Pages

31 Oktober 2011

Membiarkan Tuhan Meringankan Beban Hidup

Suatu hari seseorang berhenti di depan gereja Hati Kudus di Jalan Kolonel Atmo Palembang. Ia memandang ke atas gereja. Lantas ia membaca tulisan yang tertera di bagian depan gereja di atas pintu masuk. Bunyi tulisan itu adalah datanglah kepada-Ku kalian semua yang letih lesu dan berbedan berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Setelah membaca tulisan itu, orang itu tersenyum. Lantas ia menepuk dadanya beberapa kali.

Melihat saya yang lewat di depannya, ia bertanya tentang arti tulisan itu. Ia penasaran. Ia ingin tahu makna di balik tulisan itu. Lalu saya menjelaskan bahwa itu adalah kata-kata Yesus sendiri. Yesus mau mengatakan bahwa Ia datang untuk semua orang. Mereka yang letih lesu dan berbeban berat tidak perlu putus asa. Mereka boleh datang kepada-Nya untuk mendapatkan kelegaan. Di dalam diri Yesus itu semua orang akan memiliki hidup yang berkelimpahan.

”Jadi siapa saja boleh datang kepada Yesus? Bukankah Dia hanya milik orang kristen?” tanya orang itu.

Saya mengatakan bahwa Yesus itu milik seluruh dunia. Ia datang untuk menebus dosa manusia. Tidak pandang siapa orang itu. Kalau manusia ingin mengalami sukacita dalam hidup ini, mereka boleh datang kepadaNya. Yesus telah mengorbankan hidupNya untuk kebaikan manusia.

Sahabat, banyak orang mengalami letih lesu dalam hidup mereka. Banyak orang merasakan hidup ini tanpa makna. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang menjauhkan diri dari Tuhan. Orang melarikan diri dari Tuhan. Orang lupa bahwa Tuhan itu mahapengasih dan mahapenyayang. Orang lupa bahwa Tuhan dapat mengubah hidup manusia.

Penderitaan yang dialami oleh manusia dari waktu ke waktu itu merupakan tanda bahwa manusia berpisah dari Tuhan. Manusia tidak melekatkan diri kepada Tuhan. Karena itu, orang yang ingin mengalami sukacita dalam hidup mesti datang kepada Tuhan. Orang membiarkan dirinya dipenuhi oleh kuasa Tuhan. Orang membiarkan beban dan penderitaan yang ada dalam dirinya diringankan oleh Tuhan.

Untuk itu, orang mesti berani membuka hatinya kepada Tuhan. Orang mesti berani mengungkapkan kekecilannya di hadapan Tuhan. Orang membiarkan Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang itu menguasai dirinya. Hanya dengan cara ini, orang dapat mengalami sukacita dalam hidupnya. Orang mengalami bahwa Tuhan begitu dekat dengan dirinya.

Mari kita terus-menerus datang kepada Tuhan. Kita mohon agar Tuhan yang mahabaik itu memberikan kelegaan bagi diri kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin bermakna. Hidup ini menjadi suatu kesempatan bagi kita untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


815

30 Oktober 2011

Weker itu

Weker itu berisik

menit ke-22, pukul 03.00

kota masih terlelap dingin

seorang tua renta mengaduh-aduh

menggenggam kemelut duka



Weker itu terus berdetak

pukul 06.00 lewat 6 pagi

potret itu berderap maju

langkahnya bimbang,

entah akan menerima sedekah?



Frans de Sales, SCJ

24 Mei 1984

Membangun Kesetiaan bagi Hidup Bahagia

Masihkah Anda punya kesetiaan terhadap sesama Anda? Atau ketika sesama Anda mengalami dukacita dalam hidup ini, Anda meninggalkannya berjuang sendirian?

Greyfriars Bobby adalah anjing yang menjadi terkenal setelah tuannya meninggal. John Gray meninggal pada 8 Februari 1858 di Edinburgh, Skotlandia. Ia tidak meninggalkan apa-apa kecuali seekor anjing kecil bernama Bobby. Sehari setelah pemakaman, kurator melihat Bobby berbaring di gundukan tanah segar.

Dia segera mengusir anjing kecil itu, tapi keesokan harinya ia kembali. Sekali lagi, kurator mengusirnya, tetapi pada hari ketiga, meskipun dingin dan hujan, Bobby sudah kembali. Akhirnya, kurator kasihan pada anjing miskin itu dan membiarkan dia tinggal. Akhirnya ia kemudian dikenal sebagai Greyfriars Bobby, anjing penjaga yang setia di mana majikannya dimakamkan.

Selama empat belas tahun, Bobby tetap setia menjaga dan mengawasi makam pemiliknya. Ia jarang meninggalkan makam tuannya kecuali untuk mengambil makan siang tepat pada pukul satu. Ketika ia meninggal, ia dimakamkan persis di gerbang di Greyfriars Kirkyard. Di batu nisannya tertulis, "Greyfriars Bobby - meninggal 14 Januari 1872 - berusia 16 tahun - Biarlah kesetiaan dan pengabdian menjadi pelajaran bagi kita semua."

Sahabat, masihkah kesetiaan kita miliki dalam hidup ini? Masihkah suami istri saling setia untuk membangun keluarga yang bahagia dan damai? Bukankah ada begitu banyak godaan yang mudah menggoyahkan kesetiaan kita? Bukankah masyarakat kita begitu permisif terhadap ketidaksetiaan?

Kisah Greyfriars Bobby tadi mau mengajak kita untuk membangun kesetiaan kita terus-menerus satu sama lain. Anjing kecil itu setia menjaga kubur tuannya sampai maut menjemputnya. Ia tidak peduli akan begitu banyaknya tantangan dan aral yang menghadang dirinya.

Bagi kita, kesetiaan menjadi suatu kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Namun kesetiaan bukanlah tujuan hidup kita. Kesetiaan menjadi saarana bagi kita untuk meraih hidup yang bahagia dan damai. Setiap orang yang membangun kebersamaan dalam hidup selalu mendambakan hidup yang bahagia dan damai. Untuk itu, orang mesti berusaha untuk menumbuhkan kesetiaan itu dalam hidupnya.

Dasar kesetiaan orang beriman adalah cinta kasih yang tulus. Sering kita berhadapan dengan cinta kasih yang semu. Cinta yang mengada-ada untuk mengail keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri. Ini cinta yang egois. Ini cinta yang tidak mengarahkan orang untuk setia. Ini cinta yang membahayakan kehidupan bersama.

Orang beriman mesti senantiasa belajar untuk saling setia. Orang beriman mesti berani mencecap buah dari kesetiaan itu bagi hidupnya. Tentu saja buah dari kesetiaan adalah cinta yang tulus bagi sesama. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk membahagiakan diri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

815

29 Oktober 2011

Jangan Sakiti Sesama

Ada seorang suami yang suka menyakiti istrinya. Ia memukul istrinya. Ia pernah menempeleng istrinya dengan keras. Bahkan ia pernah menghukum istrinya dengan mengikat kedua tangan dan kakinya. Ia menuduh istrinya berselingkuh dengan lelaki lain. Padahal tuduhan itu kemudian tidak terbukti benar. Pernah ia menyiram istrinya dengan air panas. Persoalannya sangat sepele, yaitu istrinya lupa memberi makan anak-anak ayam peliharaannya.

Istrinya tampak tenang-tenang saja. Ia tidak bisa melawan. Ia hanya bisa pasrah meski penyiksaan demi penyiksaan mesti ia terima. Bibirnya tersenyum, tetapi hatinya menangis pedih perih. Dalam hati ia berdoa agar suaminya meninggalkan kebiasaan menyiksa dirinya. Ia memohon kepada Tuhan, agar Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan suaminya. Ia juga memohon agar suaminya berubah.

Namun suatu ketika sang istri mengalami sakit di dadanya akibat dari penyiksaan-penyiksaan itu. Ia juga mulai batuk-batuk setiap malam. Ia tidak mampu menahan penyiksaan-penyiksaan itu. Ia muntah darah. Tidak lama kemudian ia menutup matanya untuk selama-lamanya. Ia meninggalkan tiga orang anaknya yang sangat disayanginya. Sedangkan sang suami meratapi kepergian istrinya. Ia menyesal telah melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Sahabat, penyesalan selalu datang terlambat. Setelah peristiwa tragis merenggut nyawa, orang baru sadar bahwa semestinya sudah sejak awal orang tidak melakukan kekerasan. Nasi sudah menjadi bubur. Nyawa yang hilang tidak mungkin dibangkitkan lagi.

Soalnya adalah mengapa orang berani menyakiti sesamanya, bahkan orang yang sangat dekat dengannya? Karena orang tidak menyadari bahwa sesamanya itu adalah bagian dari dirinya sendiri. Orang hanya mau menang sendiri. Orang merasa dirinya yang paling benar dan baik. Karena itu, orang boleh menyakiti sesamanya. Padahal tanpa alasan yang jelas pun orang tidak boleh menyakiti sesamanya. Orang punya hak untuk mendapatkan perlindungan dari sesamanya.

Karena itu, orang mesti sadar bahwa setiap kali menyakiti sesama, orang juga melukai dirinya sendiri. Kisah di atas menunjukkan hal ini. Ketika sang istri meninggal, sang suami yang menyiksa istrinya itu mengalami kehilangan. Ia mengalami kesepian dalam hidupnya. Penyesalannya tidak berguna.

Menyiksa sesama itu ibarat orang sedang menendang sebuah tembok. Orang tersebut merasakan sakit di kakinya. Mungkin kakinya terluka. Mungkin kakinya bengkak atau patah. Ia merasakan sendiri sakit itu. Ia melukai dirinya sendiri. Hatinya terluka begitu mendalam. Begitu pula orang yang menyakiti sesamanya, sebenarnya ia menyakiti dirinya sendiri.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk memberikan perhatian kepada sesama kita. Kita tidak boleh menyakiti sesama kita. Untuk itu, kita perlu hindari tindakan yang menyakiti sesama kita. Dengan demikian, sesama kita mengalami sukacita dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


814

27 Oktober 2011

Gadis Itu Mengusiknya

Kicau burung di bawa jendela

pada pagi alunan sepoi bening

membangunkan lelap tidurku



dia terbang

lalu kembali lagi

menyanyikan alunan pagi

untuk cepat bersanding



dan aku buka jendela

dia tersenyum riang

aku tertawa ria

tak ingin kuusik pergi



kicauan itu berubah kata

dari mulut seorang gadis

yang datang mengusiknya

dan dia bertanya kepadaku,

"Kapan kita bersanding lagi?"



