Pages

02 April 2015

Di Taman, Yesus menyerahkan diri

Maka Ia bertanya pula, “Siapakah yang kamu cari?” Kata mereka, “Yesus dari Nazaret.” Jawab Yesus, “Telah kukatakan, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yoh.18:7-8).

Suasana malam yang syahdu berubah menjadi ajang pertikaian. Serombongan besar prajurit lengkap dengan senjata di bawah komando Yudas Iskhariot memperkeruh suasana. Mereka ingin menangkap Yesus atas perintah Imam-imam Kepala dan Orang-orang Farisi. Yesus divonis hukuman mati lantaran menyamakan diri dengan Allah.
    
Sementara itu, kaum oportunis politis menggunakan kesempatan itu untuk menjalin kolusi dengan pembesar-pembesar Romawi. Mereka bersekongkol untuk melenyapkan Yesus yang dari sudut pandang politis merupakan ancaman terbesar bagi kedudukan mereka, karena Yesus mampu menghimpun massa yang besar. Dengan tipu muslihat, mereka menyogok Yudas Iskhariot yang mata duitan, agar memperoleh kesempatan membunuh Yesus.
    
Namun kedatangan rombongan prajurit itu tidaklah membuat Yesus keder. Yesus tetaptegar menghadapi saat yang datang itu. Yesus mampu menguasai situasi, sehingga para prajurit tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka jatuhterjerembab ke tanah tak berdaya, ketika mendengar jawaban dari Yesus “Akulah Dia!” Antusiasme untuk menangkap Yesus berubah menjadi suasana yang mencekam. Kini komando diambil alih oleh Yesus. Yesus yang seorang sipil, anak tukang kayu dari dusun Nazaret, menyandang pangkat ‘Jenderal’.
 
Para prajurit berada di bawah kekuasaannya. Sebenarnya, inilah kesempatan bagi Yesus untuk memperlakukan mereka sekehendak hati-Nya. Ia dapat melucuti senjata mereka dan menyuruh merekapergi kepada Imam-imam Kepala dan Orang-orang Farisi sebagai suatu penghinaan terhadap mereka. Yesus dapatsaja menggunakan mereka untuk menyusun kekuatan menyerang musuh-musuh-Nya. Atau Yesus juga dapat menggunakan kekuasaan-Nya untuk membiarkan mereka tetap tergeletak di tanah menjilat debu-debu dan mati secara konyol.
     
Kesempatan yang terbuka lebar itu rupanya tidak digunakan oleh Yesus. Yesus lebih memilih alternatif yang lain, karena memang konsernnya lain. Ia datang ke dunia bukan untuk menyusun kekuasaan politis dan merebut kekuasaan yang sudah mapan. Yesus datang untuk menawarkan Kerajaan Allah yang tidak berlandaskan pada kekuatan politis. Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya adalah Kerajaan Allah yang berlandaskan pada kasih setia Allah terhadap manusia. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yangkekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:16-17).
   
Karena itu, tindakan Yesus adalah mengembalikan kekuasaan ke dalam tangan Yudas Iskhariot dan para prajurit. Yesus secara tegar menyerahkan diri kepada mereka, karenakomitmen kasih setia-Nya kepada Bapa. “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yoh. 15:10).

Kesetiaan kepada Bapa itulah memampukan Yesus mengendalikan diri dan menyerahkan diri kepada kehendak Allah. “Telah Kukatakan, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi!” kata Yesus. Inilah sikap Yesus yang menampakkan bahwa Ia sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Bapa demi karya penyelamatan umat manusia. Yesus menyerahkan diri ke dalam tangan manusia untuk diperlakukan sewenang-wenang, agar terlaksanalah suatu dunia baru yang terang benderang. Suatu dunia di mana Kerajaan Allah menjadi titik sentral kehidupan manusia. Suatu situasi yang memungkinkan Allah tetap berkarya menyelamatkan manusia dalam Yesus Kristus Putra-Nya.

Dewasa ini: Masih adakah orang yang mau menyerahkan diri?

