indah hidup ini setelah melewati berbagai rintangan itu.

Namun bagi orang yang kecut hatinya, ia tidak akan pernah berhasil maju. Ia takut menghadapi rintangan. Ia tidak berani melewati rintangan itu. Karena itu, ia tetap berada di tempatnya. Tidak maju-maju. Mungkin ia menutup matanya, karena merasa ngeri terhadap rintangan-rintangan itu. Orang seperti ini memandang hidup ini secara pesimistis. Tidak ada optimisme dalam pikirannya. Yang ia pikirkan hanyalah tercebur ke dalam jurang rintangan itu. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana kalau sampai ia terpeleset dari rintangan itu.

Orang beriman adalah orang yang tidak pernah gentar menghadapi rintangan. Ia akan berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk dapat berhasil menembus rintangan itu. Orang beriman memiliki optimisme dalam hidupnya. Ia akan terus maju meretas hidup yang lebih baik. Orang seperti ini akan menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang seperti ini biasanya tidak banyak menggerutu. Sebaliknya, ia bahagia menemukan kesuksesan di balik kesulitan-kesulitan hidupnya. Mari kita berjuang terus-menerus untuk meraih sukses dalam hidup kita. Kita buka hati kita lebar-lebar, agar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang menyertai perjalanan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


604