Frans de Sales, SCJ

20 Mei 1984

Alunan Merdu

Alunan itu tergores dalam benakku

mendendangkan nyanyian merdu

janji-janji dulu,

terucap dalam keceriaan

yang berubah rupa



Kali ini,

dia ingin bersanding lagi

mengenang kisah-kisah lalu

yang terluruh

dan buat kisah-kisah baru



Frans de Sales, SCJ

21 Mei 1984

26 Oktober 2011

Mengandalkan Kebenaran dalam Hidup



Suatu hari seorang anak menceritakan sesuatu yang salah yang dilakukan oleh teman kelasnya. Menurutnya, temannya itu telah nyontek selama ulangan. Ia menceritakan hal itu kepada teman-temannya yang lain. Akibatnya, teman-temannya marah terhadap teman yang disangka nyontek itu.

Mereka mendatanginya. Mereka meminta, agar dia mengakui bahwa dia nyontek. Tidak mengerjakan ulangan dengan jujur. Anak itu membela diri. Soalnya adalah ia tidak melakukan hal itu. Ia sudah belajar dengan baik. Ia mengerjakan soal-soal ulangan dengan baik pula. Ia yakin, ia akan memperoleh hasil yang baik.

Mereka tidak bisa membuktikan bahwa teman mereka telah nyontek selama ulangan. Mereka tidak apa-apakan dia. Biasanya mereka akan memarahi teman mereka yang kedapatan nyontek waktu ulangan. Kali ini mereka tidak bisa buat apa-apa, karena mereka mendengar cerita dari teman yang lain.

Selidik punya selidik, ternyata teman mereka itu mengatakan suatu kebohongan. Ia ingin merusak nama baik temannya itu. Ia benci terhadap sesamanya itu. Karena itu, ia mengatakan yang tidak benar tentang dirinya. Akibatnya, anak yang berbohong itu kehilangan banyak teman. Ia tidak disukai karena telah menyebarkan berita bohong tentang teman kelasnya. Kebohongan itu ternyata tidak bertahan lama. Ia akan menguap seperti air di samudera yang luas. Hilang tanpa bekas.

Sahabat, mengapa kebohongan mudah digerus oleh zaman? Karena kebohongan tidak punya kekuatan. Kebohongan tidak punya bukti-bukti yang kuat untuk mempertahankan diri. Karena itu, kebohongan sering bertahan untuk waktu yang tidak lama. Cepat lenyap dari hadapan manusia. Nilai kebenarannya tidak ada, sehingga tidak punya kekuatan apa-apa.

Sedangkan kebenaran itu penuh kekuatan. Kebenaran itu kuat seperti angin yang memporakporandakan. Kebenaran mampu menghancurkan tipu muslihat, karena kekuatannya yang dahsyat itu. Ketika orang menceritakan kebohongan, orang kehilangan hubungan dengan kekuatan yaitu kebenaran.

Memang, orang yang selalu berpegang teguh pada kebenaran selalu mengalami godaan-godaan. Bahkan orang seperti ini dipandang sebagai ancaman bagi orang yang hidupnya dipenuhi dengan kebohongan. Namun orang yang mengandalkan kebenaran mesti bertahan. Tidak boleh menyerah. Tidak boleh tergoda untuk mengikuti jalan orang yang suka berbohong. Orang seperti ini tidak boleh larut dalam tipu muslihat kebohongan.

Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa mengandalkan kebenaran dalam hidup ini. Orang yang berpegang pada kebenaran selalu memperjuangkan kebaikan bersama. Sedangkan orang yang mengandalkan kebohongan hanya memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri. Yang penting dirinya senang dan orang lain mengalami susah dan derita.

Mari kita terus-menerus memperjuangkan kebenaran dalam hidup ini. Dengan demikian, kita berkenan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati.



Frans de Sales, SCJ


813

24 Oktober 2011

Membuka Hati bagi Semua Orang


Suatu hari Yesus sedang mengajar orang banyak di sebuah rumah. Tiba-tiba ibu dan saudara-saudari sepupu Yesus mendatangi Yesus. Mereka sangat ingin menjumpai Yesus. Sudah begitu lama mereka tidak bertemu dengan-Nya, karena selalu berkeliling dari kota dan desa untuk mengajar.

Melihat kehadiran ibu dan saudara-saudari sepupu Yesus itu, beberpa orang menyampaikan kepada-Nya. Mereka berkata, ”Guru, ibu dan saudara-saudari-Mu ingin bertemu dengan-Mu. Mereka sangat rindu untuk berjumpa dengan-Mu.”

Yesus tersenyum mendengar hal itu. Lantas ia berpaling kepada semua yang hadir. Ia berkata, ”Siapa ibu-Ku? Siapa saudara-saudara-Ku? Kalian tahu, ibu dan saudara-saudara-Ku adalah semua orang yang mendengarkan pengajaranKu. Semua kamu yang melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari adalah ibu dan saudara-saudara-Ku.”

Pernyataan Yesus itu membingungkan para pendengar-Nya. Bukankah Yesus itu lahir sebagai manusia dari seorang perempuan bernama Maria? Bukankah saudara-saudari sepupu---Nya dikenal oleh banyak orang? Pernyataan Yesus itu menimbulkan pergunjingan di antara orang banyak.

Namun Yesus mengatakan kepada mereka bahwa kehadiran-Nya di dunia ini bukan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Ia hadir bukan hanya untuk keluarga--Nya saja. Ia datang ke dunia untuk semua orang. Ia datang untuk membebaskan dosa seluruh manusia. Tidak peduli mereka berasal dari keluarga besarnya atau tidak.

Sahabat, di negeri kita pernah muncul situasi kolusi, korupsi dan nepotisme atau KKN yang begitu kental. Apa yang terjadi ketika KKN menguasai hidup manusia? Yang terjadi adalah politik kekuasaan dan kepentingan untuk sebagian kecil orang saja. Ketika orang hanya memikirkan kebahagiaan dan keselamatan bagi diri sendiri, orang mengeliminasi sesamanya. Orang tidak memikirkan sesamanya secara lebih luas. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana keluarganya lepas dari kungkungan kemiskinan.

Padahal manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Artinya, makhluk yang mesti selalu peduli terhsadap sesamanya. Manusia yang tidak hanya menukik ke dalam dirinya sendiri untuk memikirkan kepentingannya sendiri. Egoisme dan nepotisme mesti dijauhkan dari hidup manusia, kalau manusia ingin terlibat dalam hidup bersama.

Namun sering manusia tidak mampu membendung kepentingan dirinya sendiri. Manusia merasa bahwa kalau kepentingan dirinya sendiri sudah terpenuhi, ia akan hidup bahagia. Ternyata tidak demikian. Kepentingan manusia selalu berkaitan dengan kepentingan bersama. Tidak bisa berdiri sendiri.

Untuk itu, manusia mesti berani melepaskan egoisme yang mengikat dirinya itu. Lantas manusia mesti membuka dirinya untuk menerima dan membantu sesamanya untuk mengalami kebahagiaan dalam hidup. Kisah tadi menjadi pelajaran yang sangat bermakna bagi kita. Yesus menyadari kehadiran-Nya bukan hanya untuk segelintir orang saja. Ia hadir untuk membahagiakan semua orang.

Mari kita terus-menerus membuka hati kita bagi kehadiran semua orang dalam hidup kita. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


812

23 Oktober 2011

Menumbuhkan Cinta yang Sejati

Dalam hidup ini, sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh Anda? Apakah mobil mewah yang bisa membawa Anda ke mana-mana dengan aman dan nyaman? Atau istri cantik atau suami ganteng yang selalu berada di sisi Anda? Atau harta kekayaan yang melimpah yang membuat hati Anda tenang?

Ada seorang bapak yang suka gonta-ganti mobil mewah. Ia suka memburu mobil-mobil mewah itu. Ia mengira bahwa setiap kali ia memiliki mobil mewah, hatinya akan tenang. Ternyata tidak! Ia selalu tidak puas dengan setiap mobil mewah yang telah dimilikinya. Ia selalu resah. Ia terus-menerus memburu mobil mewah.

Lantas apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia di zaman sekarang ini? Kalau bukan harta kekayaan dan kemewahan, lalu apa? Seorang bapak selalu resah, karena memiliki istri yang sangat cantik. Mengapa? Ia selalu curiga, jangan-jangan istrinya selingkuh karena disukai banyak kaum pria. Jadi apa yang membuat manusia tenang dalam hidup ini?

Sahabat, pertanyaan-pertanyaan di atas membawa kita pada suatu refleksi yang mendalam tentang hidup ini. Apa yang paling utama kita butuhkan dalam hidup ini sebenarnya cinta atau kasih sayang. Cinta membuat orang tenang dalam hidupnya. Cinta yang tulus membuat orang berani menjalani hidup ini apa adanya. Semua kekayaan dan kemewahan yang dimiliki hanyalah sarana untuk memiliki cinta yang tulus. Kalau orang tidak mengalami cinta yang tulus berkat harta yang melimpah, orang mesti berpikir ulang tentang harta yang melimpah itu.

Menurut seorang psikolog, untuk dapat sehat secara mental, yang diperlukan seseorang adalah cinta. Orang mesti menyadari lebih dalam manusia hidup dari cinta, hidup oleh cinta dan juga untuk cinta. Viktor Frankl mengatakan bahwa cinta adalah tujuan utama dan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

”Saya menangkap makna rahasia terbesar yang melingkar dalam syair, dalam pikiran dan keyakinan manusia, yaitu penyelamatan manusia diperoleh lewat cinta dan di dalam cinta,” kata Victor Frankl.

Karena itu, yang mesti dilakukan oleh manusia dalam hidup ini adalah menghidupi cinta tanpa syarat. Suatu cinta yang senantiasa mengutamakan kebahagiaan dalam hidup ini. Inilah cinta sejati. Cinta yang merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain.

Tugas seorang beriman adalah memberikan cinta yang tulus dan sejati kepada sesamanya, siapa pun mereka. Sering orang memilih-milih siapa yang dapat dicintainya. Namun cinta yang sejati tidak memilih-milih. Erich Fromm, psikolog yang terkenal dengan bukunya, The Art of Loving, menulis tentang cinta tak bersyarat. Menurut Fromm, cinta tak bersyarat berhubungan langsung dengan kerinduan yang paling dalam, bukan hanya kerinduan pada anak, melainkan kepada setiap manusia.

