Pages

02 April 2015

Inilah Anakmu, Inilah Ibumu

Jumat, 03 April 2015
Hari Jumat Agung --- Memperingati Sengsara dan Wafat Tuha
n
     

Yes. 52:13 - 53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42 
    

 Dari ketinggian salib yang memuliakan-Nya, Sang Putra memandangi sang Bunda yang terpuruk dalam kepedihan sore yang mencekam dan sepi. Sang Bunda tercinta masih bersimbah air mata di kala sang Putra yang dikasihi tergantung di salib. Batinnya tersayat, bukan hanya sekadar oleh selembar sembilu. Tetapi sanubarinya terluka bagai ditusuk pedang ’samurai’.

Ramalan Simeon di kala ia mempersembahkan Sang Putra di Bait Allah itu tergenapi. Kini batinnya sungguh-sungguh tertikam sebilah tombak kekejaman. Karena itu, ia menangis meratapi putranya. Ia memandanginya dari bawah salib sambil menyerahkan Putranya ke dalam tangan Sang Bapa.
 
“Kenapa peristiwa keji ini mesti menimpa Engkau? Aku, ibumu, berada di sini siap menerimamu kembali ke dalam haribaanku,” barangkali itulah kata-kata yang pas ia ucapkan dari bibirnya yang gemetar.

“lbu, mengapa engkau menangis? Aku di atas salib ini sedang mengejawantahkan kehendak Bapa-Ku. Aku sudah dimuliakan, karena tugasku sudah purna,” kata Sang Putra, menghibur kepedihan batin sang Bunda.

Memang, Dia sudah mulia dengan memeluk salib yang berat itu. Kemuliaan-Nya semakin sempurna di kala korban-Nya diterima oleh Sang Bapa. Karenanya, Dia ingin agar Sang Bunda pun belajar daripada-Nya. Biarlah ia belajar berkorban, agar semakin banyak orang memperoleh keselamatan.

Caranya adalah dengan menyerahkan murid terkasih-Nya ke dalam tangan Sang Bunda. “Ibu, inilah anakmu,” kata-Nya dari atas kemuliaan-Nya.

Sang Bunda mesti belajar mencapai kemuliaan dengan menerima sesamanya dalam hidup sehari-hari. Hal itu sama seperti yang Dia lakukan ketika menerima semua orang yang datang kepada-Nya. “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang,” kata Yesus kepada seorang perempuan yang hendak dirajam karena kedapatan berbuat zinah.

Inilah suatu contoh betapa kemuliaan yang Dia peroleh itu melalui suatu sikap penerimaan yang tulus terhadap kehendak Bapa. Hal itu Dia wujudkan dengan menerima kehadiran semua orang. Dan pada saat-saat terakhir, ketika Di amenyerahkan diri kepada orang-orang yang mau menangkapnya, Yesus dengan tegas melarang Petrus yang mencabut pedangnya. Dia tidak ingin kehendak Bapa-Nya terhalangi oleh kehendak pribadi-Nya sendiri.

“Sarungkanlah pedangmu; bukankah Aku harus meminum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” tandas-Nya kepada Petrus.
  
Di bawah salib kemuliaan itu, Sang Bunda sudah banyak belajar meminum cawan itu. Karena itu, ia rela menerima tugas menjadi ibu bagi semua orang. Ia mesti menimpa dirinya untuk menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi anak-anaknya dalam pergulatan hidup di dunia ini. Ia mengajari anak-anaknya memberi makna terhadap setiap penderitaan, karena ia sendiri sudah menemukan makna penderitaan itu dalam diri Sang Putra.
  
Sejalan dengan Sang Bunda, sang manusia pun diberi tugas untuk memberi makna terhadap kehidupan ini. Bagi Tuhan Yesus, hidup bukan berakhir pada penderitaan. Justru penderitaan itu menjadi jalan menuju kemuliaan. Karenanya, Dia mengajak sang murid untuk merefleksikan lebih dalam mengenai hidup ini.

Untuk mencapai kemuliaan, orang mesti pula menerima Tuhan dan sesamanya. Karena itu, Yesus yang mulia di atas salib itu meminta kesediaan sang murid untuk menerima Bunda-Nya yang masih diselubungi dukacita. “Inilah ibumu,” katanya.

