Pages

02 April 2014

Dalam Kegalauan, Tetap Beriman kepada Tuhan



Apa yang akan terjadi, ketika Anda mampu mengabadikan otak Anda dalam keabadian digital? Saya merasa bahwa hal ini akan membawa kegoncangan terhadap iman Anda.

Stephen Hawking mengatakan bahwa otak mampu berdiri sendiri di luar tubuh dan mendukung manusia untuk memperoleh keabadian.

Pada Sabtu (21/9) yang lalu, Hawking berkata, "Saya pikir otak seperti sebuah program dalam pikiran, seperti komputer, jadi secara teoretis sebenarnya mungkin untuk menyalin otak ke komputer dan mendukung bentuk kehidupan setelah mati."

Namun, menurut Hawking, seperti ini masih di luar kapasitas manusia saat ini. Selama ini, berdasarkan kepercayaan yang diyakini, banyak manusia memahami bahwa setelah mati, manusia akan menjadi abadi di alam yang berbeda. Jiwa manusia bertemu dengan Tuhan serta berada di surga atau neraka sesuai perbuatannya selama hidup.

Keabadian seperti yang diungkapkan Hawking kerap disebut dengan keabadian digital. Dalam hal ini, manusia abadi tetapi tidak dalam tubuh biologisnya. Dalam keabadian digital, eksistensi manusia tak lagi tergantung pada tubuh karena tubuh bisa diupayakan.

Keabadian seperti yang dimaksud Hawking sebenarnya sudah sering dibahas, termasuk oleh Ryan Kurzweil, salah satu insinyur di Google.

Dalam Global Futures 2045 International Congress, sebuah konferensi futuristik yang digelar di Amerika Serikat pada 14-15 Juni 2013 lalu, seperti diberitakan Huffington Post pada 20 Juni 2013, Kurzweil mengungkapkan bahwa keabadian digital bisa tercapai pada tahun 2045.

Salah satu teknologi kunci yang mendukung keabadian digital adalah mind uploading atau pengunggahan pikiran ke komputer alias dunia digital.

Sementara itu, keabadian digital mungkin terjadi dan telah banyak dibicarakan, tetapi banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalnya, mengapa manusia harus hidup abadi? Apa manfaatnya? Apa masalahnya kalau manusia hidup lalu mati saja seperti yang dialami saat ini?

Sahabat, setiap orang ingin meraih hidup abadi, namun tidak semudah yang diinginkan. Orang mesti berusaha hidup baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Tentu saja keabdian yang dimaksud tidak sama dengan keabadian digital. Keabadian yang ingin diraih oleh manusia yang hidup adalah persekutuan yang erat dengan Sang Pencipta kehidupan setelah manusia menghembuskan nafas terakhir.

Keabadian digital boleh saja terjadi dengan mengandaikan otak manusia yang masih berfungsi setelah kematiannya. Namun bukankah otak selalu menjadi ukuran ketika nyawa seseorang dipertaruhkan? Ketika orang tidak berfungsi lagi lalu dokter akan mengatakan bahwa seseorang telah tiada.

Memang seandainya keabadian digital sungguh-sungguh terjadi, tentu saja tidak semua otak manusia itu diabadikan. Tentu ada seleksi-seleksi yang diadakan agar dapat direkam dengan baik ke dalam computer yang tersedia. Andaikan setiap orang bisa mengkopi data-data yang ada dalam otaknya, tentu saja tindakan ini tidak perlu menunggu kematian manusia tersebut. Selagi masih hidup sehat walafiat, orang bisa mengkopi data-data yang ada dalam otaknya.

Sebagai orang beriman, kita tetap teguh pada iman kita akan keabdian yang bersekutu dengan Tuhan. Tuhan selalu ingin bersekutu dengan kita dalam keabadianNya. Memang, untuk itu manusia mesti membuka hatinya terhadap rahmat demi rahmat yang dicurahkan kepadanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Signis Indonesia/Majalah FIAT

1086

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.