Mari kita tumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam hidup kita. Dengan demikian, kita mampu menciptakan suatu dunia yang lebih baik. Kita mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

811

Mendengarkan dan Melaksanakan Kehendak Tuhan




Suatu hari seorang ibu mengagumi Yesus. Waktu itu, Yesus sedang mengajar tentang mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Selain mengajar, Yesus juga menyembuhkan berbagai penyakit dari orang-orang yang menderita. Tiba-tiba di tengah-tengah kerumunan orang banyak, seorang ibu bangkit berdiri. Jari telunjuknya ditujukan kepada Yesus.

Ibu itu berkata, ”Berbahagialah ibu yang telah melahirkan dan menyusui Engkau.”

Yesus tersenyum mendengar kata-kata perempuan itu. Lantas Yesus menjawab, ”Lebih berbahagialah orang yang mendengarkan dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari.”

Perempuan itu tersipu-sipu. Ia merasa malu sendiri dengan kata-katanya. Baginya, perempuan yang telah melahirkan dan menyusui Yesus tentu saja seorang yang istimewa. Seorang perempuan yang terhormat. Seorang perempuan yang pantas berbahagia menyaksikan kesuksesan anaknya.

Sahabat, ternyata bagi Yesus, yang lebih berbahagia adalah semua orang yang mau memasang telinga untuk mendengarkan kehendak Tuhan. Soalnya adalah apakah di zaman sekarang ini orang mampu menangkap kehendak Tuhan? Bukankah banyak orang lebih suka mendengarkan dirinya sendiri? Bukankah banyak orang selalu mengalami kesulitan untuk mendengarkan orang lain, apalagi mendengarkan kehendak Tuhan?

Tuhan berbicara kepada kita setiap hari. Ini yang mesti kita sadari. Tuhan berbicara melalui tanda-tanda zaman. Tuhan berbicara kepada kita melalui orang-orang yang ada di sekitar kita. Ketika kita salah jalan, Tuhan menegur kita melalui sesama kita. Nah, untuk hal seperti ini kita mengalami kesulitan untuk menerima. Mengapa? Karena kita selalu merasa diri benar. Tidak boleh ada orang yang menegur atau memperingatkan kita, ketika kita berjalan di jalan yang salah.

Tuhan juga menghendaki agar kita melaksanakan keinginan-keinginanNya. Tuhan selalu menginginkan hal-hal yang baik terjadi dalam hidup kita. Tuhan selalu menginginkan kita hidup baik dan benar di hadapanNya. Tuhan tidak mau kita mengalami kesulitan dalam hidup ini. Ini yang semestinya kita yakini dalam perjalanan hidup ini. Kita mesti berjuang terus-menerus untuk melaksanakan kehendak Tuhan bagi hidup kita.

Karena itu, kita perlu kesadaran yang dalam untuk mendengarkan kehendak Tuhan bagi diri kita. Kita butuh waktu untuk mendengarkan kehendak Tuhan itu. Kita butuh saat-saat hening untuk membiarkan diri kita dikuasai oleh Tuhan. Dengan demikian, kita mampu mendengarkan dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


810

21 Oktober 2011

Membawa Kegembiraan kepada Sesama


Sebagian besar dari kita masih ingat pemuda bernama Andres Iniesta. Dialah pahlawan kesebelasan Spanyol pada final Sepakbola Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika Selatan. Gol semata wayang yang dicetaknya menjadi penentu sejarah baru di dunia sepakbola: Spanyol menjadi negara kesembilan yang merebut Piala Dunia Sepakbola. Sebelumnya, hanya delapan negara yang bergantian menjadi juara.

Namun yang lebih penting lagi adalah Andres Iniesta bangkit dari keterpurukannya. Sepanjang musim kompetisi liga Spanyol, ia lebih banyak berada di ruang perawatan terhadap cedera hamstring dan pangkal paha. Ia jarang diturunkan oleh pelatih Barcelona, klub di mana ia bernaung. Namun setelah sembuh, ia pun kembali ke penampilan normalnya. Ia bekerja keras untuk mendapatkan tempat di tim utama kesebelasan Spanyol. Untuk kerja kerasnya itu, ia memberikan hadiah berupa trofi Piala Dunia bagi negeri tercintanya.

Tentang partisipasinya di Piala Dunia, pria berusia 26 tahun ini berkata, “Ketika sampai di Piala Dunia, aku menatapnya dengan penuh hasrat serta ambisi. Aku berharap segalanya berakhir baik dan di samping kekalahan lawan Swiss di laga pertama, kami berhasil bangkit dari itu, pulih dengan baik. Semua tahu akhirnya seperti apa.”

Sebagai seorang pemain, Iniesta mengaku tugasnya adalah menggembirakan para penonton dan penggemarnya. “Untuk membuat banyak orang bahagia adalah sesuatu yang tak ternilai. Inilah yang menuntaskan pekerjaanku. Semampunya membuat banyak orang yang mendukung kita bahagia. Kebahagiaan orang tak ternilai harganya,” katanya.

Sahabat, sudahkah Anda menghadirkan kegembiraan bagi sesama Anda dalam hidup ini? Atau Anda telah menghadirkan kecemasan dalam diri sesama Anda? Kalau hal terakhir ini yang terjadi, Anda mesti segera mengintrospeksi diri Anda. Mengapa? Karena tugas setiap orang adalah memberikan kegembiraan hidup bagi sesamanya. Tugas kita dalam hidup ini adalah menciptakan suasana sukacita bagi sesama. Ketika kita menciptakan suasana yang menggembirakan sesama, kita memberikan pengharapan bagi sesama kita.

Pengharapan itu begitu penting dalam hidup ini. Ada orang yang tidak punya pengharapan. Mereka merasa bahwa hidup ini akan segera berakhir. Mereka tidak perlu punya macam-macam pengharapan. Yang penting bagi mereka adalah menjalani hidup ini. Tidak perlu menggantungkan pengharapan setinggi langit. Tentu saja orang seperti ini akan hidup biasa-biasa saja. Tidak ada gejolak dalam hidup mereka. Mereka hanya mencari aman saja. Padahal ada begitu banyak sesamanya yang menantikan sukacita dari mereka.

Kisah di atas memberi kita contoh bagaimana orang mesti berani bekerja keras untuk memberikan kegembiraan bagi sesamanya. Orang yang demikian tidak bisa hidup biasa-biasa saja. Orang seperti ini punya tujuan hidup dan punya cita-cita yang tinggi. Cita-citanya itu tidak bisa dikalahkan oleh berbagai hambatan yang menghadang hidupnya.

Karena itu, mari kita berusaha untuk membawa kegembiraan dan harapan bagi sesama kita. Dengan demikian, hidup ini semakin memiliki makna yang lebih mendalam. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


809

Tuhan Itu Satu-satunya Andalan Kita


Ada seorang bapak yang menurut istrinya sangat baik hati. Setiap kali istrinya melakukan suatu kesalahan ia selalu memakluminya. Setelah memberi nasihat sekedarnya, bapak itu memaafkan istrinya. Situasi seperti itu memberikan suatu semangat dalam hidup berkeluarga. Sang istri merasa hidup ini menjadi lebih bermakna. Ia dapat melayani kebRata Penuhutuhan-kebutuhan hidup bersama dengan baik.

Suatu ketika, sang suami melakukan kesalahan yang berat. Ia tertangkap tangan sedang menjual narkoba. Ia mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia ditahan pihak berwajib. Ia pun kemudian diadili atas perbuatannya itu. Hukuman yang mesti dijalani oleh sang suami sangat berat, yaitu 15 tahun penjara.

Bagi sang istri, situasi seperti itu membuat ia patah semangat. Ia mesti membesarkan anak sematang wayangnya sendirian, sementara suaminya mesti mendekam di penjara. Ia mesti memulai hidup tanpa sang suami yang sangat dicintainya itu.

”Bagaimana saya bisa menjalani hidup ini tanpa suami saya? Dialah yang selalu membesarkan hati saya setiap kali saya jatuh ke dalam dosa. Apa yang akan terjadi ketika saya jatuh ke dalam dosa? Siapa yang akan membesarkan hati saya? Siapa yang akan memaafkan saya?” katanya.

Istri itu terus-menerus dihantui oleh situasi tersebut. Namun ia mesti bangkit. Ia mesti memulai hidup baru tanpa sang suami di sisinya setiap hari. Ia masih punya tanggung jawab atas anak yang dilahirkannya. Karena itu, ia pun bangkit. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berjuang untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Ia membesarkan dan membahagiakan anaknya.

Sahabat, manusia semestinya tidak terlalu larut dalam kesedihan. Orang boleh saja mengalami penderitaan dalam hidup. Tetapi orang mesti punya keyakinan bahwa masih ada secercah cahaya yang mampu membangkitkan dirinya dari keterpurukan. Cahaya itu adalah iman kepada Tuhan. Ketika orang mampu menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, orang akan mampu bangkit. Orang tidak begitu saja terpuruk dan mati dalam penderitaannya.

Kisah di atas mengajak kita untuk tetap bertahan di dalam penderitaan. Kita mesti bangkit. Kita mesti mencari cara-cara terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup kita. Soalnya adalah mampukah kita mengandalkan Tuhan dalam hidup kita? Bukankah ada orang yang kurang percaya bahwa Tuhan mampu memberi pertolongan bagi dirinya? Bukankah ada orang yang menempatkan Tuhan sebagai pemain cadangan dalam hidupnya? Banyak orang mau datang kepada Tuhan hanya ketika mereka membutuhkannya. Padahal Tuhan selalu siap untuk membantu manusia kapan dan di mana saja.

Karena itu, yang dibutuhkan dari hidup manusia adalah sikap penyerahan hidup yang total kepada Tuhan. Artinya, orang mengandalkan Tuhan sebagai satu-satunya penolong dalam hidupnya. Orang mengandalkan Tuhan sebagai satu-satunya penyelamat dalam hidup ini.

Mari kita menyerahkan seluruh hidup kita ke dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, kita dapat semakin percaya bahwa Tuhan sungguh penolong kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ




808

20 Oktober 2011

Ubah Hati yang Keras dengan Hati yang Lembut Rata Penuh



Ada seorang pemuda yang terkenal dengan ketegaran hatinya. Ia punya prinsip yang kuat dalam hidupnya. Soalnya, prinsip-prinsip hidupnya itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan bersama. Ia mau hidup dengan caranya sendiri. Misalnya, ia merasa bahwa orang tidak perlu bayar pajak kepada pemerintah. Alasannya adalah pihak pemerintah selalu menyalahgunakan hasil pajak itu. Dalam hal ini ia menjadi orang yang cuek. Ia tidak peduli.