Reaksi murid itu sungguh luar biasa. Mulai hari itu, ia menerima Bunda Maria tinggal bersamanya. Tidak diceritakan sampai kapan mereka tinggal bersama. Namun tindakan murid itu menunjukkan bahwa ia rela menerima sesamanya yang menderita. Hanya melalui sikap menerima itu, ia mampu mendapatkan kemuliaan.

Dewasa Ini: Masih banyak Ibu yang Menderita

Suatu ketika seorang ibu tua mendatangi saya. Di tangannya ia memegang sebuah kantong plastik hitam berisi pakaian-pakaiannya. Air mata terus-menerus bercucuran dari matanya membasahi wajahnya yang penuh keriput itu.
 
“Tolong saya, romo. Saya diusir anak saya,” katanya sambil menyeka air matanya.
“Kenapa ibu diusir?”

“Kata anak saya, saya terlalu cerewet. Saya terlalu banyak menuntut. Jadi lebih baik saya tidak tinggal dirumahnya saja,” ibu itu berusaha menjelaskan.

Saya berusaha mengerti keadaan ibu itu. Setelah mengetahui nama dan alamat anaknya, saya mengajak ibu itu pulang ke rumahnya. Kami naik becak sampai di depan pintu rumah anaknya. Saya kaget luar biasa. Saya berhadapan dengan sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Pasti penghuninya bukan orang miskin atau pas-pasan.

“Sayang sekali rumah sebagus ini kurang dihiasi oleh cinta kasih. Masak seorang anak tega mengusir pergi ibu yang telah melahirkannya? Tetapi inilah kenyataan zaman,” kata saya dalam hati.

“Oh, romo. Baru pertama kali kesini?” tanya tuan rumah, seorang ibu muda, sambil mempersilakan saya duduk.

“Yah, pertama kali ini saya kesini. Mudah-mudahan saya tidak mengganggu,” kata saya.
“Sama sekali tidak, romo,” jawabnya singkat sambil menebarkan seutas senyum.

“Saya datang menghantar ibu Anda, dia baru saja mendatangi saya, karena ia mengaku diusir oleh anak kandungnya sendiri,” saya memulai pembicaraan.

lbu muda itu tampak tegang. Wajahnya yang ceria berubah menjadi pucat.

“Kenapa ibu saya, romo?” ia pura-pura bertanya.

“Yah, ibu Anda membutuhkan kasih darimu. Dia butuh diterima. Anda masih ingat kata-kata Tuhan Yesus sewaktu Ia ditinggikan di atas salib? Tuhan Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada seorang murid-Nya. Murid itu menerima tanpa banyak kata,” saya mencecar ibu muda beranak dua itu.

“Maafkan saya, romo. Saya kilaf,” katanya sambil mencucurkan air mata penyesalan.

“Saya mengerti. Tetapi sekarang Anda mesti minta maaf dari ibu Anda. Katakan padanya bahwa Anda masih mencintainya,” saya berusaha memahaminya.

“Mama.....” ia berteriak sambil memeluk ibunya yang berdiri perlahan-lahan dari tempat persembunyiannya dibalik kursi yang saya duduki.

Rekonsiliasi pun terjadi. Kasih kembali mereka jalin. Sejak itu, saya tidak pernah mendengar lagi percekcokan di antara mereka. Terjadi suatu harmoni di antara mereka, karena mereka saling menerima sebagai murid-murid Tuhan Yesus.

Namun rekonsiliasi itu bukan berjalan tanpa peran Tuhan Allah yang lebih dahulu menerima kehadiran manusia, apa pun dosa yang telah mereka perbuat. Tuhan tidak pernah melupakan ciptaan-Nya. Kalau pun manusia melupakan Tuhan, Allah tidak akan pernah melupakannya. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kadungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau,” Sabda Tuhan (Yes. 49:15).

Benar, Tuhan menghendaki agar kita tidak saling melupakan, karena kita adalah saudara-saudari yang mesti saling menerima. **

Frans de Sales SCJ

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.