Pages

03 Maret 2016

Berusaha Mengampuni Tanpa Syarat


Tidak gampang mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Mengapa? Karena orang merasa gengsinya direndahkan.

Seorang bapak berseteru sekian puluh tahun dengan tetangganya. Suatu saat bapak itu semakin tua, sakit-sakitan dan hampir meninggal. Tanpa pikir panjang, sang istri mengambil inisiatif untuk mendamaikan suaminya dengan tetangganya.

Namun ia tidak berani langsung berbicara kepada suami dan tetangganya. Ia menghubungi seorang ulama yang tinggal di seberang rumahnya. Ia berkata, "Tolong, bapak, suami saya hampir meninggal. Sudilah bapak datang mendoakan dan mendamaikannya dengan tetangga sebelah."

Ulama itu datang dan membujuk suami ibu itu untuk berdamai dengan tetangganya. Namun, tampaknya usaha tersebut akan berakhir sia-sia. Akhirnya muncul gagasan ulama itu untuk mempertemukan keduanya.

Tetangga itu pun datang. Tidak malu atau merasa gengsi, ia mengulurkan tangannya. Dengan penuh kerendahan hati, ia berkata, "Maafkan saya, Pak, mari berdamai. Lupakan apa yang telah berlalu.”

Malu dengan ulama dan tetangga serta istrinya sendiri, bapak itu dengan tangan dingin mengulurkan tangan. Semua menjadi lega. Permusuhan itu telah berakhir dengan suatu perdamaian.

Ketika ulama dan tetangga itu minta pamit hendak pergi seraya melangkah keluar pintu, bapak itu bangkit dari ketidakberdayaannya. Ia duduk di pembaringan, mengacungkan kepalan tinju. Ia berteriak, “Ingat, perdamaian ini berlaku hanya kalau aku jadi meninggal.”

Luka batin ternyata tidak begitu mudah untuk diobati. Bahkan dengan sebuah perdamaian dan permohonan maaf dari hati yang dalam. Kisah di atas menunjukkan hal ini. Orang mau mengampuni, tetapi dengan syarat yang berat. Bukankah ini yang mesti dihindari oleh orang beriman? Bukankah orang beriman itu mesti memaafkan dan mengampuni sesama dengan segenap hati?

Suatu hari seorang murid Yesus bertanya kepada Yesus, sampai berapa kali ia mesti memaafkan saudaranya yang berbuat salah. Yesus menjawab, “Sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Murid itu terkejut. Baginya, tidak mungkin ia sabar sedemikian lama. Ia memiliki hati manusia. Ia merasa sulit untuk membiarkan saudaranya terus-menerus melakukan kesalahan. Ternyata pengampunan yang ditawarkan oleh Tuhan itu suatu pengampunan yang tuntas, yang tak terbatas. Tanpa syarat.

Sebagai orang beriman, kita ingin berusaha agar kita dapat mengampuni sesama tanpa batas. Kita tidak mau memberi macam-macam syarat dalam pengampunan itu. Kita juga ingin mengampuni sesama itu dengan hati yang tulus. Tidak ada benci atau dendam yang kita simpan di dalam hati kita. Kita ingin dengan segenap hati mengampuni sesama kita. Dengan demikian, hati kita menjadi aman dan tenteram. Hidup kita menjadi damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

1182

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.