Ketika diberi penjelasan oleh teman-temannya tentang hal ini, ia tidak mau juga mengerti. Ia tetap saja bertahan pada prinsipnya. Ia mau agar semua orang bebas pajak. Pemerintahlah yang seharusnya memfasilitasi masyarakatnya. Pasalnya, pemerintah menguasai semua sektor yang menghasilkan devisa bagi negara.

Akibatnya, ia disingkirkan banyak orang karena prinsip hidupnya yang dianggap aneh. Namun ia tidak peduli. Ia hidup dengan cara pandangnya sendiri. Ia tidak ingin didikte oleh orang lain. Ia punya pilihan dan cara hidup sendiri. Ia tidak ingin orang lain mencampuri urusan dirinya itu.

Sahabat, tampaknya kisah di atas menunjukkan bahwa pemuda itu orang yang tidak gampang bertobat. Meski sudah dijelaskan dan diberi pengertian, ia mau hidup dengan caranya sendiri. Ia tetap bertahan pada prinsip-prinsip hidupnya sendiri yang dirasakannya benar. Ia memang orang yang tegar. Bisa saja bahwa orang seperti ini akan ditinggalkan banyak orang. Orang yang hidup dengannya akan selalu merasa ada yang tidak beres. Tidak ada yang klop berhadapan dengan orang seperti ini.

Soalnya, mengapa orang sulit sekali untuk bertobat? Jawabannya adalah manusia selalu menganggap diri benar. Manusia menjalankan apa yang menurut dirinya sendiri baik dan benar. Padahal belum tentu apa yang dipikirkan dan dilakukannya itu benar dan baik bagi sesama.

Dalam hubungannya dengan Tuhan, orang yang sulit bertobat itu merasa tidak membutuhkan Tuhan. Ia merasa bisa melakukan apa saja tanpa bantuan Tuhan. Mungkin dalam pikirannya, kehadiran Tuhan hanyalah mengganggu dirinya. Karena itu, lebih baik ia melaksanakan apa yang menjadi kehendak dirinya sendiri. Ia tidak perlu mendengarkan kehendak Tuhan bagi hidupnya.

Orang seperti ini menutup diri terhadap kehendak Tuhan bagi dirinya sendiri. Lebih baik ia melaksanakan kehendaknya sendiri daripada melaksanakan kehendak Tuhan. Menurut orang seperti ini, kehendak Tuhan itu tidak jelas. Kehendak Tuhan kurang menyenangkan dirinya.

Namun Tuhan tetap menaruh kasih kepada orang seperti ini. Tuhan mau agar orang seperti ini juga senantiasa menemukan kebaikanNya dalam hidup sehari-hari. Rahmat Tuhan akan tetap menaungi dirinya. Hingga suatu saat orang seperti ini akan sadar bahwa ia membutuhkan Tuhan bagi perjalanan hidupnya. Ketika ia mengalami kebuntuan dalam hidupnya, ia akan datang kepada Tuhan. Ia akan bersujud di hadapan Tuhan dan mohon ampun atas segala dosa dan kesalahannya.

Mari kita membuang hati kita yang tegar. Hati yang keras seperti batu kita ubah dengan hati daging yang lemah lembut. Hati yang mudah tersentuh oleh kebaikan Tuhan. Dengan demikian, kita dapat memiliki hidup yang kekal. Kita mampu berjalan bersama Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


807

16 Oktober 2011

Menumbuhkan Kesabaran dalam Hidup



Apakah Anda punya kesabaran yang tinggi dalam hidup ini? Kalau Anda mesti menunggu seorang teman yang berjanji untuk menjumpai Anda, namun setelah enam jam ia belum datang juga, apakah Anda masih sabar menunggunya?

Kalau Anda punya kesabaran yang tinggi, Anda akan menunggunya sambil mengerjakan pekerjaan rutin Anda. Namun kalau Anda kurang punya kesabaran, Anda akan meninggalkannya. Anda tidak akan peduli terhadap dirinya. Di sinilah kesabaran dan kesetiaan seseorang diuji.

Banyak orang mengatakan kesabaran itu kekuatan yang menjadikan seseorang tabah, tekun dan berani dalam hidup ini. Tabah mengandung unsur tahan derita, tidak mudah mengeluh. Sakit dan derita dijalani sebagai bagian dari hidup.

Orang yang tekun itu tidak putus asa. Orang yang tekun itu penuh pengharapan, karena yakin bahwa pasti ada jalan untuk mengatasinya. Berbagai persoalan yang dihadapi akan diatasi dengan penuh semangat. Ketekunan membantu seseorang untuk menemukan cara-cara yang brilian dalam mengatasi setiap persoalan hidupnya.

Orang yang berani biasanya orang memiliki kesiapsediaan untuk menghadapi situasi hidupnya. Peristiwa-peristiwa hidup dilalui dengan sukacita, karena berani menghadapinya dengan tenang. Meski ada derita dalam pengalaman hidup, tetapi orang yang berani akan tetap punya optimisme dalam hidupnya. Dengan demikian, orang tetap bertahan dalam hidupnya. Orang tidak mampu digoyahkan oleh berbagai persoalan dan pengalaman pahit hidup ini.

Sahabat, tentang kesabaran, Richard Calson berkata, ”Semakin kita sabar, semakin kita dapat menerima hidup ini apa adanya, bukan semakin memaksa hidup ini persis seperti yang kita kehendaki.” Misalnya, sekarang Anda jatuh sakit, pasti Anda menghendaki cepat sembuh. Dengan berbagai cara, Anda akan mengupayakan kesembuhan itu. Namun kesembuhan butuh proses. Proses berarti butuh waktu. Dan untuk berjalan dalam proses waktu, dibutuhkan kesabaran.

Kalau Anda seorang yang sedang dirawat di rumah sakit, Anda butuh beberapa tahap untuk mencapai kesembuhan. Tahap pertama pemeriksaan fisik secara sistimatis oleh dokter, kemudian tindakan dan pemulihan. Terhadap tahapan-tahapan ini dibutuhkan kesetiaan dari Anda untuk menjalaninya.

Kesabaran itu seperti tumbuhnya sebatang pohon yang menghasilkan buah untuk dimakan. Untuk dapat menghasilkan buah, pohon tersebut harus melewati proses pertumbuhan yang panjang: tumbuh, bunga, buah. Proses ini butuh waktu yang panjang. Mungkin satu atau dua tahun. Mungkin juga sepuluh atau dua puluh tahun, baru sebatang pohon memberikan buah yang segar bagi hidup manusia. Untuk itu, dibutuhkan kesabaran.

Orang beriman itu mesti menumbuhkan kesabaran dalam hidupnya. Kalau berdoa, orang beriman tidak bisa mengharapkan hasil dalam waktu sejenak. Orang mesti sabar menanti jawaban dari Tuhan. Mungkin Tuhan akan menjawab perrmohonan-permohonannya, namun tidak persis seperti yang diharapkan. Memang, Tuhan tidak wajib mengabulkan setiap permohonan kita. Karena itu, kita mesti tetap berharap dengan penuh iman kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


806

Mengalami Tuhan dalam Hidup Sehari-hari


Di suatu desa, hiduplah seorang petani dan anaknya. Ayah dan anak ini menanam padi untuk penghidupan mereka. Setelah mencangkul di musim kemarau yang panas, keduanya mulai menanam di musim hujan tiba. Maklum, kebun yang mereka miliki adalah ladang yang hanya bisa ditanami di musim hujan.

Sang anak bekerja tanpa kenal lelah membantu ayahnya. Ia tidak peduli kedua telapak tangannya menjadi tebal. Butir-butir keringat yang ia cucurkan menjadi sumber rezeki bagi keluarganya. Setelah menanami ladang penuh dengan padi, keduanya mulai beristirahat. Mereka menunggu sampai masa penyiangan tiba. Mereka akan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela padi.

Setelah masa penyiangan selesai, keduanya tetap bekerja dengan memberi pupuk pada batang-batang padi itu. Hingga suatu ketika keduanya menikmati hasil panen yang melimpah dari ladang mereka. Setelah beberapa hari padi-padi itu dipanen, sang anak berkata kepada ayahnya, “Ayah, beri saya waktu untuk istirahat. Saya mau pergi ke kota. Boleh kan sesekali saya menikmati hasil kerja kita?”

Ayahnya tersenyum mendengar permintaan anaknya. Ia mengerti itulah keinginan setiap pemuda. Mereka bekerja untuk mengumpulkan uang. Setelah itu mereka gunakan untuk berfoya-foya. Mereka butuh kesempatan untuk menikmati hidup. Tidak selamanya orang hanya bekerja dan bekerja.

Karena itu, ayahnya mengizinkan anaknya itu untuk meninggalkan desa menuju kota. Meski ia tahu bahwa anaknya akan seperti rusa masuk kota, ia tetap membiarkan anaknya pergi. Ia butuh pengalaman. Ia butuh kesempatan untuk mengisi hidupnya dengan pengalaman-pengalaman baru. Apa yang akan terjadi dengan dirinya, sang ayah yakin, anaknya akan mampu bertanggungjawab.

Sahabat, orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Orang yang berani bergelut dengan pengalaman akan menemukan bahwa hidup ini memiliki aneka keindahan. Orang berani belajar dari pengalaman-pengalaman itu. Orang mengasah ketrampilan dirinya melalui pengalaman-pengalaman itu.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang akan menemukan pengalaman baru dalam hidupnya, ketika ia berani melangkahkan kakinya. Pengalaman itu mesti dijalani. Pengalaman tidak datang dengan sendirinya. Ketika pemuda itu berani meninggalkan desanya, ia boleh berharap akan mendapatkan berbagai pengalaman menarik. Pengalaman-pengalaman baru itu akan memperkaya dirinya dalam hidupnya sehari-hari.

Demikian halnya dengan pengalaman akan Tuhan. Kita percaya bahwa penyertaan Tuhan kita alami dalam kehidupan kita yang nyata. Mengapa? Karena Tuhan hadir dalam perjalanan hidup kita. Tuhan hadir dalam pengalaman hidup kita sehari-hari.