Arus globalisasi telah memaksa manusia untuk memalingkan diri kepada pemenuhan kebutuhan hidup bagi diri sendiri. Konsumerisme merasuki hidup manusia. Manusia menjadi makhluk yang mengkonsumsi sebanyak mungkin produk-produk super canggih. Hingga ada semacam prinsip hidup untuk carpe diem (nikmatilah hari inisepuas-puasnya). Akibatnya, gaya hedonistis menjadi alternatif lain bagi pemenuhan kebutuhan hidup.
    
Manusia lupa bahwa di sekitarnya masih ada begitu banyak sesama yang menderita kelaparan dan haus akan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling pokok. Ada begitu banyak orang yang masih membutuhkan uluran kasih dari tangan-tangan yang ringan memberikan derma. Di perempatan jalan-jalan kota banyak tubuh tergeletak dengan tangan menengadah ke langit mengharapkan secuil belas kasih dari sesamanya. Di bawah kolong jembatan begitu banyak wajah-wajah sendu menantikan sesuap nasi untuk mempertahankan hidup barang sehari saja. Mereka terjebak dengan ketidakpastian hidup. Suara yang mengerang-erang menandakan betapa besar mereka mendambaka norang-orang yang mau menyerahkan diri secara total bagi sesama manusia.
    
Masih adakah orang yang mau menyerahkan diri bagi tegaknya Kerajaan Allah? Masih adakah manusia yang ingin memperjuangkan keadaan sesama yang tertindas oleh represi regim-regim totaliter? Yesus, sang guru, telah memberikan teladan bagaimana sikap menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah. Di dunia dewasa ini, yang lebih dikuasai oleh egoisme, komunisme, hedonisme dan individualisme, orang kristiani mesti berani membawa perubahan bagi dunia sekitarnya.
 
Menyerahkan diri dalam pelayanan kasih bagi sesama manusia yang sedang dilanda penderitaan merupakan suatu kesaksian yang sangat fundamental sebagai murid-murid Kristus. “Datanglah kepada-Ku kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu,” merupakan sabda Yesus yang tidak boleh hanya melekat di bibir saja. Sabda itu mesti mewujud dalam praksis hidup sebagaimana Sang Guru yang memberikan contoh dalam penyerahan diri-Nya di taman di malam gelap gulita.
   
Hal yang sangat menarik dari peristiwa di taman itu adalah Yesus mengambil inisiatif menyerahkan diri kepada Bapa melalui tangan Yudas ‘si pengkhianat’ Iskhariot dan para prajurit. Peristiwa itu terjadi dalam ketegaran hati Yesus yang tidaktakut menghadapi peristiwa kematian-Nya. Mengapa? Karena bagi Yesus kematian-Nya di kayu salib bukanlah akhir yang sia-sia dari perjuangannya menegakkan Kerajaan Allah di atas muka bumi ini. Bagi Yesus, kematian di salib adalah peristiwa pemuliaan atas kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa.
 
Kiranya menarik juga bagi setiap orang kristiani untuk tetap tegar menghadapi problema-problema hidup di dunia yang serba modern ini. Optimisme yang ditampakkan oleh Yesus hendaknya diinternalisasi oleh orang-orang kristiani, agar hidup yang seolah-olah tak berarti ini memiliki makna yang mendalam. “Karena aku hidup tetapi bukan lagi aku yang hidup di dalam diriku, melainkan Kristus-lah yang hidup di dalam diriku” (Gal. 2:20). Kristus hidup di dalam dirikita berarti seluruh semangat-Nya masuk dan bekerja dalam diri kita. Dan kalaudemikian berarti membuahkan kasih karunia yang berlimpah bagi sesama manusiayang berada dalam penderitaan.
    
Pertanyaan Refleksi: Apa gerakan yang Anda lakukan untuk sesama Anda yang menjadi korban penyalahgunaan NARKOBA? Mengapa hati Anda tergerak menyaksikan sesama Anda yang menderita? Sejauh mana penyerahan diri Anda kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang? Apakah Anda masih ragu-ragu terhadap belas kasih Tuhan? **

Frans de Sales SCJ

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.