Karena itu, orang beriman mesti berani mencari Tuhan dalam hidup sehari-hari. Orang beriman mesti berusaha menemukan Tuhan dalam kehidupannya yang nyata. Lantas kalau sudah berjumpa dengan Tuhan, orang mesti berani bertanya tentang kehendak Tuhan bagi dirinya. Hanya dengan cara ini, orang mampu berjalan bersama Tuhan. Orang mampu mengenal kehendak Tuhan bagi hidupnya. Dengan demikian, orang menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


805

Selalu Punya Pintu Maaf di Hati



Seorang gadis merasa kecewa luar biasa terhadap pacarnya. Pasalnya, ia merasa sudah banyak berkorban untuk pacarnya itu. Tetapi pacarnya itu serta merta meninggalkan dirinya. Tanpa alasan yang jelas. Bahkan pacarnya itu sudah punya pacar baru. Hati gadis itu pedih serasa diiris sembilu.

Gadis itu mengaku bahwa ia sulit melupakan peristiwa pedih itu. Akibatnya, ia merasa sulit untuk mengampuni mantan pacarnya itu. ”Tidak ada pintu maaf di hati saya baginya. Saya merasa sakit. Saya tidak bisa menerima perlakuannya. Saya sadar, saya bukanlah yang tercantik, tetapi saya juga punya hak untuk tidak diperlakukan seperti ini,” kata gadis itu.

Sejak itu, gadis itu tidak percaya terhadap setiap lelaki. Ia menolak semua pemuda yang berusaha mendekatinya. Ia tidak mau gagal untuk yang kedua kalinya. Ia menutup pintu hatinya rapat-rapat bagi setiap cinta dari kaum lelaki. Ia memutuskan untuk hidup sebatang kara. Ia tidak mau hidup bersama seorang lelaki pun untuk membangun sebuah keluarga. Baginya, hidup menyendiri lebih bermakna.

Sayang, gadis itu tetap merasa sulit untuk mengampuni. Pintu pengampunan sudah tidak ada bagi mantan pacarnya itu. Ia hidup dalam situasi penuh curiga. Mengapa hal itu terjadi? Karena ia tidak ingin disakiti. Ia tidak ingin dikecewakan lagi. Baginya, satu kali kecewa itu sudah cukup. Gadis itu akhirnya mengakhiri hidupnya dalam kesendirian dan kekecewaan yang mendalam.

Sahabat, orang yang hidup tanpa cinta kasih itu sebenarnya orang yang telah mati. Ia tidak digerakkan oleh dorongan cinta kasih yang menjadi dasar hidup seorang manusia. Orang seperti ini lebih mementingkan dirinya sendiri. Orang seperti ini tumbuh dalam egosime yang sangat kuat.

Padahal cinta kasih yang normal itu membawa rasa sakit dalam hidup. Cinta kasih yang tulus itu membiarkan dirinya merasa kecewa, karena korbannya dianggap sepele. Cinta kasih yang sesungguhnya itu dibangun di atas butir-butir keringat dan airmata. Ada rasa sakit. Ada korban. Namun orang tidak berhenti pada rasa sakit dan korban.

Orang mesti bangkit dari rasa sakit itu. Orang mesti berani meninggalkan rasa sakit dan kecewa. Caranya adalah dengan berani melupakan perlakuan dari mereka yang menyebabkan hati tersayat-sayat. Caranya adalah dengan mengampuni mereka yang telah menusuk hati kita dengan kata-kata yang tidak mengenakkan.

Orang beriman itu selalu punya pintu pengampunan bagi sesamanya yang melakukan dosa dan kesalahan terhadap dirinya. Hanya dengan pengampunan itu, orang dapat lepas dari rasa sakit hati. Hanya dengan memberikan maaf yang tulus orang dapat mengobati luka batinnya.

Membiarkan diri terus-menerus didera oleh kekecewaan adalah suatu tindakan kurang bijak. Mengapa? Karena yang mengalami rasa sakit itu adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Yang mengalami luka batin itu adalah diri sendiri. Karena itu, dalam ketegaran hati orang mesti memiliki hati yang mudah tersentuh untuk mengampuni sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


804

11 Oktober 2011

Membangun Persaudaraan yang Kuat

Sejarah itu tercipta di menit ke-116, ketika tendangan kaki kanan Andres Iniesta menggetarkan jalan gawang Belanda yang dikawal Maarten Stekelenburg. Spanyol pun menjadi juara dunia untuk pertama kali. Para pemain Spanyol menumpahkan kegembiraan itu dengan berbagai cara. Kiper Spanyol, Iker Casillas, menangis sesenggukan begitu wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir.

Yang menarik adalah kemenangan Spanyol tersebut menjadi suatu peristiwa menyatunya dua kubu yang selama ini berseteru. Sebagian besar pemain inti Spanyol terdiri dari para pemain Barcelona yang dikenal dengan Catalan yang tidak pro-pemerintah. Bertahun-tahun lamanya tim-tim Catalan berseteru dengan tim-tim Madrid yang pro-pemerintah. Bahkan selama ini tim-tim dari Catalan enggan mengenakan seragam tim nasional dan membawa bendera kenegaraan Spanyol.

Namun peraihan gelar juara dunia sepakbola menjadi saat yang menyatukan kedua pihak yang saling bertikai selama ini. Marcelino Sanchez yang merayakan kemenangan bersama warga Kota Barcelona berkata, “Anda kini akan melihat orang-orang keluar di jalan dengan seragam 'La Roja' atau dengan bendera Spanyol yang biasanya dianggap tabu di sini.”

Sahabat, olahraga ternyata mampu menyatukan perselisihan yang telah terjadi bertahun-tahun. Olahraga yang membawa kegembiraan besar bagi suatu bangsa itu mampu menghilangkan permusuhan di antara anak-anak bangsa negeri itu. Yang mereka alami hanyalah sukacita, karena tim kesebelasannya mampu meraih juara dunia. Suatu impian yang puluh tahun dirindukan kini terwujud.

Sebuah kemenangan mampu membangkitkan semangat untuk bersatu. Nasionalisme yang terpecah belah itu dapat disatukan kembali berkat raihan sebuah trophy bernama Piala Dunia. Sepakbola bukan hanya sebuah olahraga. Sepakbola menjadi sebuah sarana untuk membangun persaudaraan.

Karena itu, yang diharapkan adalah persaudaraan yang dicapai itu tidak hanya berlangsung sesaat. Persaudaraan itu mesti terus-menerus hadir dalam kehidupan bersama. Untuk itu, orang mesti membangun sikap sportif seperti para pemain sepakbola yang sedang berlaga di atas lapangan hijau. Meski terjadi pelanggaran dari lawan main, tetapi selalu ada pengampunan. Meski pemain yang dilanggar itu mesti tertatih-tatih, karena mengalami cedera, ia tetap memberikan kata maaf bagi yang melanggarnya.

Orang beriman juga mesti memupuk sportivitas dalam kehidupan bersama. Orang yang mau menang sendiri biasanya akan menciptakan suasana yang kurang enak dalam hidup bersama. Sesamanya akan mengalami suasana tertekan dan takut. Akibatnya, kehidupan bersama menjadi kurang harmonis. Persaudaraan yang didambakan akan berakhir dengan suatu situasi yang tidak menyenangkan.

Untuk itu, membangun sportivitas yang mendukung persaudaraan merupakan panggilan kita semua. Dengan memiliki persaudaraan, kita dapat membangun hidup kita menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita terus-menerus membangun persaudaraan dalam hidup kita bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



803

10 Oktober 2011

Menemukan Makna Hidup



Apakah Anda sungguh yakin, hidup Anda memiliki makna yang mendalam? Atau Anda sering merasa bahwa hidup ini kurang bermakna? Mengapa hidup Anda kurang bermakna? Mungkin Anda tidak menemukan sesuatu yang utama yang menjadi fokus perjuangan Anda. Anda merasa bahwa apa yang Anda lakukan biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Karena itu, Anda butuh waktu untuk mengintrospeksi diri Anda.

Caranya mungkin Anda dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh Lily Allen, seorang penyanyi asal Inggris ini. Menyadari bahwa hidupnya tidak bermakna, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia hingar bingar musik untuk sementara. Lantas ia menghabiskan waktunya di sebuah kawasan hutan di Brasil untuk belajar tentang penggundulan hutan.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Selama ini hidupku terasa hampa, karena tidak bermakna. Terkadang aku juga merasa tak punya tujuan. Aku pergi ke Brasil untuk membuat diriku bangga, karena bisa menggunakan ketenaran untuk tujuan positif.”

Menurut pengakuan perempuan berusia 24 tahun ini, ia tidak ingin menunjukkan bahwa ia tahu segala-galanya. Ia ingin memahami beberapa hal yang tidak ia ketahui. Ia berada di Brasil karena ingin belajar dan berusaha menjadi lebih baik.

Ternyata Lily Allen tidak hanya belajar tentang penggundulan hutan. Setelah menyaksikan akibat buruk dari pengrusakan hutan, ia mengajar para penggemarnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Menurutnya, sangat penting bagi setiap orang untuk memikirkan dampak perilaku mereka terhadap masa depan bumi.

Pemilik albumm Alright, Still ini berkata, ”Kita semua harus berusaha mengurangi emisi karbon. Aku juga berusaha, tapi kuakui ini tidak mudah.”

Sahabat, kita hidup dalam zaman yang kurang begitu peduli terhadap lingkungan hidupnya. Begitu banyak penebangan pohon-pohon tanpa mengadakan aksi penanaman kembali. Akibatnya, banyak gunung mulai gundul karena kehilangan hutan. Satwa-satwa langka pun banyak yang punah. Mereka tidak punya tempat lagi untuk berlindung. Kalau pengrusakan lingkungan tidak dihentikan, bukan tidak mungkin manusia juga akan mengalami kesulitan dalam hidupnya.

Karena itu, kita butuh kesadaran tentang makna hidup. Kita tidak bisa hidup biasa-biasa saja. Kita mesti mengambil alternatif untuk menjadikan hidup kita ini lebih bermakna bagi kehidupan banyak orang. Untuk itu, kita mesti membuka wawasan pandang kita seluas-luasnya.

Apa yang telah dilakukan oleh Lily Allen dapat menjadi salah satu contoh bagi kita. Kita mesti memiliki kepedulian terhadap lingkungan di mana kita hidup. Langkah berani mesti kita ambil. Mungkin kita mesti meninggalkan kegiatan-kegiatan rutin kita sehari-hari. Kita ambil waktu untuk merefleksikan makna hidup kita. Mengapa kita hidup? Mau ke mana hidup ini mesti kita bawa?

Kiranya makna hidup yang lebih mendalam dapat kita temukan ketika kita tidak hidup biasa-biasa saja. Tetapi makna hidup itu dapat kita temukan, ketika kita memberi waktu khusus untuk merefleksikan panggilan hidup kita. Mari kita berusaha terus-menerus untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


802

09 Oktober 2011

Berlajar untuk Bertobat dari Dosa


Ada seorang pemuda yang punya hobby bermain catur di internet. Hobby itu membuat pemuda itu sangat ketagihan. Tiada satu hari pun ia lewatkan tanpa bermain catur. Setiap waktu luang ia gunakan untuk bermain catur. Bahkan waktu-waktu kerja ia gunakan juga untuk bermain catur di internet. Hasilnya? Pemuda itu merasa puas.

Suatu hari, pemuda itu menyadari kebiasaan buruknya itu. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari ketagihan itu. Namun ia gagal. Ia tetap saja berada di depan komputer untuk bermain catur. Ia berkata, ”Ah, kan hanya sebentar. Tidak lama lagi saya akan berhenti juga.”

Pemuda itu terus-menerus berusaha untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu. Ia mengalami jatuh dan bangun. Sambil memberi alasan-alasan yang menyegarkan dirinya, pemuda itu terus berusaha. Apa yang terjadi kemudian? Suatu hari, ia berusaha untuk tidak membuka permainan catur di internet. Kalau ada godaan untuk main catur, ia mengalihkan ke hal-hal lain. Ia tidak mau membuka permainan catur itu.

Kali ini ia berhasil. Ia melupakan permainan catur. Ia memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya. Keesokan harinya, ia mencoba hal yang sama. Kali ini ia pun berhasil. Hari-hari berikutnya, pemuda itu tidak lagi peduli terhadap permainan catur. Pikirannya terfokus pada pekerjaan-pekerjaannya.

Sahabat, sering manusia berkelit dan berdalih tentang dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Manusia tidak mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang telah dirasakan nikmat. Manusia berusaha untuk mempertahankan kenikmatan itu meski sebenarnya kenikmatan yang dialami itu hanyalah semu. Manusia tetap mau tenggelam dalam kenikmatan dosa.

Namun ternyata orang tidak bisa berlama-lama hidup dalam kenikmatan dosa. Mengapa? Karena kenikmatan dosa itu mengganggu ketenteraman hidup. Orang selalu merasa tidak aman dan nyaman. Dosa menggerogoti kedamaian manusia. Dosa meracuni hidup manusia. Dosa membuat hidup manusia tidak harmonis. Damai sulit tercapai ketika orang hidup di dalam dosa. Mengapa? Karena orang selalu merasa dikejar-kejar oleh dosa itu.

Akibat dari dosa tidak hanya dialami oleh diri sendiri. Akibat dosa juga dialami oleh sesama, karena perbuatan dosa selalu bersifat sosial. Penderitaan akibat dosa juga dialami oleh orang yang tidak melakukan dosa. Misalnya, dosa korupsi dan manipulasi yang dilakukan seorang pejabat berakibat pada kemiskinan bagi rakyat yang dipimpinnya. Anggaran yang semestinya digunakan untuk kebutuhan masyarakat itu digunakan untuk diri sendiri.

Karena itu, orang mesti berusaha menyadari kedosaannya. Caranya adalah dengan berefleksi diri. Ada saatnya orang mesti menukik ke dalam dirinya sendiri. Orang mesti berani mempertanyakan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan demikian, orang mampu berubah dan bertobat. Artinya, orang membuka dirinya untuk rahmat Tuhan yang hadir dalam hidupnya. Bertobat yang sesungguhnya adalah menerima Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


801

Membangun Relasi yang Lebih Dalam



Seorang ibu menceritakan pengalaman pahitnya dalam hidup berkeluarga. Ia sering disiksa oleh suaminya. Ia sering ditinggal pergi oleh suaminya berbulan-bulan. Bahkan suaminya itu telah menjalin kasih dengan perempuan lain.
Rata Penuh
Hati ibu itu terasa hancur. Ia merasa seolah-olah sudah jatuh ditimpa tangga pula. Hidup terasa berat baginya. Padahal, ia menikah dengan suaminya itu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup. Ia ingin mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya.

Dari segi materi, ibu itu tidak berkekurangan. Ia punya usaha sendiri yang sungguh-sungguh mendatangkan banyak keuntungan. Ia tidak perlu kuatir akan masa depan tiga orang anaknya. Ia mampu menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi. Ia mampu membimbing anak-anaknya untuk memiliki masa depan yang cerah. Satu hal kekurangan dalam hidupnya, yaitu ketidakharmonisannya dengan sang suami. Kalau suaminya berada di rumah, mereka selalu bertengkar. Tidak ada damai di antara mereka.

Ibu itu berkata, ”Yang membuat saya bertahan adalah anak-anak saya. Mereka begitu mencintai saya. Mereka mau berbagi dengan saya.”

Namun suatu hari tumbuh pula rasa sesal dalam diri ibu itu. Ia menyesal, mengapa suaminya pergi meninggalkannya berbulan-bulan. Mengapa ia selalu melihat segi negatif dalam diri suaminya? Ibu itu tidak hanya berhenti pada rasa sesal. Ia berusaha untuk mengembalikan suaminya ke sisinya. Untuk itu, ia mesti mengubah sikap-sikapnya. Ia mau melihat segi-segi positif yang ada dalam diri suaminya. Ia mengakui bahwa ketidakharmonisan yang terjadi selama ini juga buah dari kesalahan dirinya.

Usaha itu berhasil. Setelah lama berpisah, sang suami kembali ke sisinya. Mereka pun hidup bahagia sebagai suami istri. Derita yang lama dialami oleh ibu itu pun berakhir dengan sukacita dan damai.

Sahabat, banyak pasangan suami istri di zaman sekarang mengalami kekeringan hidup rohani. Mereka punya banyak masalah dalam hidup. Ada yang berhasil menemukan solusi atas persoalan-persoalan mereka. Namun ada juga yang hidup di bawah tekanan, karena persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan.

Pertanyaannya, mengapa pasangan suami istri mengalami kekeringan hidup rohani? Salah satu jawabannya adalah relasi mereka kurang mendalam. Mereka kurang saling mengenal. Pengenalan mereka hanya di kulit luar saja. Akibatnya, mereka mudah tersulut di saat ada persoalan yang menghadang kehidupan berkeluarga mereka. Mereka kurang punya dasar yang kokoh untuk meneruskan perjalanan hidup mereka sebagai suami istri. Banyak pasangan suami istri akhirnya memutuskan untuk berpisah. Sayang, memang. Tetapi itulah kenyataan yang ada.

Karena itu, apa yang mesti dibuat untuk mempertahankan hidup sebagai suami istri? Yang pertama-tama mesti dibuat adalah berusaha untuk mengenal pasangan masing-masing. Tentu saja hal ini menjadi tantangan yang tidak ringan. Seseorang mesti mengenal betul isi hati pasangannya. Orang mengatakan, dalamnya laut dapat diduga. Tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.

Namun berkat bantuan rahmat Tuhan, orang beriman mampu mengenal pasangannya dengan baik. Untuk itu, orang mesti berani menyerahkan hidupnya dan pasangannya ke dalam kuasa Tuhan. Orang beriman membiarkan Tuhan mengintervensi hidupnya. Dengan demikian, hidup ini menjadi indah dan membahagiakan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

800

Berusaha Menerima Perubahan

Ada seorang pemudi yang selalu merasa tidak percaya diri. Ia merasa tidak dicintai. Ia merasa ditolak oleh orang lain. Hal itu karena ia merasa bahwa sekarang ia menjadi orang yang jelek. Dulu tubuhnya langsing, tetapi sekarang menjadi besar tidak berbentuk. Dulu wajah dan kulitnya halus, namun sekarang menjadi hitam, kasar, dan kusam.

Perasaan negatifnya terus berkembang. Akibatanya, ia gelisah. Ia merasa resah dan tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Karena itu, dengan bermacam-macam cara dan sarana, ia memanipulasi penampilannya. Tujuannya untuk bisa menambah rasa percaya diri. Padahal sebenarnya tidak mengubah apa-apa.

Cara yang ditempuh itu menunjukan bahwa ia telah menolak tubuhnya sendiri. Artinya ia juga membenci dirinya sendiri, karena tidak berani menerima perubahan atau kenyataan. Sampai pada suatu ketika gadis itu mengalami stress berat. Ia jatuh sakit, karena tidak sanggup menerima dan menghadapi perubahan yang terjadi.

Suatu hari sahabatnya datang mengunjunginya. Sahabatnya itu tampak ceria. Sikap dan perilakunya dewasa. Tutur katanya menunjukkan kepribadian yang matang. Meski secara fisik sudah berubah, namun sahabatnya telah menerima perubahan. Ia menerima kenyataan bahwa dengan bertambahnya usia atau faktor-faktor lain, setiap orang akan mengalami perubahan secara alami. Sahabatnya mengimbangi perubahan fisik itu dengan berbagai kegiatan positif yang mengembangkan kematangan pribadi dan rohani.

Kehadiran sahabatnya itu menyadarkan gadis itu terhadap segala kecemasan yang dialaminya. Ia belajar dari sahabatnya. Akhirnya, ia berani menerima perubahan, sehingga hidupnya menjadi ringan dan gembira.

Sahabat, hidup kita ini selalu berubah. Kemarin kita mengalami perasaan yang berbeda dengan sekarang ini. Mungkin kemarin kita merasa sedih, takut, kuatir. Namun sekarang kita merasa ada semangat dan suasana yang baru. Kemarin rasanya tubuh ini tidak dapat bergerak sedikit pun, tetapi saat ini ada suatu perubahan. Kita sudah menggerakkan badan kita.

Ternyata perubahan itu membawa dinamika yang indah. Perubahan itu membantu kita untuk mengenal secara lebih dalam siapa diri kita ini. Apakah kita tumbuh menjadi lebih dewasa atau kita tetap saja kekanak-kanakan? Kalau kita tidak merasa bahwa tidak ada perubahan dalam diri kita, kita akan mudah cemas. Bahkan kita akan mengalami stress dalam hidup ini.

Karena itu, langkah yang mesti kita lakukan adalah menerima kenyataan diri kita. Kita adalah makhluk yang terus-menerus berubah. Perubahan itu senantiasa menuju kebaikan. Untuk itu, kita mesti mensyukuri perubahan itu. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Hidup ini menjadi suatu rahmat dari Tuhan sendiri. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


799

06 Oktober 2011

Tuhan adalah Arah Hidup Manusia


Apakah Anda pernah kesasar? Saya rasa semua orang pernah kesasar. Ada seorang teman saya yang sering kesasar. Padahal ia sudah berkali-kali lewat jalan yang sama. Bahkan pulang ke rumah pun beberapa kali ia nyasar. Akibatnya, banyak waktu ia buang untuk mencari jalan yang benar.

Ketika ditanya alasannya, teman saya ini selalu mengatakan bahwa ia lupa jalan. Pengalaman lupa itu sering menyengsarakan dirinya. Ia sering cemas ketika mengadakan suatu perjalanan. Kalau sampai ia nyasar lagi, ia merasa sakit hati. Ia memarahi dirinya sendiri. Ia kesal terhadap dirinya.

Karena seringnya nyasar, teman saya itu membeli peta kota-kota di Indonesia. Ia berusaha untuk mempelajarinya. Ia berusaha untuk menghafal jalan-jalan di kota-kota tersebut. Di dalam kendaraannya, ia memiliki berbagai peta. Menurutnya, dengan cara itu ia dapat mengatasi kebiasaan nyasarnya itu. Hebatnya, ia berhasil. Ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu lagi untuk mencapai tujuan.

Tentang keberhasilannya ini, ia berkata, ”Saya berusaha menghafal jalan-jalan dan alamat-alamat. Tetapi saya tidak hanya lihat peta. Saya juga berusaha untuk menandai tempat-tempat yang saya lewati itu.”

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang sering tidak punya arah yang pasti. Kita jadi bingung. Kita harus memutuskan untuk memilih arah hidup kita, agar kita tidak nyasar ke arah yang salah. Kita tidak ingin sesat dalam hidup kita. Kita tidak ingin hidup ini berakhir sia-sia.

Karena itu, kita mesti mengatur cara hidup kita. Kita tidak bisa hidup seenaknya saja. Orang yang hidupnya tidak teratur biasanya tidak punya tujuan hidup yang terarah. Orang seperti ini biasanya plin-plan. Sebaliknya, hidup yang teratur akan membantu hidup kita menjadi lebih baik.

Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus mengatakan bahwa Ia adalah jalan, kebenaran dan kehidupan. Bagi orang yang beriman kepada Yesus, Yesus adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan abadi. Tidak ada jalan lain. Melalui Yesus itu manusia beriman melintasi perjalanannya di dunia ini menuju keselamatan yang abadi.

Yesus tidak hanya memberikan pernyataan bahwa dirinya jalan, kebenaran dan kehidupan. Ia sendiri rela mengorbankan hidupnya bagi manusia. Ia sendiri wafat di kayu salib untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Ia mengajarkan kebenaran kepada manusia. Kebenaran itu ialah bahwa Tuhan senantiasa mengasihi manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendiri di dunia ini. Untuk itu, manusia mesti selalu mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Hanya dengan cara demikian, manusia tidak akan mengalami salah jalan. Manusia akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, kalau tetap berpegang teguh pada Tuhan.

Tuhan, bantulah kami untuk senantiasa berpegang teguh pada iman kami akan Dikau. Dengan demikian, kami mengalami kasih setia-Mu. Kami tidak perlu salah jalan untuk mengalami damai dan sukacita di dalam Engkau. Amin. **



Frans de Sales, SCJ


798

05 Oktober 2011

Mampu Menangkap Tanda-tanda Zaman



Ada seorang pemuda yang sangat peduli terhadap sesamanya. Ia menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak usia sekolah di kampungnya. Di kampung itu tidak ada sekolah. Ia membuka ruang tamu rumahnya yang kecil itu menjadi sekolah. Namun tidak ada guru yang mau mengajar anak-anak itu. Padahal anak-anak itu sudah saatnya untuk menempuh pendidikan dasar. Pemuda itu prihatin. Ia tidak tega melihat anak-anak itu tumbuh tanpa pendidikan yang baik.

Selain tidak ada guru yang mau mengajar, kendala lain adalah ia sendiri tidak lulus Sekolah Dasar. Ia putus sekolah saat duduk di kelas empat SD. Hal ini menjadi salah satu penghalang bagi dirinya. Namun pemuda itu tetap punya tekad baja. Ia tidak mau menyerah. Ia mulai belajar sendiri matapelajaran-matapelajaran dasar. Ia juga mencari buku-buku untuk menjadi bahan bacaan baginya.

Setelah pemuda itu merasa mampu mengajar, ia mengumpulkan anak-anak usia sekolah itu di rumahnya. Ia mulai mengajar mereka. Ia memanfaatkan kemampuan yang ada pada dirinya untuk mengajar anak-anak itu. Ruang tamu rumahnya itu ia sulap menjadi sebuah kelas. Meski sempit, anak-anak usia sekolah itu tampak sangat bersemangat. Mereka boleh mendapatkan pendidikan dalam masa pertumbuhan mereka.

Suatu hari, kepala kampung berkunjung ke rumah pemuda itu. Ia kagum terhadap ide yang dikerjakan oleh pemuda itu. ”Apa yang mendorong Anda melakuan semua ini?” tanya kepala kampung itu

”Saya kasihan melihat anak-anak di kampung ini tidak bersekolah. Mereka mesti mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan,” kata pemuda itu.

Sahabat, masih banyak anak negeri ini yang belum mendapatkan pendidikan yang baik. Keterbelakangan menjadi salah satu sebab terjadinya hal seperti ini. Namun ada hal lain yang menjadi penyebab, yaitu kerelaan dari sesama untuk membantu anak-anak negeri ini mendapatkan pendidikan.

Kisah kerelaan pemuda di atas menjadi salah satu contoh betapa kerelaan berkorban menjadi salah satu daya dorong dalam memulai suatu tindakan. Orang tidak hanya prihatin terhadap situasi yang ada. Tetapi orang berani menyerahkan diri untuk membantu sesamanya. Orang berani mempertaruhkan hidupnya untuk sesamanya.

Inilah yang disebut dengan cinta. Cinta menuntut korban. Cinta menuntut orang mampu membaca tanda-tanda zaman. Pemuda dalam kisah di atas mampu membaca tanda-tanda zaman. Ia mencintai anak-anak di kampungnya. Ia ingin agar masa depan mereka punya tujuan dan arah. Tidak hanya berhenti di kampung terbelakang. Tidak hanya digerus oleh kemiskinan.

Ia tidak ingin anak-anak itu tumbuh seperti dirinya yang tidak punya pendidikan yang baik. Karena itu, ia berani mengorbakan dirinya. Dalam keterbatasannya, ia menjadi sahabat bagi mereka. Ia menemani perjalanan anak-anak itu meraih masa depan yang lebih baik.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk mampu membaca tanda-tanda zaman. Artinya, kita mesti mampu menemukan kebutuhan-kebutuhan sesama yang ada di sekitar kita. Kita berusaha memenuhi kebutuhan sesama itu dengan rela berkorban dengan penuh kasih. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


797

04 Oktober 2011

Berkorban Tanpa Pamrih



Suatu hari saya harus menjemput seorang teman di bandara. Ia datang pada siang hari. Namun ia mengalami penundaan penerbangan. Lama saya harus menunggu teman saya itu. Waktu menunggu itu saya gunakan untuk jalan-jalan di sekitar bandara. Saya juga mampir di kafe untuk minum dan makan. Lama saya duduk di sana. Pesawat tidak datang-datang juga. Akhirnya saya putuskan untuk pulang. Soalnya, saya ada acara pada malam harinya.

Di tengah perjalanan, teman saya itu menelpon bahwa dia sudah mendarat. Ia minta saya untuk menjemputnya. Pasalnya, baru pertama kali itu ia ke Kota Palembang. Ia takut tersesat. Ia takut nyasar. Ia juga mengatakan bahwa ia belum makan sejak pagi. Jadi ia ingin mampir ke rumah makan untuk makan.

Saya langsung balik kanan. Saya kembali ke bandara. Saya mesti menjemput teman saya itu. Saya tidak ingin mengecewakan teman saya itu. Apalagi sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu. Itulah saatnya kami saling bertemu untuk bercerita tentang pengalaman kami masing-masing.

Sampai di bandara, teman saya itu sudah keluar ke pelataran bandara. Ia mencari-cari saya. Ia tampak agak cemas. Tiba-tiba saya muncul dari belakang. Saya menepuk punggungnya. Ia sangat terkejut. Lantas begitu melihat saya, ia langsung memeluk saya. Ia sangat bergembira. Ia tidak perlu cemas lagi. Ia telah menemukan sahabatnya yang sudah lama tidak berjumpa. Kegembiraan menjadi bagian dari hidupnya malam itu. Ia menemukan bahwa hidup ini semakin bermakna, ketika ada orang yang mau berkorban untuknya.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang banyak perhitungan. Orang berhitung tentang berapa jumlah uang yang mesti mereka peroleh dari suatu pekerjaan. Orang berhitung tentang keuntungan yang mereka peroleh setelah membantu sesamanya. Orang ingin agar apa yang dikorbankannya memperoleh kembali gantinya.

Tentu saja situasi seperti ini sering membuat relasi antarsesama menjadi renggang. Orang terlalu memperhitungkan korban yang telah dikeluarkannya. Orang memiliki pamrih yang begitu besar terhadap sesamanya.

Pertanyaannya, sejauh mana peranan iman dalam kehidupan sehari-hari? Apakah iman hanya berperan untuk diri sendiri? Bukankah iman mesti hidup dalam kehidupan yang nyata dengan berani berkorban tanpa pamrih?

Sebagai orang beriman, kita mesti berani mengorbankan hidup kita bagi kebahagiaan sesama. Korban itu mesti dilakukan tanpa pamrih. Hanya dengan cara ini, kita dapat membahagiakan sesama. Kita yang berani berkorban itu pun akan menemukan sukacita dan bahagia dalam hidup ini.

Orang yang berkorban secara semu akan menemukan hidup ini menjemukan. Hidup ini kurang bermakna. Hidup ini tidak membahagiakan. Hidup ini tidak indah bagi dirinya. Orang seperti ini akan mudah frustrasi dan stress. Mengapa? Karena orang tidak menemukan makna yang terdalam dari hidup ini. Mari kita berani mengorbakan hidup kita bagi kebahagiaan sesama tanpa menghitung untung atau rugi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


796

Memberi Kepercayaan pada Sesama



Suatu hari saya pulang ke kota asal saya, Maumere, Flores. Dari Denpasar, saya naik pesawat menuju Maumere. Selama dua jam lebih pesawat menjelajah udara kepulauan Sunda kecil menuju timur. Sore itu, udara kurang begitu cerah. Ada awan hitam yang menyelimuti bumi. Pilot mengumumkan bahwa kota Maumere sedang diterpa hujan deras. Namun pilot mengatakan bahwa pesawat akan mendarat dengan mulus. Tidak ada hambatan apa-apa.

Perlahan namun pasti, pilot mengarahkan pesawat menuju landasan. Dari arah laut Flores, pilot tidak bisa langsung menurunkan pesawatnya, karena ada pohon-pohon lontar. Tambahan pula hujan yang masih turun membuat pilot kurang begitu melihat dengan jelas landasan.

Yang dia lakukan adalah mendaratkan pesawat itu begitu saja. Akibatnya, pesawat itu melompat-lompat beberapa kali. Semua penumpang berteriak. Ada yang menundukkan kepala di antara kedua kaki. Ada yang menarik nafas panjang-panjang. Roda pesawat terus bergulir menuju ujung landasan. Makin lama semakin pelan. Pilot berhasil menghentikan pesawat itu sebelum rodanya melewati landasan. Beberapa penumpang memberikan tepuk tangan meriah atas keberhasilan pilot menyelamatkan pesawat dan penumpang.

Sesudah pesawat benar-benar berhenti, pilot keluar dari tempat kemudi. Ia tersenyum kepada para penumpang. Ia mengangkat jempolnya ke arah penumpang. Itu tandanya pesawat dan semua penumpang selamat. ”Terima kasih Anda telah mempercayai saya. Tanpa kepercayaan Anda, saya belum tentu berhasil mendaratkan pesawat ini dalam kondisi jelek seperti ini,” kata pilot itu.

Sahabat, kepercayaan yang kita berikan kepada seseorang akan memacu orang itu untuk melakukan hal-hal yang baik dan besar. Orang mendapatkan tambahan motivasi. Orang mendapatkan dukungan dari sesamanya. Karena itu, kita diajak untuk senantiasa memberikan dukungan kepada sesama kita.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kepercayaan yang diberikan kepada pilot itu sungguh-sungguh bermanfaat. Ia punya tanggung jawab untuk menyelamatkan pesawat dan semua isinya. Selain memang itulah tanggung jawab seorang pilot, tetapi kepercayaan yang diberikan itu menambah semangat dalam dirinya.

Namun orang beriman tidak harus diberi semangat tambahan, ketika melakukan kebaikan bagi sesama. Secara kodrati, orang beriman itu dengan sendirinya melakukan hal-hal baik bagi sesamanya. Mengapa? Karena itulah panggilan hidup manusia. Berbuat baik sebanyak-banyaknya bagi sesamanya. Dengan demikian, sukacita dan damai hadir dalam hidup manusia.

Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas dalam menjalani hidup ini. Orang tidak bisa hanya menunggu untuk melakukan sesuatu. Seperti pilot yang menyelamatkan para penumpang itu. Dia tentu tidak hanya mengikuti arus saja. Tetapi dia butuh kreatifitas untuk mendaratkan pesawat dengan baik dan benar.

Mari kita terus-menerus berusaha untuk menaruh harapan pada Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menemukan damai dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


795

02 Oktober 2011

Menumbuhkan Kecermatan dalam Hidup


Akhir tahun 1999 yang lalu saya berada di kota Timika, Papua. Suatu sore, di tempat saya tinggal didatangi seorang pilot asal Belanda. Ia sudah fasih berbahasa Indonesia. Istrinya adalah seorang Indonesia asal Solo. Sudah lima tahun ia menerbangkan pesawat-pesawat twin otter milik AMA atau Asociation Mission Aviation.

Sore itu, ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya menuju Biak. Bersama pesawatnya, ia sudah berada di ketinggian. Namun dari kejauhan ia melihat awan hitam yang sangat pekat. Ia kembali ke bandara intenasional Moses Kilangin Timika.

“Saya tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Langit sangat gelap. Di depan saya ada begitu banyak gunung yang tinggi. Saya tidak mau ambil resiko. Jadi saya kembali ke Timika,” kata pilot itu.

Pilot itu bisa mengambil keputusan seperti itu, karena ia sudah berpengalaman menerbangkan pesawat-pesawat kecil. Ia tahu daerah mana yang membahayakan dirinya. Ia mengerti betul ada berapa rintangan yang ada di hadapannya. Keputusan yang dia ambil bukan hanya untuk keselamatan dirinya sendiri. Tetapi keputusan itu demi keselamatan orang lain, yaitu para penumpang dan orang-orang yang mencintainya.

Pilot itu berani mengalah demi kebaikan. Itulah tindakan heroik yang telah dibuatnya. Tindakan heroik itu bukan hanya berani mengorbankan hidup. Tetapi juga dalam hal-hal yang membawa keselamatan bagi banyak orang.

Sahabat, sering kita menyaksikan ada orang yang bertindak begitu berani. Atau sebenarnya adalah tindakan yang gegabah. Orang mau membuktikan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang sangat sulit. Padahal mereka tidak punya ketrampilan untuk itu. Akibatnya, kecelakaan yang justru mereka alami.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena orang ingin dipuji. Orang ingin mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Berapa banyak nyawa kaum remaja yang mesti melayang karena kebut-kebutan di jalan?

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita tidak boleh gegabah dalam hidup ini. Kita mesti memperhitungkan segala sesuatu yang akan kita lakukan untuk hidup kita. Mengapa? Karena keputusan yang kita ambil untuk melakukan sesuatu itu bukan hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Keputusan itu juga untuk banyak orang lain.

Akibat dari keputusan gegabah yang kita ambil dapat berakibat bagi orang lain. Karena itu, suatu keputusan mesti diambil dengan cara yang secermat-cermatnya. Jangan asal buat keputusan yang hanya untuk menyenangkan diri sendiri.

Kita hidup dalam dunia di mana pujian sangat dikejar oleh manusia. Banyak orang mengejar pujian untuk sesuatu yang sangat sepele. Misalnya, orang berani terjun dari tebing yang tinggi hanya untuk dikatakan ia orang yang hebat dan pemberani. Ini sesuatu yang sepele, namun membahayakan nyawa. Namun orang mau melakukan itu. Bukankah ini suatu kebodohan? Bukankah yang menderita adalah dia sendiri?

Sebagai orang beriman, kita mesti cermat dalam hidup ini. Apa yang kita lakukan itu tidak hanya berakibat pada diri kita sendiri. Tetapi juga berakibat pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



794

01 Oktober 2011

Menumbuhkan Iman agar Menjadi Kokoh


Suatu kali saya bepergian dari kota Milwaukee, Wisconsin, ke Lexington, Kentucky, Amerika Serikat. Pesawat yang saya tumpangi transit di kota Detroit, Michigan. Saya harus naik pesawat yang lain untuk sampai di kota Lexington. Sekitar satu jam saya menunggu pesawat yang akan mengangkut saya dan penumpang lain menuju kota Lexington.

Begitu diumumkan nomor penerbangan yang akan kami gunakan, saya langsung menuju ke pesawat. Melihat pesawatnya, saya heran. Kok kami akan diterbangkan dengan pesawat kecil? Tambahan lagi pesawat tersebut dikendalikann seorang pilot yang masih muda. Tidak ada pramugari atau pramugara yang menyertai penerbangan itu. Begitu semua penumpang masuk, pilot sendiri yang menutup pintu pesawat. Lantas ia membagi-bagikan makanan kecil dan minuman kepada para penumpang yang berjumlah 12 orang. Beberapa saat kemudian, pilot menuju ruang kemudi. Pesawat pun take off.

Selama perjalanan saya berdoa, ”Tuhan, apakah Engkau mau kami semua hilang di belantara Amerika ini? Apa yang Engkau inginkan dari kami?”

Saya menjadi ragu dengan keselamatan kami. Seorang penumpang yang duduk di sebelah saya tahu apa yang saya rasakan. Ia tersenyum memandang saya. ”Anda tidak perlu takut. Pesawat kecil ini sudah terlatih untuk menjelajah daerah ini. Pilotnya masih muda. Tetapi dia sangat berpengalaman. Jadi, tenanglah,” kata orang itu.

Saya tidak begitu percaya dengan kata-katanya. ”Anda boleh saja berkata begitu. Tetapi kalau ada apa-apa dengan pesawat ini, kita akan terjun bebas. Tidak ada yang selamat,” jawab saya.

Penumpang itu tersenyum menyaksikan ketidakpercayaan saya. Setelah setengah jam penerbangan, pesawat kecil itu mendarat dengan mulus. Tidak ada benturan keras di landasan pacu. Ternyata pesawat kecil dan pilot yang masih muda itu bisa dipercaya.

Sahabat, kadang-kadang hati kita kecut menyaksikan sesuatu yang tampaknya tidak punya kekuatan. Kita tidak percaya bahwa sesuatu yang kecil itu juga punya kekuatan yang besar. Kita cenderung menganggap remeh sesuatu yang kecil itu. Padahal seperti kisah pengalaman tadi, sesuatu yang kecil itu mempunya kekuatan yang luar biasa. Pesawat yang kecil itu ternyata mampu membawa kami sampai tujuan. Tidak ada gangguan apa-apa.

Karena itu, berhadapan dengan sesuatu yang kecil yang tampaknya kurang berarti, kita tidak boleh memvonis begitu saja. Kita mesti beri kesempatan bagi yang kecil dan kurang berdaya untuk bertumbuh. Dengan demikian, yang kecil itu dapat mengembangkan diri semaksimal mungkin.

Iman yang kita miliki pun awalnya sesuatu yang kecil. Ketika kita pertama kali mengenal Tuhan, mungkin kita kurang begitu yakin bahwa Tuhan mampu menolong kita. Kita ragu-ragu, apakah Tuhan dapat membantu kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup kita. Namun lama-kelamaan, ketika kita sungguh-sungguh menumbuhkan iman yang kecil itu, kita menjadi orang yang percaya. Kita semakin membangun kesetiaan kepada Tuhan yang kita imani.

Mari kita bangun dan tumbuhkan iman kita yang kecil. Dengan demikian, kita semakin memiliki kesetiaan kepada Tuhan yang kita imani. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